Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP) mengevaluasi kegiatan sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta pada Pilkada DKI 2017. Berdasarkan pantauan KIPP, sosialisasi KPU hanya menyentuh masyarakat kelas menengah di pusat-pusat kota. Tak ada sosialisasi tatap muka langsung ke lingkungan rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) di kampung-kampung.
“Selama ini sosialisasi KPU hanya menyasar ke mahasiswa dan menengah ke atas, yang pada dasarnya sudah paham demokrasi. Tapi, yang di daerah pinggiran Jakarta luput dari sosialisasi. Tidak ada diskusi kampung seperti yang dilakukan KIPP,” kata Direktur Monitoring KIPP, Uthe Pelu, pada acara “Evaluasi Pelaksanaan Tahapan Pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta” di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat (26/7).
Peningkatan partisipasi pemilih di Pilkada DKI 2017, menurut Pelu, disebabkan oleh euforia persaingan antar calon, bukan karena masifnya sosialisasi yang telah dilakukan.
Komisioner KPU Kota Jakarta Timur, Deden Fachruddin, menanggapi kritik Pelu. KPU Jakarta Timur telah mendatangi RT/RW untuk bersosialisasi kepada semua kelompok, termasuk disabilitas, transgender, dan pekerja seks.
“Semua segmen kita masuk, dari elit sampai yang marginal. Nah, ini cukup efektif karena tingkat partisipasi transgender di Pilkada kemarin meningkat. Sebelumnya mereka takut datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), takut ditangkap petugas,” jelas Deden.
Komisioner KPU Kota Jakarta Selatan, Deti Kurniawati, juga menyangkal penilaian Pelu. Deti mengatakan bahwa KPU Jakarta Selatan justru memfokuskan sosialisasi kepada kelompok marginal dan RT/RW. Sementara, sosialisasi tak dilakukan ke perumahan mewah dan kelompok profesional.
“Kami melakukan sosialisasi ke RT/RW, tapi memang itu tidak efektif. Tidak semua kampung kita datangi karena anggarannya terbatas,” ujar Deti.
Sigit Pamungkas, Komisioner KPU RI periode 2012-2017, berpendapat bahwa KPU mesti meninggalkan sosialisasi random dan mulai memformulasikan metode sosialisasi yang benar-benar memenuhi hak seluruh warga negara untuk mendapatkan informasi kepemiluan. Indonesia, dapat mencontoh metode paket informasi pemilu yang diterapkan di beberapa negara.
“Jadi, ada paket informasi pemilu yang dikirimkan ke semua rumah tangga. Kalau itu dilakukan, kemungkinan ada orang yang tidak tau informasi bisa diperkecil,” kata Sigit.