Dalam bahasa Tionghoa, Koko/Engkoh adalah panggilan kepada saudara/orang laki-laki yang lebih tua dalam bahasa Tionghoa, sama dengan Mas, Bang, Bro, sedangkan Cici/Encik adalah panggilan kepada saudara perempuan yang lebih tua, sama dengan Mbak, Kakak, Teteh. Kiprah Koko dan Cici ini dalam pilkada di sini berarti kiprah etnis Tionghoa dalam politik, khususnya dalam pilkada.
Majunya Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan bupati Belitung Timur dan berhasil memenangkan pilkada pada tahun 2005 dan terpilih menjadi Bupati definitif pertama Belitung Timur merupakan fenomena kembalinya WNI keturunan Tionghoa ke ranah politik eksekutif di daerah. Terpilihnya Ahok menjadi Bupati Belitung Timur terbilang luar biasa mengingat daerah tersebut bukanlah daerah yang didominasi oleh etnis Tionghoa.
Meskipun Ahok gagal dalam pencalonan Gubernur Bangka Belitung pada tahun 2007, pada tahun 2009 Ahok berhasil terpilih sebagai Anggota DPR RI dari Partai Golkar. Pada tahun 2012 Ahok mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Walikota Solo, Joko Widodo dan berhasil memenangkan Pilkada DKI Jakarta.
Setelah Joko Widodo terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, Ahok menggantikan menjadi Gubernur DKI Jakarta sejak 14 November 2014. Meskipun demikian, baik pada kampanye maupun setelah terpilih menjadi Wakil Gubernur dan kemudian menjadi Gubernur, isu-isu terkait sentimen kesukuan dan agama seringkali dilontarkan kepada Ahok.
Kiprah etnis Tionghoa di bidang politik semakin meluas sejak reformasi 1998. Sebelumnya, yaitu pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah cenderung memasung etnis Tionghoa untuk memasuki dunia politik dan banyak kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Berbeda dengan WNI yang berasal dari keturunan etnis India, Eropa, Arab, dan etnis lainnya, hanya WNI keturunan Tionghoa yang harus mengubah namanya menjadi nama Indonesia.
Di samping itu hanya keturunan Tionghoa yang harus memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Latar belakang sejarah pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 yang dianggap melibatkan pemerintahan Republik Rakyat China (RRC) menjadi sebab terjadinya diskriminiasi dan stigma terhadap WNI Keturuan Tionghoa, terutama untuk dapat berpartisipasi di bidang politik.
Tidak hanya di bidang politik, namun diskriminasi juga terjadi pada WNI keturunan Tionghoa di bidang agama dan budaya, hari besar agama Konghucu yang banyak dianut oleh etnis keturunan Tionghoa, seperti tahun baru Imlek dilarang dirayakan semasa pemerintahan Orde Baru. Diskriminasi di bidang hukum juga sering terjadi terhadap WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusan dokumen-dokumen kewarganegaraan, pembuatan KTP yang menjadi hak warga negara Indonesia bisa menjadi sangat lama dan berharga sangat mahal bagi WNI keturunan Tionghoa.
Kesempatan untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri dan menjadi pegawai negeri juga terbatas bagi WNI Keturunan Tionghoa. WNI Keturunan Tionghoa juga rentan menjadi korban dalam berbagai kerusuhan etnis atau konflik-konflik politik, seperti dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Solo dan berbagai kota lainnya di Indonesia.
Keterampilan WNI keturunan Tionghoa dalam berdagang dan keberhasilan di bidang ekonomi menyebabkan mereka dipandang sebagai orang kaya dan hal ini sering dipakai untuk menimbulkan kecemburuan sosial dengan suku-suku lainnya. Ketika terjadi konflik atau kerusuhan seringkali WNI keturunan Tionghoa dijadikan kambing hitam dan menjadi korban.
Setelah rejim pemerintahan berganti pada tahun 1998-1999, kiprah WNIÂ keturunan Tionghoa di bidang politik menjadi lebih terbuka. Diskriminasi hukum, politik dan budaya terhadap WNI keturunan Tionghoa semakin berkurang dan hak-hak WNI keturunan Tionghoa berangsur-angsur dipulihkan. Menjelang pemilu 1999, WNI keturunan Tionghoa juga ikut mendirikan partai politik, seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, Partai Pembauran Indonesia dan Partai Bhinneka Tunggal Ika.
Partai Bhinneka Tunggal Ika bahkan bisa menempatkan wakilnya di DPR yakni L. Sutanto dari Kalimantan Barat. Sejalan dengan kebijakan politik Presiden Abdurrahman Wahid yang memberikan ruang yang lebih luas bagi WNI keturunan Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beberapa wakil rakyat dari WNI keturunan Tionghoa berhasil terpilih menjadi anggota DPR RI. Mereka bukan lagi mewakili daerah pemilihan yang merupakan basis warga keturunan Tionghoa seperti Kalimantan Barat, melainkan merata ke berbagai daerah.
Data Litbang Kompas mencatat ada 15 dari toal 560 anggota DPR Periode 2009-2014 adalah WNI keturunan Tionghoa. [1] Pada periode 2014-2019 terpilih tujuh tokoh WNI Keturunan Tionghoa yang terpilih menjadi anggota DPR dan DPD RI, yaitu Daniel Johan, Prof. Dr. Hendrawan Supratikno (PKB), Charles Honoris, Darmadi Durianto, Sofyan Tan (PDI-P), Hangali Saputra Syah Pahan (PAN) dan Tellie Gozelie (DPD). [2]Selain Ahok, kepala daerah yang dijabat oleh WNI keturunan Tionghoa adalah Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya dan Walikota Singkawang Hasan Karman.
Sekalipun ruang untuk berpartisipasi di bidang politik telah terbuka luas, hal ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian besar WNI keturunan Tionghoa akibat tekanan politik dan diskriminasi dalam jangka waktu yang sangat panjang sehingga minat untuk terjun ke dunia politik masih kurang, takut atau ragu. Meskipun secara normatif sudah tidak ada lagi diskriminasi, dalam praktik hal itu masih bisa dirasakan.
Anggota F-PDIP DPR (2009-2014) daerah pemilihan Bangka Belitung Rudianto Tjen mengakui masih terjadi praktik diskriminasi di daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang justru dilakukan oleh elite politik. Isu kebencian etnis dan agama juga seringkali dilontarkan dalam kampanye-kampanye hitam untuk menjatuhkan calon-calon WNI keturunan Tionghoa, sekalipun calon-calon yang berasal dari keturunan Tionghoa itu juga memperjuangkan kepentingan seluruh masyarakat, tidak hanya warga Tionghoa.
Ruang partisipasi politik bagi WNI keturunan Tionghoa seharusnya terbuka baik bagi laki-laki maupun perempuan, namun bagi perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia pada umumnya masih mengalami marjinalisasi yang berlapis (double/triple discrimination). Pertama, mereka termarjinalisasi dalam kehidupan politik dikarenakan mereka perempuan. Kedua, mereka termarjinalisasi di kehidupan politik karena berasal dari etnis minoritas yang seringkali menjadi ‘sasaran’ bagi penguasa dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang akut.[3]
Keterlibatan perempuan WNI keturunan Tionghoa dalam pemilu masih rendah. Rendahnya akses perempuan WNI keturunan Tionghoa tidak terlepas dari imej mereka tentang kehidupan politik. Ketakutan (trauma) untuk berbicara politik apalagi untuk banyak terlibat dalam urusan politik seperti menjadi pengurus partai, penggerak massa dalam kampanye ataupun menjadi penyelenggara atau pemantau pemilu, selain itu pengetahuan dan minat perempuan WNI keturunan Tionghoa untuk berkecimpung di bidang politik masih rendah.
Meskipun demikian, akses untuk memberikan suara dalam pemungutan suara sudah cukup tinggi.[4] Â Masih diperlukan upaya yang simultan dari semua pihak untuk memberdayakan perempuan WNI keturunan Tionghoa di bidang politik, termasuk upaya memberdayakan diri melalui sarana pendidikan agar dapat memiliki akses dan kontrol yang baik dalam kehidupan politik umumnya dan aktivitas politik khususnya seperti even pemilu dan pilkada. []
Jakarta, 29 Juni 2019
Dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Koko Ahok/Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta
“CICI” CATHERINE NATALIA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi