Maret 29, 2024
iden

Kisruh Pencalonan OSO, Pakar Hukum Tata Negara Minta KPU Tetap Jalankan Putusan MK

Rabu (14/11), publik dikejutkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta yang memerintahkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan Surat Keputusan (SK) KPU yang menyatakan Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan meminta agra OSO kembali dimasukkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD 2019. Keputusan KPU tersebut didasarkan atas perubahan Peraturan KPU (PKPU) No.26/2018 yang telah disesuaikan mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.30/2018 yang menerangkan bahwa Pasal 128 huruf f Undang-Undang (UU) No.7/2017 bertentangan dengan konstitusi sepanjang dimaknai pengurus partai politik tidak merupakan bagian dari pekerjaan lain.

PKPU No.26/2018 ini sebelumnya dinyatakan bertentangan dengan UU No.7/2017 oleh Mahkamah Agung (MA), dengan alasan syarat baru pencalonan anggota DPD yang diamanatkan oleh MK belum diundang-undangkan. Di dalam alur demikian, PTUN kemudian mengabulkan gugatan OSO. KPU kebingungan dan memanggil beberapa ahli hukum tata negara pada Kamis (14/11).

Putusan MK tidak retro aktif

Ahli-ahli hukum tata negara yang dipanggil KPU, di antaranya Bivitri Susanti dan Feri Amsari, menggelar diskusi pada Minggu (18/11) bersama aktivis demokrasi yang bergelut pada bidang kepemiluan. Hadir peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, dan dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura. Kelima aktivis tersebut sepakat mengatakan bahwa putusan MK tidak retroaktif atau tidak berlaku surut.

“Putusan MK itu sesungguhnya tidak retroaktif. Tentu saja, sebagai orang yang berkepentingan, OSO dan kuasa hukumnya kekeuh bahwa ini retroaktif sehingga MA mengikuti, tapi itu sebetulnya tidak tepat,” tandas Bivitri.

Penilaian suatu putusan bersifat retroaktif atau prospektif tak dapat dinilai semata berdasarkan tanggalan kalender, melainkan kontekstual. Dalam konteks kepemiluan, putusan MK hadir sebelum DCT anggota DPD 2019 diumumkan sehingga pernyataan tegas MK di dalam amar putusannya bahwa norma baru yang ditetapkan MK berlaku pada Pemilu 2019 menjadi relevan untuk diterapkan secara prospektif.

“Tahap pendaftaran itu baru berhenti ketika DCT diumumkan. Nah, putusan MK keluarnya waktu DCS (Daftar Calon Sementara) dan jeda dari putusan MK keluar sampai ke DCT itu lama, berminggu-minggu,” jelas Bivitri.

Dalam jeda waktu antara DCS ke DCT, KPU telah mengirimkan surat ke seluruh bakal calon anggota DPD untuk mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik. Surat dikirim sebanyak dua kali, yakni oleh KPU provinsi dan KPU RI. Sebanyak lebih dari 200 bakal calon memenuhi syarat baru pendaftaran tersebut kecuali OSO yang menempuh jalur hukum judicial review PKPU No.26/2018 ke MA.

“Kita harus bedakan antara gak bisa dengan gak mau. Kalau lihat gelagatnya (OSO) waktu itu, sampai beliau mengatakan MK goblok, adalah dia gak mau mengakui putusan  MK itu benar. Bahkan beliau sampai mengancam MK bahwa keberadaan MK harus ditinjau ulang,” ujar Bivitri.

Selain itu, sifat retroaktif atau prospektif dapat dilihat dari sudut pandang legislative drafting. Di dalam UU Pemilu, bab pendaftaran dilanjutkan dengan bab kampanye. Hal ini dapat dimaknai bahwa tahap pendaftaran peserta pemilu ditutup dengan penetapan DCT. OSO belum ditetapkan sebagai calon tetap anggota DPD 2019 karena saat putusan MK keluar, OSO beserta ribuan calon lain adalah bakal calon di DCS.

Fadli memperkuat argumentasi Bivitri. Ia menyinggung putusan MK mengenai verifikasi faktual calon partai politik peserta pemilu yang keluar pada saat verifikasi terhadap partai politik baru hampir selesai. Demi menindaklanjuti putusan MK untuk memperlakukan seluruh calon peserta pemilu dengan adil, KPU menyesuaikan kembali mekanisme verifikasi kepada partai-partai politik lama. Putusan MK tidak berlaku surut.

“Putusan MK soal verifikasi partai politik dulu kan malah di tengah tahapan verifikasi yang hampir selesai dilakukan untuk partai baru. Tapi dulu gak ada perdebatan seperti ini dan putusan MK ditindaklanjuti saat itu juga karena belum ada penetapan partai politik peserta pemilu,” tegas Fadli.

Mana jalan yang harus ditempuh KPU?

KPU didesak untuk menjalankan putusan MK dan bukan putusan MA dan PTUN. MK merupakan lembaga yang berwenang untuk memutuskan konstitusionalitas suatu UU, dan KPU adalah lembaga yang diamanatkan oleh konstitusi untuk menyelenggarakan pemilu sesuai dengan konstitusi. Putusan PTUN bersebrangan dengan semangat pembentukan UU Dasar (UUD) 1945, UU Pemilu, dan Putusan MK, dan MA lupa bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Kemana KPU harus memilih, menurut saya harus pilih putusan MK. Karena dengan mematuhi MK, berarti KPU mematuhi tiga hal. Satu, UUD 1945. Dua, UU Pemilu. Tiga, putusan MK sendiri. Sementara kalau mengikuti putusan MA, maka KPU menentang tiga ketentuan itu,” ucap Feri.

Rencana KPU yang kemungkinan akan mengikutsertakan OSO dalam pencalonan anggota DPD dan memintanya untuk mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik jika terpilih sebagai anggota DPD dinilai tak tepat. Selain tak adil kepada 200 calon anggota DPD yang telah mengundurkan diri, pengunduran diri juga merupakan syarat pencalonan, bukan syarat pelantikan. Syarat pencalonan harus dipatuhi bersamaan dengan syarat-syarat lainnya seperti berpendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) dan terdaftar sebagai pemilih. Syarat pencalonan juga mesti diverifikasi dengan dua bukti formil, yakni surat pengunduran diri dan SK pemberhentian sebagai pengurus partai.

“Sepanjang itu (bukti formil pengunduran diri) tidak ada, dia gak bisa jadi calon. Artinya, gak boleh ada di dalam surat suara. Kalau KPU mengatakan bahwa nanti itu akan dijadikan syarat pelantikan kalau dia terpilih, itu tidak tepat dengan hakikat judicial review di MK. Artinya, KPU melawan putusan MK dengan membolehkan orang yang masih duduk di partai tetap boleh jadi calon anggota DPD dan membuka syarat formal baru untuk orang yang terpilih sebagai anggota DPD,” terang Fadli.

Tak perlu takut laporan pelanggaran kode etik

KPU diharapkan tak usah mencemaskan perihal diadukan atas tuduhan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu karena tak mengindahkan putusan MA dan PTUN. KPU mesti yakin bahwa lembaga ini tengah komitmen menjalankan putusan MK.

“Secara profesional, KPU gak melanggar hukum karena menjalankan putusan MK. Jadi saya rasa itu gak perlu dikhawatirkan,” tukas Veri Junaidi.

Veri berpesan agar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berhati-hati dalam melihat persoalan ini dan tak serampangan menganggap KPU melawan hukum. DKPP harus memandang bahwa KPU tengah menjalankan putusan MK dan menghormati asas keadilan bagi seluruh peserta Pemilihan Anggota DPD.

“Kalau KPU tidak menjalankan putusan MK, malah nanti dianggap tidak fair memperlakukan seluruh peserta pemilu,” kata Veri.

Celakanya kewenangan JR dua atap

Bertolak belakangnya putusan MK dan MA, menurut Charles Simabura, adalah momentum untuk mereformasi wewenang JR di dua lembaga. Charles, begitu juga Bivitri, mendorong agar wewenang JR hanya dilakukan oleh MK.

“APHTN (Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara) sudah dari dulu, sejak amandemen UUD, sudah mewacanakan agar JR satu atap saja, di MK. Sekarang kita terima akibatnya, ada norma yang saling berkaitan, tafsirnya bertentangan. KPU bingung, memang serba salah, ikuti  putusan MK, melanggar putusan MA. Ikuti MA, langgar MK. Dua-duanya berpotensi disidangkan ke DKPP,” ujar Charles.

Pakar hukum tata negara yang hadir pada diskusi ini menyetujui MK sebagai satu-satunya lembaga penerima ajuan JR. Proses JR di MK terbuka, sedang di MA tertutup.

“Sampai kapan kita membiarkan MA menikmati ketertutupan mereka dalam proses JR?” tutup Charles.