Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas pelanggaran administratif kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). KPU dinilai tidak sesuai dengan tata cara penerapan afirmasi perempuan dalam menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR Pemilu 2024.
“Kami menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administratif, karena DCT yang ditetapkan memuat jumlah keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen,” kata Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay dalam konferensi pers di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat (13/11).
Koalisi MPKP menemukan setidaknya terdapat 266 DCT dari total 1.512 DCT Anggota DPR Pemilu 2024 yang telah ditetapkan dan diumumkan KPU tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Untuk itu Koalisi juga memerintahkan KPU untuk memperbaiki DCT dan membatalkan atau mencoret partai pendukung yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan di setiap dapil.
“Sejak diberlakukannya afirmasi perempuan dalam pemilu, baru KPU periode saat ini yang dengan sengaja menetapkan DCT kurang dari 30 persen keterwakilan perempuan. Pemilu menjadi rusak dan berantakan karena KPU,” keluhnya.
Titi Anggraini, Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) menjelaskan, koalisi MPKP sejak awal telah melakukan pengawalan keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024. Sebelumnya, koalisi melakukan pengujian norma keterwakilan perempuan dalam Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA) dan pelaporan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu oleh Ketua dan Anggota KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Lebih lanjut, terangnya, ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10 Tahun 2023 tentang formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah, telah dikoreksi oleh MA melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023. Putusan tersebut memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU Pemilu. Namun, sampai dengan ditetapkannya DCT, KPU mengabaikan perintah MA.
“Sehingga merugikan hak politik perempuan untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD,” terang Titi.
Selain itu Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023 menyebutkan bahwa kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama. Hal ini menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu, khususnya KPU.
“Proses keterwakilan perempuan ini adalah agenda affirmative action. Ini agenda kita yang terus dijaga, jadi bukan karena kita mau mengganggu sebuah proses dalam pemilu, namun keterwakilan perempuan harus dikawal,” jelas Anggota Bawaslu RI 2008-2012, Wirdyaningsih.
Selain itu menurut Wahidah Suaib, Anggota Bawaslu RI 2008-2012, KPU selalu melakukan pembohongan publik terkait persentase keterwakilan perempuan dengan menyajikan data rata-rata nasional. Dengan pelanggaran itu, berarti demokrasi juga sedang merangkak turun, karena akan berdampak pada indeks demokrasi Indonesia.
“Kami yakin ini terjadi karena pemberlakuan PKPU yang memberi ruang keterwakilan perempuan di bawah 30 persen,” pungkas Wahidah. []