United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mempublikasi buku Pedoman Tata Kelola Platform Digital di Jakarta, Indonesia (27/5). Buku ini ditujukan agar regulasi dan tata kelola platform digital yang dipraktikkan di suatu negara dapat melindungi hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk kebebasan berekspresi dan hak atas informasi. Buku panduan juga menyediakan pedoman untuk bekerja dalam kerangka multipihak, suatu model kolaborasi yang direkomendasikan oleh UNESCO.
“Kita melihat di berbagai negara, peraturan dibuat untuk mengatasi masalah ujaran kebencian, tapi di saat yang sama justru melukai kebebasan berekspresi dan melegitimasi praktik sensor oleh pemerintah,” kata Kepala Komunikasi dan Media UNESCO Kamboja, Mikel Aguirre Idiaquez, pada acara diskusi “AI Readiness Assesment Methodology” di Jakarta.
Dalam skema kerja kolaborasi multipihak untuk tata kelola platform digital, menurut Mikel, pemerintah merupakan aktor utama. Pemerintah berkewajiban untuk membuat regulasi yang mampu menjamin keamanan ruang online. Regulasi juga harus mengacu dan selaras dengan deklarasi internasional, serta tidak mengurangi pemenuhan HAM.
Menata platform digital juga memerlukan keterlibatan pihak-pihak lain, yakni organisasi antar pemerintah, organisasi masyarakat sipil, media, dan akademisi. Masyarakat sipil memiliki pengalaman dan kapasitas dalam isu digital, demokrasi dan HAM. Akademisi mengembangkan riset yang dapat dimanfaatkan untuk kebijakan yang berkualitas. Media dapat bertindak sebagai pengamat yang turut mengevaluasi praktik tata kelola digital.
“Media dan masyarakat sipil bisa menjelaskan ke publik bagaimana selama ini platform digital bekerja. Media juga bertindak sebagai ppengamat di luar pemerintah, dan memastikan hak-hak masyarakat dihargai pada setiap kebijakan pemerintah,” urai Mikel.
Sementara itu, platform digital bertanggungjawab untuk menerapkan perspektif berbasis HAM pada setiap program, sistem, dan produk platform, bersikap transparan, menerapkan moderasi konten yang demokratis dan efektif, serta menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah. Platform digital juga mesti terlibat dalam skema kerja kolaboratif multipihak.
Mikel juga mengatakan bahwa para pihak perlu bekerjasama untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Setidaknya, masyarakat memiliki kompetensi untuk menganalisis suatu konten, mengetahui cara kerja disinformasi dan manipulasi informasi lainnya, serta memahami bentuk-bentuk kecerdasan buatan.
“Waktu kecil, kita belajar baca tulis untuk bisa bertahan hidup. Nah, literasi digital juga penting agar kita bisa selamat di ruang online,” tutup Mikel. []