Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pramono Ubaid Tanthowi menilai Pemilu 2024 tidak ramah perempuan. Regulasi yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah merugikan hak perempuan untuk dicalonkan di pemilu. Aturan di dalam Peraturan KPU (PKPU) No.10/2023 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menyebabkan 266 Daftar Calon Tetap (DCT) dari total 1.512 DCT Anggota DPR Pemilu 2024 tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
“Pemilu 2024 memang pemilu yang sangat tidak ramah perempuan, dari semua aspek, dari berbagai level. Regulasi di Undang-Undang Pemilu itu kan sudah jelas. Paling kurang 30 persen di dalam daftar calon. Tetapi penafsiran yang ngawur itu mengurangi hak perempuan. Ini bukan persoalan di ujungnya bahwa jumlah perempuan akan menurun, tetapi di pangkal, soal hak perempuan,” tegas Pramono pada diskusi “Hasil Pemantauan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu di Indonesia” (24/6).
Selain regulasi KPU yang tidak ramah perempuan, menurut Pramono, partai politik juga belum memiliki perspektif gender yang baik. Pengalaman Pramono sebagai anggota KPU RI periode (2017-2022), partai politik kerap meminta agar KPU tidak mewajibkan persyaratan minimal 30 persen perempuan di daftar calon.
“Ketika pembahasan PKPU pencalonan, partai itu pasti nawar. Jangan lah itu, gak usah dipenuhi lah itu. Kami ini kesulitan mencari calon perempuan. Padahal, problem-nya bukan kesulitan mencari calon, tetapi soal rekrutmen kader perempuan. Jadi, partai sejak awal tidak melakukan langkah awal yang baik, yang ujungnya sulit mencari calon perempuan, sehingga akhirnya, syarat minimal 30 persen perempuan di daftar calon jadi dikompromikan,” kisah Pramono.
Senada dengan Pramono, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati juga memandang Pemilu 2024 sebagai pemilu yang rentan bagi perempuan. Tak hanya regulasi KPU yang mencederai hak politik perempuan, namun juga adanya kasus dugaan pelecehan seksual oleh ketua KPU RI yang telah dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Kekerasan berbasis gender sudah terjadi sejak pemilu itu dilakukan. Yang paling sedih memang Pemilu 2024. Dengan adanya digitalisasi, kekerasan bertambah lagi terjadi di ruang online. Kemudian penyelenggara pemilu juga menjadi pelaku kekerasan berbasis gender. Ada perbuatan asusila yang dilakukan oleh ketua KPU RI,” tukas Mike, pada diskusi yang sama.
Menurutnya, KPU memiliki peranan penting untuk memberikan sosialisasi mengenai pentingnya kehadiran perempuan dalam politik dan tata kelola negara. KPU diharapkan memiliki perspektif gender dalam menyelenggarakan tahapan-tahapan pemilu, termasuk menjadikan kekerasan berbasis gender yang potensial terjadi di semua tahapan pemilu sebagai persoalan mendasar yang perlu dicegah. []