August 8, 2024

Konstitusionalisme Pilkada Langsung

Sudah hampir dua belas tahun Pemilihan  Kepala Daerah (Pilkada) diselenggarakan secara langsung.  Adalah rakyat sendiri yang berhak menentukan pemerintah daerahnya, tanpa lagi diwakili oleh DPRD. Di orde lama dan orde baru, bahkan pemerintah daerah pernah diangkat oleh Presiden saja.

Dalam putaran pilkada serentak periode kedua ini, kiranya penting untuk menelaah kembali dasar konstitusionalismenya. Dalam konteks itu, terdapat dua masalah yang terkait dengan Pilkada yang menganut demokrasi langsung: (1) Apakah Pilkada langsung sejalan dengan amanat konstitusi? (2) Bagaimana pula konstitusionalisme Pilkada satu pasangan calon, atau yang lazim disebut dengan calon tunggal?

Pilkada Langsung

Jika kembali diperhatikan landasan konstitusional Pilkada langsung, pada asasnya masih berada dalam keadaan norma yang kabur (vague norm). Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 hanya menegaskan: “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.”

Adakah dalam pasal tersebut terdapat kalimat “kepala daerah dipilih secara langsung”? Jawabannya, sama sekali tidak ada. Hanya disebutkan: “dipilih secara demokratis.”

Perihal mekanisme pengisian jabatan dengan menggunakan metode pemilihan dikatakan masih dalam prinsip demokrasi, dapat dilaksanakan secara langsung, dan dapat pula dilaksnakan secara tidak langsung. Di sinilah letak kekaburan norma penyelenggaraan Pilkada ketika diletakkan dalam dua tekhnis pemilihan.

Konsekuensi yuridis dari kekaburan itu, telah menimbulkan multitafsir dalam pembentukan undang-undang in concreto. Ini sudah terkonfirmasi dengan disetujuinya dahulu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 agar Pilkada dilaksanakan secara tidak langsung saja, kendatipun Undang-undang tersebut pada akhirnya dicabut keberlakuannya melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2014.

Konsekuensi lainnya, juga telah mengukuhkan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa sengketa hasil Pilkada bukan kompetensi MK, sebab hanya berwenang mengadili sengketa Pemilu, sementara Pilkada bukan bagian dari regim Pemilu. Pilkada dalam UUD NRI 1945 diangggap hanya berada dalam regim pemerintahan daerah.

Atas kekaburan pengisian jabatan pemerintah daerah dalam UUD NRI 1945 tersebut, disitulah menjadi ranah “konkretisasi” peraturan dengan melakukan penggalian norma melalui metode penafsiran.

Tidak mungkin dalam ketentuannya itu digunakan penafsiran gramatikal, sebab hanya akan melahirkan makna yang tetap mengandung kebiasan. Hanya akan termaknai bisa menerapkan Pilkada langsung dan bisa pula menerapkan pilkada tak lansgung. Mustahil dua model tersebut akan digunakan secara bersamaan, haruslah digunakan satu model saja.

Dengan melalui penafsiran historis, konstitusionalisme Pilkada akan membuka tabirnya sendiri. Berdasarkan maksud pembentuk undang-undang (wet historical) dan  konteks seluruh sejarah hukumnya (recht historical) tampaknya Pilkada memang dikehendaki dengan asas demokrasi langsung. Subyektifitas pembentuk Undang-undang yang tergabung dalam beberapa fraksi, sejak itu oleh Panitia Adhoc (PAH) Badan Pekerja (BP) MPR amandemen kedua UUD, dominan dilatarbelakangi oleh peristiwa tunutan daerah-daerah agar diselenggarakan otonomi seluas-luasnya. dan jalan untuk mewadahi tuntutan itu tentu dengan jalan Pilkada langsung.

Dalam perdebatan antar fraksi, tidak pernah diusulkan agar tetap bertahan dengan Pilkada tak langsung.  Rata-rata fraksi hanya mempersoalkan tekhnis Pilkada langsung dalam soal regim Pemilu, dalam soal derah khusus dan daerah istimewa, dan dalam soal waktu penyelenggaraannya. Pun pada akhirnya digunakan kalimat “dipilih secara demokratis” hanyalah untuk mewadahi pengisian jabatan pemerintah daerah khusus dan daerah istimewa yang menggunakan mekanisme pengangkatan.

Hanya saja dengan kalimat semacam itu, mekanisme pengangkatan tidak termasuk didalamnya “dipilih” secara demokratis. Pengangkatan dan pemilihan adalah dua hal yang berbeda dalam hal pengisian jabatan, meskipun masih terikat dalam prinsip demokrasi. Jika dengan mekanisme pemilihan sudah pasti terikat  dengan maksimal, dua calon atau lebih. Sedangkan pengangkatan boleh dengan satu calon, yang selanjutnya diangkat oleh pejabat yang lebih tinggi kedudukannya.

Makanya kalau mau fleksibel, konstitusionalisme Pilkada yang dapat mewadahi daerah biasa dengan daerah khusus/istimewa, ketentuan tentang itu seharusnya berbunyi: “Pengisian jabatan Pemerintah daerah dilakukan secara demokratis.”

Calon Tunggal

Legal issue selanjutnya, yaitu: terkait dengan konstitusionalisme calon tunggal dalam pengisian jabatan pemerintah daerah, jika dikonstatasi dalam Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945, sebenarnya tidak ada ketentuannya (recht vacuum).

Sejak diperdebatkannya mekanisme pengisian jabatan pemerintah daerah dalam PAH BP MPR (amandemen kedua UUD), sama sekali tidak pernah disinggung calon tunggal. Mahkamah Konstitusi kiranya telah keliru dalam mengkonstatasi calon tunggal berdasarkan Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945.

Dan melalui Putusan MK (Nomor 100/PUU-XIII/2015) itu pulalah yang ditindaklanjuti dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, sehingga calon tunggal akhirnya diwadahi dengan mekanisme pemilihan menggunakan kotak kosong.

Putusan MK dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 pada hakikatnya nir-prediktibel asas-asas pengisian jabatan pemerintah daerah. Dasar falsafati pemilihan, hanya dimungkinkan jika terdapat dua alternatif, sementara kalau dengan satu subjek, niscaya seorang tidak dapat memilih. Bahkan lebih dari pada itu dengan menggunakan tekhnis pemilihan dalam hal satu pasangan calon kepala daerah, asas kepastian hukum pengisian jabatan akan rentan tersimpangi.  Hal itu disebabkan oleh besarnya kemungkin calon yang satu-satunya tidak mendapatkan suara mayoritas, sehingga jabatan akan menjadi kosong. Kekosongan suatu jabatan tidak dkehendaki untuk aktifnya sebuah pemerintahan.

Memang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, telah diantisipasi akan kekosongan jabatan itu, dengan adanya pejabat sementara yang dapat mengisinya.  Akan tetapi solusi demkian tetap tidak menjamin efektifnya pemerintahan. Pemerintahan daerah yang diharapkan akan menjalankan program desentralisasi, jika dipegang oleh pejabat sementara justru akan membalikan keadaan menjadi pemerintahan sentralisasi, sebab tidak dapat mengambil kebijakan strategis untuk daerahnya.

Bukan berarti Pilkada langsung harus ditinggalkan. Tetapi untuk calon tunggal sebaiknya dikaji ulang, cukup menggunakan mekanisme pengangkatan saja, sehingga kelak Pilkada serentak yang akan diselenggarakan secara nasional tidak (rentan) menyandera efektivitas pemerintahan daerah. []

DAMANG

Mahasiswa PPs Hukum Tata Negara UMI & Penulis Buku Carut-marut Pilkada serentak 2015

*Opini ini merupakan ringkasan tesis penulis berjudul “Prinsip Demokrasi dalam Pengisian Jabatan Pemerintah Daerah” yang telah diujiankan di PPS Hukum UMI Makassar