October 15, 2024

Kontestasi Penyelenggara Pemilu

Pemilu adalah perebutan suara rakyat oleh peserta untuk meraih jabatan publik di lembaga legislatif atau eksekutif. Peserta pemilu meliputi partai politik, calon anggota legislatif atau calon pejabat eksekutif. Mereka itulah yang berkonstestasi, meyakinkan pemilih agar memberikan mandat kekuasaan dalam kurun tertentu.

Dengan pengertian seperti itu, kita menjadi masgul ketika mengikuti proses penyelenggaraan pemilu di sini. Sebab, yang berkonstestasi ternyata tidak hanya peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu. Sepanjang Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, KPU dan Panwaslu terlibat saling menyalahkan, lalu Pemilu 2009 hubungan KPU dan Bawaslu bagaikan film kartun Tom dan Jerry.

Kini, di awal penyelenggaraan Pemilu 2014, yakni tahap verifikasi parpol peserta pemilu, kita menyaksikan kegaduhan yang luar biasa di kalangan penyelenggara pemilu. Kegaduhan itu sedemikian hebat, sampai-sampai menutupi teriakan dan protes parpol yang dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi.

KPU terbelah: komisioner menuduh staf sekretariat jenderal membangkang, sementara staf menilai komisioner tidak profesional. Sebelumnya, Bawaslu mengancam mempidanakan anggota KPU karena dianggap tidak transparan dalam proses verifikasi. Sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tampak menikmati pertikain tersebut, dan menjadikannya sebagai arena unjuk diri.

Dibanding tiga pemilu sebelumnya, kontestasi penyelenggara pemilu kali ini terasa lebih seru: pertama, pertentangan antara komisioner dan staf sekretariat KPU yang selama ini berlangsung diam-diam dan bisa ditutupi, dikuak habis oleh Bawaslu dengan dalih transparansi; kedua, kehadiran DKPP tidak hanya menambah jumlah institusi penyelenggara pemilu, tetapi juga menyediakan panggung baru pertikaian antarpenyelenggara pemilu, sekali lagi dengan dalih transparansi.

Siapapun yang peduli penyelenggaraan pemilu luber dan jurdil, pasti prihatin dengan situasi ini. Jika pada tahap awal saja, para penyelenggara sudah ribut bukan alang kepalang, apa jadinya dengan pelaksanaan tahapan-tahapan kritis nanti: pemungutan suara, penghitungan suara, perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih?

Politik Pencitraan

Rupanya politik pencitraan yang dikembangkan elit politik selama 10 tahun terakhir, telah merasuki para penyelenggara pemilu. Mereka tidak mau lagi mengikuti saran bijak, “bekerjalah dalam diam yang penting pemilih dan peserta terpuaskan,” tapi pilih jalur unjuk diri unjuk prestasi. Mereka tidak menjadikan media sebagai  mitra edukasi pemilu, melainkan untuk promosi diri. Mereka pun arogan, reaktif dan defensif dalam menghadapi kritik.

Beberapa hari setelah dilantik DKPP nekat menggelar sidang etik atas terlapor Ketua KPU DKI Jakarta. Padahal kode etik baru belum ditetapkan, demikian juga hukum acaranya. Dari kalangan internal, pemantau pemilu memperoleh informasi, bahwa sidang itu digelar demi mempromosikan lembaga selagi pilkada DKI Jakarta sedang jadi berita besar. Ketika pemantau pemilu mengritik rencana sidang ini, Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie berujar, “Orang bodoh tidak berdosa.”

Merasa diri paling hebat, juga menjangkiti anggota KPU. Maklum, mereka adalah orang-orang yang punya pengetahuan dan pengalaman mumpuni: mengajar ilmu pemilu di kampus, mengurus pemilu di provinsi, dan memantau pemilu sejak lama. Apalagi proses dan hasil seleksi mereka mendapat apresiasi banyak kalangan; kontras dengan seleksi lima empat sebelumnya yang penuh kejanggalan.

Harapan bahwa di tangan mereka, Pemilu 2014 akan berjalan lebih baik,  rupanya melenakan. Dengan gagah berani KPU mematok peraturan, bahwa 30% pengurus perempuan parpol tidak hanya di pusat, tetapi juga di provinsi dan kabupaten/kota. Namun saat parpol menuduh mereka menyalahi undang-undang, KPU tertunduk. Mereka sudah mengetahui, memang ada masalah di sekretariat; tetapi toh tidak tepat mencari solusi, sehingga terjadi pembangkangan.

Lain lagi Bawaslu. Meskipun UU No. 15/2011 telah memperkuat posisi, organisasi dan fungsinya, para anggotanya tak percaya diri. Maklum, inilah lembaga yang sejak kelahirannya pada zaman Orde Baru, selalu dipertanyakan kegunaannya. Makanya, begitu melihat peluang unjuk diri, mereka langsung tangkap semua protes parpol atas hasil verifikasi administrasi. Mereka menyalahkan, mengancam dan mencecar KPU. Padahal UU No. 8/2012 jelas, dalam soal verifikasi parpol, Bawaslu bertugas menyelesaikan sengketa, setelah keputusan KPU keluar.

Sebab Struktural

Namun salah besar, kalau melihat kontestasi penyelenggara pemilu kali ini, juga sebelumnya, semata-mata disebabkan oleh problem kepercayaan diri atau ketidakpercayaan diri para anggota lembaga penyelenggara. Sebab-sebab psiko-sosial tersebut hanya permukaan. Terdapat sebab-sebab struktural, yang akan menjadikan kontestasi penyelenggara selalu terjadi, siapapun anggotanya.

Pertama, keberadaan Bawaslu dan DKPP selain KPU, dengan sendirinya menciptakan persaingan antarlembaga. Memang masing-masing punya fungsi sendiri (KPU menyelenggarakan dan melaksanakan, Bawaslu mengawasi, dan DKPP menegakkan etik), namun semua masalah penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilu jika dilacak pasti berujung ke KPU, sehingga KPU mau tidak jadi sasaran pelaku kesalahan, meskipun kesalahan itu dilakukan oleh peserta. Lagi pula, jika Bawaslu dan DKPP tidak menemukan kesalahan KPU, apa arti keduanya.

Kedua, desain penyelenggaraan pemilu memang menempatkan peserta pemilu pada posisi yang nyaman. Ini terkait dengan sikap, keengganan parpol dan calon untuk berkompetisi ketat sebagai peserta pemilu, di satu pihak; dan kegemaran parpol dan calon untuk bersekongkol dalam menyiasati peraturan. Indikasinya, dari pemilu ke pemilu semakin sedikit jumlah parpol/calon yang melaporkan parpol/calon lain yang melanggar. Alih-alih melaporkan, mereka malah menduplikasi pelanggaran, sambil menuduh penyelenggara tidak cepat bertindak.

Ketiga, untuk mendorong agar partai/calon berkopmetisi secara sehat, sekaligus menghilngkan kontestasi antarpenyelenggara pemilu, ke depan Bawaslu harus tiadakan, dan DKPP dikembalikan sebagai lembaga adhoc. Lalu, siapa yang mengawasi KPU? Masyarakat, pemilih, parpol dan calon bisa melapor ke polisi atas pelanggaran pidana; parpol dan calon bisa menggugat keputusan KPU ke pengadilan administrasi negara dan MK.

Dalam menghadapi Pemilu 2014 ini, yang harus dilakukan adalah terus mengingatkan dan menyadarkan tugas pokok penyelenggara pemilu adalah melayani kebutuhan pemilih dan peserta, bukan berkompetisi sendiri. Jangan sampai tuduhan bahwa orang nonpartisan tidak becus mengurus pemilu, jadi kenyataan. Bisa lebih runyam pemilu kita nanti. []

DIDIK SUPRIYANTO
Ketua Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem)