Beda pendapat antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai larangan mantan narapidana korupsi untuk dicalonkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD) `dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mesti disudahi. Pihak ketiga, yakni Mahkamah Agung (MA), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), atau partai politik diharapkan dapat memberikan kepastian terhadap proses pencalonan yang tengah berlangsung.
“Empat pihak ini bisa memberikan jalan keluar. Kita berharap, kasus seperti ini (kisruh antara KPU dan Bawaslu) yang terakhir terjadi di antara penyelenggara pemilu. Berbahaya sekali jika semua PKPU (Peraturan KPU) dibantah oleh Bawaslu. Tidak ada kepastian hukum,” tegas Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jerry Sumampouw, pada diskusi “Jalan Hukum Konflik KPU dan Bawaslu atas Pencalonan Mantan Napi Korupsi” di Gondangida, Jakarta Pusat (6/9).
Jerry, beserta Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mendorong MA segera memproses uji materi atas PKPU No.20/2018 dan memutus sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) ditetapkan oleh KPU pada 21 September 2018. Alasan MA tak bisa menangani perkara karena Undang-Undang (UU) Pemilu sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak beralasan. Pasal-pasal yang diuji ke MK tak berhubungan dengan pasal mengenai syarat pencalonan di PKPU No.20/2018.
“Kalau katanya UU Pemilu sedang di-JR (judicial review) ke MK, tapi substansi yang diuji kan berbeda, tentang presidential threshold dan masa jabatan wakil presiden. Kita harap MA tidak kaku sehingga pasal apa saja yang sedang di-JR, dia menunda,” tandas Jerry.
Jika proses di MA memakan waktu yang lama, pengajuan sengketa ke PTUN dapat menjadi pilihan. Caleg mantan napi korupsi yang berdasarkan putusan Bawaslu semestinya dimasukkan kembali ke daftar calon tetapi tak kunjung dimasukkan oleh KPU dapat mengajukan sengketa ke PTUN.
“Mestinya ketika KPU tidak menjalankan putusan Bawaslu, kan yang dirugikan adalah caleg. Dia mestinya ajukan penyelesaian sengketa ke PTUN, yang mana keputusannya final dan mengikat,” kata Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi.
Selain itu, proses di DKPP juga dapat menjadi alternatif pilihan. Telah ada dua pihak yang melaporkan KPU dan Bawaslu dengan dugaan pelanggaran terhadap asas profesionalisme, putusan DKPP dapat memeriksa adanya kesalahan etik oleh kedua lembaga penyelenggara pemilu.
“DKPP lembaga hukum di ranah etik. Jadi, perhitungannya tidak hanya semata-mata berangkat dari aturan atau mekanisme hukum yang ada. DKPP bisa lebih luas menilainya. Kita harap DKPP mempercepat prosesnya,” jelas Jerry.
Mekanisme keempat yang dapat ditempuh yakni penyelesaian di internal partai politik yang mengusulkan caleg mantan narapidana korupsi serta dua jenis kejahatan lainnya. Partai politik telah menandatangani Pakta Integritas sehingga wajib mengganti nama-nama caleg mantan napi korupsi. Mencalonkan caleg mantan napi korupsi merupakan wujud tak anti perbuatan korupsi.
“Partai hendaknya menerapkan standar etik baru. Kalau mantan napi korupsi memang gak ada larangannya, tapi standar etiknya akan lebih memilih gak usah lagi mencalonkan mantan napi korupsi. Tidak adakah caleg lain yang lebih pantas? Kami mendorong partai untuk mengambil tanggung jawab lebih. Tarik calon yang kontroversial,” ujar Peneliti SPD, Erik Kurniawan.
Perdebatan Bawaslu-KPU Kontraproduktif
Koalisi meminta agar perdebatan segera diakhiri karena semakin kontraproduktif dan menguras energi penyelenggara pemilu yang mesti menjalankan tahapan-tahapan lain di Pemilu 2019, salah satunya penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT). KPU pun tak boleh dibuat lupa akan tanggung jawabnya mempublikasi informasi dan data caleg di dalam portal sistem informasinya.
“KPU memiliki prestasi yang cukup baik ketika Pemilu 2014, berhasil menerbitkan CV caleg. Nah, karena repot ngurus polemik ini, harusnya KPU mempublikasi data caleg sekarang. Itu yang lebih dibutuhkan pemilih,” terang Erik.
KPU dan Bawaslu didorong untuk fokus mengurusi tahapan-tahapan yang sedang berjalan dan membuka informasi seluas-luasnya. Perdebatan soal salah benar tak membuat publik ingin tahu latar belakang dan rekam jejak para calon. Perdebatan mesti diselesaikan di ranah hukum.
“Persoalan ini dikembalikan saja ke mekanisme hukum karena posisi KPU dan Bawaslu sama-sama kekeuh. Adanya lembaga ketiga diluar mereka memang harus ada sebagai pemberi kepastian hukum,” tutup Veri.