August 8, 2024

Korupsi Kepala Daerah dan Tingginya Biaya Politik

Publik dibuat riuh pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan. KPK menyita uang sebesar Rp 3,5 Miliar, akibat dugaan suap kepada Nurdin dari sebuah perusahaan agar dilibatkan dalam proyek infrastruktur yang sedang digencarkan di Sulsel. Kasus ini, menambah panjang catatan hitam korupsi kepala daerah. Tercatat, pasca KPK dibentuk, sebanyak 21 Gubernur dan 122 Bupati/ Walikota terjerat kasus korupsi, sehingga total terdapat 143 kepala daerah yang  menjadi tahanan KPK (KPK, 2020).

Gubernur Nurdin sendiri sebetulnya merupakan tokoh yang memiliki segudang prestasi. Nurdin yang sebelumnya Bupati Bantaeng, telah memajukan daerahnya dengan membuat kebijakan-kebijakan progresif. Dibawah kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi bahkan meningkat dari 4,7 % menjadi 9,2%, yang membuat Nurdin diapresiasi dunia internasional. Selain itu, berbagai macam penghargaan didapatnya seperti ‘Tokoh Perubahan’ dari Harian Republika pada 2015, hingga ‘Tokoh Anti Korupsi’ dari Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA). Melihat prestasi dan pengghargaannya, cukup mengejutkan jika Nurdin terjerat kasus korupsi.

Namun, korupsi kepala daerah bukan hal baru. Pasca otonomi daerah dan pilkada langsung, kepala daerah memiliki kekuasaan yang lebih besar, sehingga potensi korupsi juga tentu saja meningkat. Akibatnya, korupsi yang dahulu tersentralisir di Jakarta, sekarang malah ikut tersdesentralisir. Di beberapa daerah, korupsi bahkan seolah menjadi warisan kepala daerah kepada penerusnya. Misalkan di Riau, tiga gubernurnya, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Ma’mun, berturut-turut terjerat kasus korupsi. Provinsi tetangganya, Sumatera Utara, Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho, juga secara berturut-turut terjerat korupsi. Tentunya kejadian tersebut juga terjadi di banyak daerah lainnya.

Tingginya Biaya Politik

Tingginya angka korupsi di daerah, selain karena nafsu kekuasaan, juga disebabkan permasalahan lainnya seperti biaya politik yang tinggi. Membengkaknya biaya politik kemudian mendorong kandidat untuk mencari sumber pendanaan lain. Fenomena ini ditambah dengan profesionalisasi kegiatan politik seperti biaya kampanye, polling, iklan di media massa, hingga konsultan politik, yang kesemuanya perlu pembiayaan (Falguera et.al., 2014). Di sisi lain, kandidat juga tidak memiliki akar di masyarakat, layaknya parpol yang tidak memiliki kedekatan ideologis dengan masyarakat dan cenderung sekedar menjadi perahu bagi segelintir individu (Castle, 1970). Hal ini menyebabkan kampanye harus digencarkan dan berbiaya mahal. Banyaknya uang yang dikeluarkan, akhirnya mendorong para calon untuk ‘balik modal’, sehingga mencara banyak sumber pendanaan, termasuk korupsi.

Porsi paling besar dari biaya politik adalah dana kampanye. Berdasarkan riset KPK, seorang calon bupati/walikota membutuhkan Rp 20 – 30 Miliar, dan calon gubernur membutuhkan Rp 20 – 100 Miliar untuk pencalonannya (KPK, 2015). Namun angka tersebut tidak tercatat secara formal oleh KPU atau KPK. Seperti misalnya dana Kampanye Gubernur Nurdin Abdullah yang menurut catatan KPU sebesar Rp 11 Miliar (KPU, 2018). Pengeluaran dana kampanye yang tercatat berdasarkan laporan penerimaan dana kampanye (LPPDK) kepada KPU, juga jauh dari realita bila melihat kandidat-kandidat lainnya. Artinya, terdapat proses “di belakang” antara kandidat dan parpol, dalam pengeluaran dana kampanye.

Pencalonan kepala daerah lewat minimal 20% kursi parpol di DPRD, juga turut menaikkan angka biaya politik. Walaupun tidak secara formal, seorang kandidat perlu memberikan kontribusi kepada partai pengusung yang seringkali berbentuk uang mahar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa parpol memiliki posisi tawar tinggi dalam fenomena ini, khususnya yang memiliki kursi di DPRD, yang membuat kandidat akhirnya terpaksa memberikan uang mahar kepada parpol guna pencalonannya.

Klientelisme dan Korupsi Politik

Biaya politik yang fantastis tentu saja membutuhkan sumber pembiayaan yang baik. Para kandidat, selain mengandalkan kemampuan finansial individu, juga sumbangan dana dari berbagai pihak. Sumber pendanaan seringkali dihasilkan dari konglomerat atau korporasi yang memegang kekuatan finansial, yang tentunya mengharapkan timbal balik, serta politik balas budi. Hal ini berimplikasi pada relasi patron-klien atau yang biasa disebut klientelisme.

Fenomena ini berdasar pada relasi antara politisi sebagai patron dan donatur sebagai klien. Politisi dianggap sebagai sebuah jalan yang digunakan untuk mendistribusikan keuntungan seperti kebijakan atau regulasi, kepada donatur yang telah mendukungnya (Hanif, 2009). Para donatur seringkali menemui kendala dalam usahanya akibat birokrasi yang inefisien, sehingga membutuhkan relasi yang baik dengan politisi yang membantunya lewat pembentukan kebijakan atau regulasi (Muller et.all., 2009)

Simbiosis mutualisme antara patron-klien ini bermuara pada kebijakan atau regulasi yang tidak berorientasi pada masyarakat. Dengan relasi ini, donatur diperlakukan istimewa, sehingga dapat dengan bebas melakukan kegiatan usahanya tanpa tersentuh hukum (Husodo, 2012). Bentuknya seperti pemberian izin dan pembentukan regulasi yang melanggar hukum, serta tidak sesuai dengan masyarakat. Selain itu, korupsi politik akibat relasi patron-klien yang istimewa, juga semakin meningkat.

Korupsi politik yang dilakukan pejabat hasil pemilu ini, biasanya bernilai fantastis. Biasanya berbentuk suap, bersifat politis, dan berdampak pada pembentukan kebijakan maupun regulasi (Sukmajati, 2018). Dari sini, para donatur dan pengusaha lainnya, kemudian membangun relasi dan menyuap para politisi sehingga berpengaruh pada kebijakan yang menguntungkan. Ini ditambah, para politisi membutuhkan dana tambahan untuk mempertahankan kekuasaan lewat pemilu selanjutnya.

Akhirnya, korupsi politik kemudian menjadi sebuah siklus tahunan. Dalam sebuah diskusi, Mada Sukmajati (2021), menjelaskan bahwa tahun pertama jabatan politisi digunakan untuk mengembalikan modal, tahun kedua dan ketiga digunakan untuk mencari keuntungan, dan akhinrya, tahun keempat dan kelima digunakan untuk mengakumulasikan modal untuk pencalonan pemilu berikutnya. Akibatnya, dapat dilihat data dari KPK di atas tentang jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi. Bila dilihat polanya pertahun, pasca Pilkada 2015, korupsi kepala daerah naik signifikan, dari rata-rata 5 kasus per-tahun, menjadi 14 kasus per-tahun (KPK, 2020).

Format pilkada serentak, menyebabkan persaingan lebih ketat lantaran menutup peluang ‘kutu loncat’ yang mencoba peruntungan di banyak daerah melalui pilkada. Persaingan ketat ini, ikut membuat kebutuhan dana menjadi lebih besar. Hal ini kemudian mendorong calon untuk melakukan korupsi dan bersekongkol dengan para pengusaha. Menurut catatan ICW (2018), terdapat beberapa kepala daerah yang melakukan korupsi dengan tujuan pembiayaan politik seperti Siti Mashita Suparno (Walikota Tegal 2013-2018), Sri Hartini (Bupati Klaten 2015-2020), dan Andriatma Dwi Putra (Walikota Kendari 2017-2022). Oleh karenanya, korupsi sistemik akibat fenomena ini membutuhkan perhatian negara. Negara perlu melakukan intervensi atas pembiayaan politik dengan pengaturan-pengaturan yang inovatif.

Refomasi Pengaturan Dana Kampanye

Intervensi negara lewat pengaturan dana kampanye telah dilakukan. Misalkan pada Pasal 74 ayat (3) UU 10/2016, menjelaskan bahwa dana kampanye dimasukkan dalam rekening khusus atas nama calon. Pada ayat (8) juga dijelaskan bahwa penggunaan dana kampanye harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, sehingga pada Pasal 75 ayat (1) dijelaskan bahwa paslon harus memberikan laporan dana kampanye, satu hari sebelum dan setelah jadwal kampanye. Laporan tersebut diserahkan pada kantor akuntan publik (KAP) untuk diaudit. Hasil audit KAP kemudian dipublikasikan oleh KPU. Namun, audit hanya terbatas pada laporan yang diberikan oleh para calon, sehingga hasil audit KAP tidak benar-benar mencerminkan realita biaya politik yang tinggi.

Selain itu, limit sumbangan dalam UU 10/2016, sebesar Rp 75 Juta dari perseorangan dan Rp 750 Juta dari badan hukum swasta, masih terlampau besar. Angka ini lebih tinggi daripada pengaturan UU 1/2015 yang direvisi oleh UU 10/2016. Implikasinya, penyumbang-penyumbang besar dengan beragam kepentingan akan bermunculan, sehingga praktik klientelisme, tak dapat terelakkan. Di sisi lain, tingginya belanja kampanye, memang telah dibatasi melalui Pasal 74 ayat (9) UU 10/2016. Namun, pasal tersebut hanya memberikan kewenangan pengaturan teknisnya kepada PKPU, sehingga implementasinya juga tidak sejalan dengan tujuan.

Oleh karenanya, pengaturan soal dana kampanye ini perlu diubah. Beberapa hal perlu diatur secara rigid semisal sumber dana, wujud dan maksimal sumbangan, maksimal pengeluaran, asal-usul sumbangan, hingga pemisahan dana kampanye dengan dana non-kampanye (Minan, 2012). Selain itu, diperlukan juga audit investigatif, yang memberikan peluang kepada KAP untuk tidak hanya melihat laporan dari calon, namun juga menyelidiki lebih jauh penerimaan dan pengeluaran secara nyata. Pembatasan sumbangan dan belanja dana kampanye juga harus diperkuat. Limit sumbangan dapat diturunkan agar mencegah donatur-donatur besar yang dapat menyandera kepala daerah, serta didukung dengan pembatasan pengeluaran dana kampanye pada tataran undang-undang, sehingga PKPU sebagai aturan pelaksana akan lebih efektif dijalankan. []

KAHFI ADLAN HAFIZ

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)