August 8, 2024

KPU dan TKN Bantah Terjadi Terjadi Kecurangan TSM, Ini Argumentasinya

Sidang pembacaan jawaban termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta keterangan pihak terkait Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan calon (paslon) Joko Widodo atau Jokowi-Ma’ruf Amin dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah selesai digelar. Dari sidang tersebut, dapat diketahui argumentasi KPU dan TKN dalam membantah dalil yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Shalahuddin Uno bahwa telah terjadi pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

KPU fokus pada argumentasi bahwa konsep pelanggaran TSM mesti menyertakan keterlibatan penyelenggara pemilu. Sedangkan TKN, sebelum akhirnya membantah dalil BPN satu per satu dan mengatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan BPN tidak sah dan BPN gagal menyambungkan keterkaitan antara kecurangan TSM dengan keterlibatan Jokowi sebagai petahana, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) semestinya tak menerima permohonan BPN karena permohonan awal BPN tak memenuhi syarat formil perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

“Pemohon telah gagal secara formil memenuhi ketentuan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan MK No.4/2018. Terlebih lagi, alat-alat bukti yang diajukan Pemohon tidak mempunyai nilai pembuktian. Berdasarkan pada alasan-alasan hukum di atas, berdasar secara hukum bagi Mahkamah untuk menyatakan Permohonan Pemohon kabur dan karenanya tidak dapat diterima,” tandas Ketua Tim kuasa hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra, pada sidang pembacaan keterangan pihka terkait di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (18/6).

Argumentasi KPU: tak ada pelanggaran TSM  tanpa dua hal

Mengutip Putusan MK No.17/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 11 Juni 2010, KPU menyebutkan bahwa MK mendefinisikan pelanggaran TSM sebagai pelanggaran yang melibatkan banyak orang, direncanakan secara matang, dan melibatkan pejabat serta penyelenggara pemilu secara berjenjang. Bahkan, keterlibatan penyelenggara pemilu secara berjenjang dalam suatu pelanggaran yang sifatnya TSM, berkaitan erat dengan adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran yang terjadi dengan pengaruhnya terhadap perolehan suara pasangan calon (paslon), dan berdampak pada kebebasan pemilih dalam menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani.

“Sikap Mahkamah dalam menerapkan pelanggaran TSM sebagaimana dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota diberlakukan terhadap pelanggaran yang tidak berdiri sendiri, tidak bersifat lokal, dan tidak bersifat acak, serta melibatkan penyelenggara pemilu dan dampaknya terhadap perolehan suara. Dalam hal pelanggaran yang menyangkut pelanggaran yang mengancam kelangsungan demokrasi, harus diikuti dengan dampaknya terhadap kebebasan pemilih dalam menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya,” terang kuasa hukum KPU, Ali Nurdin.

Mengacu pada definisi tersebut, KPU menyimpulkan bahwa dalil-dalil yang disampaikan BPN mengenai kecurangan TSM tak dapat membuktikan bahwa penyelenggara pemilu secara berjenjang terlibat dalam kecurangan pemilu. BPN mendalilkan klima bentuk ekcurangan TSM, yakni penyalahgunaan anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) dan program Pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan badan usaha milik negara (BUMN), ketidaknetralan aparatur negara, polisi dan intelijen, pembatasan kebebasan media, dan diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum. Kelima bentuk tersebut tak melibatkan KPU.

“Dalil pemohon mengenai adanya pelanggaran secara TSM oleh pihak terkait sama sekali tidak melibatkan termohon, atau paling tidak pemohon tidak menguraikan adanya keterlibatan atau kerjasama antara termohon dengan pihak terkait dalam melakukan pelanggaran dimaksud,” jelas Nurdin.

KPU juga membantah telah melakukan pelanggaran pemilu dengan menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) siluman. Pasalnya, penyusunan DPT dilakukan bersama-sama BPN, TKN, dan Bawaslu. KPU mencatat melakukan koordinasi sebanyak tujuh  kali, yakni pada tanggal 15 Desember 2018, 19 Desember 2018, 19 Februari 2019, 1 Maret 2019, 15 Maret 2019, 29 Maret 2019, dan 14 April 2019. KPU pun menindaklanjuti laporan dugaan pemilih ganda dari BPN dengan melakukan verifikasi bersama.

Terkait dalil BPN bahwa terdapat 17,5 juta pemilih tidak wajar di dalam DPT karena memiliki tanggal lahir yang sama, yakni sebanyak 9.817.003 orang bertanggal lahir 1 Juli, 5.377.401 orang bertanggal lahir 31 Desember, dan 2.359.304 orang bertanggal lahir 1 Januari, KPU menyanggah dengan menyebut kebijakan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simduk). Kebijakan yang diterapkan Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kependudukan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 1970 ini mencatat setiap penduduk yang tidak mengetahui tanggal dan bulan lahirnya, maka dicatat dengan tanggal 31 Desember. Dan, sejak menggunakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) pada 2004, penduudk yang tidak mengetahui tanggal dan bulan lahirnya dicatat pada tanggal 1 Juli.

“Kebijakan pemerintah tersebut bukanlah merupakan hal yang baru sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 19/2010 tentang Formulir dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, pada bagian Tata Cara Pengisian Formulir Biodata Penduduk Untuk Perubahan Data Warga Negara Indonesia (F-1.06) dimana untuk pengisian data individu angka 9 tentang tanggal lahir disebutkan bahwa tanggal lahir ditulis sesuai dengan tanggal, bulan dan tahun lahir. Jika pemohon tidak mengetahui tanggal lahirnya, harap ditulis tanggal 01 bulan 07 (Juli), sedangkan tahun sesuai dengan pengakuannya,” urai Nurdin.

Selain itu, terhadap dalil BPN bahwa KPU merekayasa hasil perolehan suara melalui Sistem Informasi Penghitungan (Situng), KPU menyatakan Situng hanyalah alat bantu dan media transparansi kinerja KPU, dan bahwa perbaikan terhadap kesalahan C1 dilakukan melalui rekapitulasi manual berjenjang. KPU juga telah memperbaiki kesalahan input data oleh operator pada Situng.

TKN: Kecurangan TSM di UU Pemilu adalah tentang politik uang

Pada awal keterangannya, TKN menuturkan bahwa kecurangan TSM yang terdapat di dalam UU Pemilu No.7/2017 adalah mengenai politik uang. Sesuai dengan Pasal 286 UU tersebut, pelanggaran politik uang TSM diselesaikan oleh Bawaslu, bukan MK.  Oleh karena itu, menurut TKN, BPN telah mencampuradukkan antara kewenangan MK dengan kewenangan Bawaslu.

“Konsep TSM yang dimuat di dalam Pasal 286 ayat (3) UU Pemilu dan penjelasannya adalah wewenang Bawaslu, bukan wewenang Mahkamah. Pengalihan kewenangan untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat TSM dari Mahkamah kepada Bawaslu merupakan legal policy pembentuk undang-undang untuk memurnikan pelaksanaan Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” ungkap kuasa hukum TKN, I Wayan Sudhirta.

Kemudian, TKN mengatakan bahwa dalam uraian kecurangan pemilu TSM, BPN tidak menjelaskan kaitan kecurangan terhadap hasil perolehan suara Pilpres. Anehnya, menurut TKN, petitum TKN meminta MK untuk menyatakan paslon 01 terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pilpres melalui penggelembungan suara dan pencurian suara secara TSM. Tak ada dalil yang menerangkan penggelembungan dan manipulasi suara oleh paslon 01 di dalam permohonan TKN.

“Setelah pihak terkait membaca kembali dalil-dalil posita yang dituliskan pemohon dalam permohonan barunya, tidak ditemukan adanya satu dalil pun yang menerangkan tentang tuduhan penggelembungan dan pencurian suara yang dilakukan pihak terkait,” tegas Yusril.

Lebih lanjut TKN menjawab dalil-dalil BPN yang menerangkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh petahana presiden Jokowi. Salah satunya mengenai ketidaknetralan Kepolian RI yang dapat terlihat dari adanya video Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz yang mengaku diperintahkan oleh Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Garut untuk menggalang dukungan kepada paslon 01, TKN menyatakan Sulman Aziz telah mengklarifikasi pengakuannya. TKN pun menyampaikan bahwa jika benar telah terjadi pengerahan dukungan untuk palson 01 di Garut, tak berdampak pada kerugian paslon 02. Jumlah perolehan suara paslon 02 di Garut jauh lebih besar dari perolehan suara palson 01, yakni 1.064.444 suara untuk paslon 02 dan (72,16%), 412.036 suara untuk paslon 01.

Usai sidang pembacaan jawaban dan keterangan, dijadwalkan sidang selanjutnya pada Rabu (19/6) adalah mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari BPN. MK membatasi saksi sebanyak 15 orang dan ahli 2 orang.