August 8, 2024

KPU Minta Peserta Pemilu Laporkan Dugaan Pelanggaran Pemilu Hanya ke Bawaslu

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman, menceritakan pengalaman rumit penyelesaian dugaan pelanggaran pemilu di Pilkada 2015. Di suatu kabupaten di Sumatera Utara, pelaksanaan pemilu tertunda selama satu tahun karena kurangnya pemahaman peserta pemilu dan stake holder kepemiluan mengenai mekanisme penindakan hukum pemilu. Peserta pemilu yang semestinya menempuh jalur hukum ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), justru menempuh jalur lain sehingga penyelesaian tak mengacu pada Undang-Undang (UU) Pilkada.

“Sudah diatur kalau menyelesaikan dugaan pelanggaran pemilu harus lewat Bawaslu. Kalau tidak puas dengan Bawaslu, baru ajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Ternyata ada yang menempuh lewat jalur lain sehingga tahapannya terlampaui,” kata Arief pada diskusi “Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu dalam UU 7/2017” di Tebet, Jakarta Selatan (4/10).

Berkaca dari pengalaman tersebut, Arief meminta Bawaslu untuk turut mensosialisasikan mekanisme penyelesaian dugaan pelanggaran pemilu kepada badan-badan peradilan. Tujuannya agar badan peradilan tak menyelesaikan persoalan yang berada di luar kewenangannya.

“Banyak badan peradilan lain yang ikut menangani proses berbagai jenis pelanggaran dan putusannya bisa bertolak belakang. Pemilu 2004 atau 2009, MA (Mahkamah Agung) dan MK (Mahkamah Konstitusi) pernah buat keputusan terhadap suatu kasus, tapi ditafsirkan berbeda,” jelas Arief.

Dilaporkannya pelanggaran pemilu ke badan lain di luar Bawaslu, kata Arief, merepotkan KPU. Pasalnya, KPU mesti hadir untuk memberikan keterangan di tempat pengajuan perkara.

“Itu menambah beban kerja yang seharusnya tidak kami lakukan. Menghabiskan energi dan anggaran negara. Regulasi bilang prosesnya cukup hanya di Bawaslu,” ujar Arief.