December 11, 2024

Lembaga Peradilan Pemilu Mesti Taat Batas Wewenang

Dalam sidang mendengarkan pendapat saksi ahli atas perkara yang diajukan oleh Evi Novida Ginting (24/6), Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menjelaskan bahwa Undang-Undang (UU) Pemilu telah mengatur kewenangan dan batasan kewenangan masing-masing peradilan atau kuasi peradilan yang menyelesaikan masalah kepemiluan. Dengan kewenangan dan batasan tersebut, semestinya tak terjadi singgungan kewenangan antar badan peradilan atau kuasi peradilan yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

Di dalam hukum pemilu, terang Titi, terdapat enam jenis pelanggaran. Pertama, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yaitu pelanggaran terhadap sumpah janji sebagai penyelenggara pemilu.

Kedua, pelanggaran administratif pemilu, yaitu pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang terjadi dalam tahapan penyelenggaraan pemilu. Tahapan-tahapan pemilu tercantum di dalam Pasal 167 UU No.7/2017.

Ketiga, tindak pidana pemilu. Keempat, sengketa proses, atau sengketa tahapan dalam diksi di UU Pilkada.

Kelima, sengketa tata usaha negara pemilu. Jika terjadi masalah dalam penetapan pasangan calon, penetapan daftar calon tetap (DCT), dan verifikasi partai politik peserta pemilu, peserta pemilu dapat mengajukan sengketa tata usaha negara pemilu.

Keenam, perselisihan hasil pemilu. Peserta pemilu yang berkeberatan dengan hasil yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Titi menekankan bahwa segala kewenangan yang diberikan kepada lembaga peradilan atau kuasi peradilan pemilu berakhir ketika KPU menetapkan hasil pemilu. Dengan demikian, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tak dapat menangani gugatan sengketa administrasi setelah KPU menetapkan hasil pemilu dan hasil tersebut menjadi objek sengketa di MK. Terlebih, jika MK telah mengeluarkan putusan sengketa hasil pemilu. Putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Di situlah terang benderang, bahwa tidak perlu terjadi singgungan kewenangan antara Bawaslu dan MK, ketika suatu keputusan KPU yang menyangkut hasil sudah disengketakan sebagai perselisihan hasil di MK. Ketika hasil sudah ditetapkan, objek yang ditetapkan itu dibawa ke MK, maka tidak ada lagi ruang bagi Bawaslu untuk mempersoalkan prosedur dan mekanisme,” tandas Titi.

Dengan batasan tersebut, Titi mengkritisi kepatuhan para lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengadili pelanggaran pemilu terhadap batasan kewenangan.  Dalam kasus yang di kemudian hari berdampak pada pemberhentian tetap Evi Novida Ginting oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu tak patuh pada batasan tersebut. Bawaslu masih menangani laporan pelanggaran administrasi pemilu dengan objek penetapan hasil pemilu oleh KPU yang telah dijadikan objek perkara di MK.

“Jadi, dalam konteks kasus ini, salah satu kekisruhan itu muncul ketika Bawaslu masih menangani laporan pelanggaran administrasi pemilu, yang notabene perkara itu sudah dibawa ke MK,” tukas Titi.

KPU menetapkan hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei 2019 dini hari. Hendri Makaluasc, calon anggota legislatif (caleg) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) daerah pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Barat 6 kemudian mengajukan gugatan ke MK dan MK mengeluarkan putusan pada 8 Agustus 2019. 2 September 2019, Bawaslu memutus sengketa administrasi pemilu yang diajukan oleh Hendri Makaluasc.

Sependapat dengan Titi, mantan ketua MK, Hamdan Zoelva pun menyampaikan bahwa badan peradilan mesti mematuhi batasan wewenang yang telah diberikan oleh UU Pemilu. Dalam pemilu, batasan wewenang erat berkaitan dengan jadwal pelaksanaan tahapan.

“Dulu pernah kejadian. Ketika dimasukkan ke MK, sudah selesai penetapan hasil, tapi ada masalah calon kepala daerah yang masih dipersoalkan di TUN. Sementara harusnya putusan MK final dan mengikat. Maka pada saat itu, MK menunggu putusan TUN yang terakhir agar tidak terjadi tabrakan. Oleh karena itu, UU mengatur, segala masalah administrasi dalam pemilu, harus diputus sebelum akhir putusan MK,” urai Hamdan.