Transaksi jual beli tiket pencalonan kepala daerah oleh partai yang kerap disebut mahar politik dinilai akan memicu peningkatan korupsi oleh kepala daerah yang kelak akan terpilih. Korupsi dilakukan untuk mengembalikan uang keluar untuk membayar mahar yang makin sini makin besar jumlahnya.
“Kalau di awal proses pencalonan kepala daerah sudah mengeluarkan banyak uang untuk membeli surat keputusan pencalonan parpol, maka besar kemungkinan terjadi korupsi terhadap anggaran daerah untuk mengembalikan uang tersebut,” kata Almas Sjafrina, peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW), saat diskusi media “Usut Tuntas Dugaan Mahar Politik,” di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan (17/1).
Mahar politik dalam beberapa kasus tidak keluar dari kantong pribadi kandidat. Ada bandar yang membiayai kandidat agar mendapat surat rekomendasi pencalonan dan kemudian memenangkan pilkada. Sebagai imbalan, kandidat yang berhasil terpilih dalam pilkada akan memberi fasilitas bagi bandar saat ia memegang kendali pemerintahan.
“Irisan antara korupsi dan pilkada nanti di situ, seperti jual beli izin usaha. Kepala daerah terpilih akan memberikan fasilitas yang mudah bagi pengusaha yang menjadi bandarnya. Semakin tinggi mahar, semakin tinggi pula peluang korupsinya,” tandas dia.
Hasil penelusuran ICW, ada 215 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dalam periode 2010 hingga 2015. Angka ini diprediksi akan terus bertambah. “Kita khawatir kasus korupsi bakal meningkat pasca pilkada 2018 karena mahar politik sampai ratusan miliar. Kalau sebelumnya kan, tidak terlalu besar maharnya, tetapi sekarang itu besar sekali,” ungkap Almas.