August 8, 2024

Mahar Politik di Pemilu, Tindak Pidana yang Tak Ada Sanksi Pidananya

Undang-Undang (UU) Pemilu menunjukkan celah dalam penegakan hukum terhadap kasus mahar politik. Jika UU No.10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memberikan sanksi pidana, tidak halnya dengan UU Pemilu. Dengan kata lain, meskipun Pasal 228 UU Pemilu menyatakan larangan mahar politik, namun norma ini tak bisa dieksekusi untuk menindak pelaku mahar politik karena tak ada pasal yang memuat sanksi pidananya.

“Mahar politik itu korupsi politik, tapi bagaimana mau menegakkan hukum kalau pasal pidananya saja tidak ada? Nah, ini apakah sengaja atau karena kelalaian?” ucap Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada seminar “Politik Transaksional, Korupsi Politik, dan Kampanye Hitam pada Pemilu 2019 dalam Tinjauan Hukum Pidana” di gedung Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok, Jawa Barat (9/10).

Parahnya lagi, sanksi administratif berupa pembatasan bagi partai politik untuk mencalonkan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada pemilu berikutnya terbilang percuma. Sanksi administratif hanya dapat diberikan jika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa partai politik terbukti telah melakukan tindak pidana mahar politik.

“Jadi, mahar politik itu seolah-olah ada sanksinya. Tapi problem-nya, harus ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, yang tidak akan kita dapatkan sanksinya sampai hari kiamat karena gak ada ketentuan pidananya,” jelas Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UI, Topo Santoso.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membenarkan kelemahan regulasi dalam penegakan hukum mahar politik tersebut. Bawaslu akan mengajukan pasal mengenai sanksi pidana mahar politik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna memenuhi harapan masyarakat akan penegakan hukum.

“Kami akan ajukan ke DPR agar di kemudian hari, jika ada masalah mahar politik, bisa diselesaikan,” tukas anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja.