Lembaga survei bisnis dan politik Manilka melakukan survei terhadap masyarakat menengah ke atas untuk menguji persepsi publik terhadap RUU Pemilu. Hasilnya, RUU Pemilu tak menjadi perhatian masyarakat. RUU Pemilu berada di nomor urut empat, kalah populer dengan isu UU Organisasi Masyarakat (Ormas).
“Masyarakat gak begitu ngerti maksudnya apa sih RUU Pemilu itu. Mereka juga gak begitu tau kalau RUU Pemilunya belum disahkan. Makanya, respon mereka kaget,” kata Chief Executive Officer (CEO) Manilka, Dani MA, pada diskusi “Solusi UI untuk Indonesia” di Salemba, Jakarta Pusat (18/7).
Dani mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 dilaksanakan secara serentak. Namun, mereka baru mengetahui mandat pemilu serentak telah ada sejak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2014.
Selain itu, ketika dihadapkan pada fakta lima isu krusial, mayoritas responden menilai bahwa sikap kekeuh Pemerintah yang menginginkan presidential threshold (PT) sebesar 20 persen kursi parlemen merupakan langkah Presiden Joko Widodo dan ruling parties untuk melanggengkan kekuasaan. Namun, responden juga menilai bahwa sikap partai yang tak menghendaki adanya PT dikarenakan partai telah memiliki kandidat calon presiden dan wakil presiden.
“Jadi, publik menilai mau PT 20 atau 0 persen adalah karena dua kubu di parlemen punya kepentingan masing-masing. Mereka bilang, kenapa ya yang dipikirkan adalah kepentingan partai?” tukas Dani.
Dani menyimpulkan bahwa secara umum, masyarakat tak memahami RUU Pemilu. Diskursus RUU Pemilu masih elitis dan jauh dari jangkauan publik.
“Responden yang kita tanya, meskipun profilnya menengah ke atas, tapi gak banyak yang mengerti soal masalah sebenernya RUU Pemilu,” ujar Dani.
Survey Manilka menunjukkan bahwa mayoritas responden mengharapkan pemilu berlangsung aman, jujur, adil, dan tentram. Responden tak ingin kekisruhan yang terjadi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta terulang di Pemilu Serentak 2019.