January 31, 2025

Manipulasi Instrumen Demokrasi oleh Politisi Jadi Ancaman Demokrasi Modern

Pandangan publik terhadap demokrasi menguat. Publik mempercayai bahwa demokrasi merupakan pilihan yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Namun ternyata, di 140 negara di dunia termasuk Indonesia, demokrasi menuju jalan mundur akibat maraknya praktik manipulasi yang dilakukan oleh para politisi terhadap instrumen demokrasi guna meningkatkan wewenangnya.

Sedikitnya ada dua bentuk ancaman kemunduran terhadap demokrasi modern. Satu, manipulasi strategis atas sistem pemilu. Dua, penguatan wewenang oleh eksekutif dengan mengubah aturan main kekuasaan.

“Yang menjadi concern itu politik transaksional dan penggunaan medsos (media sosial) untuk ujaran kebencian. Kemarin ada yang melakukan JR (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Katanya maksimal dua kali jabatan presiden itu kalau berturut-turut. Kalau tidak, boleh. Nah, ini yang mengkhawatirkan,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada seminar “Dua Dekade Reformasi, Quo Vadis Politik yang bermartabat?” di Gedung LIPI, Kuningan, Jakarta Selatan (15/5).

Titi menguraikan lebih lanjut bahwa demokrasi Indonesia menghadapi banyak tantangan. Di antaranya, kerangka hukum pemilu yang belum sepenuhnya menjamin pemilu yang demokratis dan menjamin hak pilih warga, pengaturan sistem pemilu yang tidak sinkron dengan tujuan penguatan sistem pemerintahan, partai politik yang menjauh dari fungsinya, menguatnya dinasti oligarki yang cenderung korup, politik transaksional, post truth era, integritas penyelenggara pemilu, mentalitas siap menang tak siap kalah, dan melemahnya masyarakat sipil di tengah negara yang menguat.

“Aturan pemilu selalu memberi celah untuk kompetisi yang tidak kompetitif. Desain pemilu serentak juga belum disempurnakan. Partai politik, tidak menjalankan fungsi pendidikan politik dan kaderisasi dengan baik. Ini semua masalah demokrasi yang sedang kita hadapi,” tandas Titi.

Sebagai rekomendasi, Titi mengusulkan agar pembuat undang-undang (UU) membuat aturan gamblang tentang proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta calon anggota legislatif. Frase transparan di UU Pemilu harus dijabarkan secara detil di dalam badan UU.

“Yang transparan itu harus konkrit. Seperti apa? Jangan hanya dikatakan sesuai dengan AD/ART (anggaran dasar/anggara rumah tangga) partai. Ini yang menyebabkan proses pencalonan dimaknai secara sempit,” terang Titi.

Selain itu, Titi juga merekomendasikan untuk mereformasi sistem pemilu dengan menjadwalkan pemilu serentak nasional dan pemilu lokal 2,5 tahun sekali, memulai UU keuangan partai politik, dan mengadakan democracy fund untuk memperkuat masyarakat sipil.

“Adakan democracy fund agar masyarakat sipil tidak bergantung pada pendanaan asing. Ini penting untuk memperkuat masyarakat sipil,” tandas Titi.