Pilkada Serentak 2017 terdiri dari 101 daerah tapi isi media lebih banyak pemberitaan Pilkada DKI Jakarta. Meminjam istilah Ketua Dewan Pers Indonesia, Yosep Adi Prasetyo, media kita seperti tayangan pacuan kuda. Pemberitaan lebih banyak soal siapa kontestan unggul dibanding lainnya.
Media lupa, aspek pemilu tak hanya soal kontestasi. Di luar itu, pemilu punya ragam apsek: sistem pemilu, manajemen, penegakan hukum, dan aktor. Kontestasi masuk sebagai aspek kecil dalam aspek aktor.
Di keadaan masih jauhnya pemahaman masyarakat terhadap pemilu, media sosial pun belum baik mendidik netizen. Puja atau hina banyak mengisi lini masa twitter atau facebook. Masih, hanya terfokus di Pilkada DKI Jakarta.
Ya! Media menjadi salah satau pihak bertanggung jawab atas kegagalan pola pikir dan perhatian publik yang masih dangkal dalam menyikapi pemilu dalam ranah sempit, dan demokrasi dalam ranah yang lebih luas. Pernahkah media menempatkan masyarakat sebagai aktor pemilu yang utama dalam berita-berita mereka?
Bagaimana pemimpin yang diinginkan oleh kelompok-kelompok minoritas? Bagaimana model pemimpin yang diharapkan oleh kelompok disabilitas? Bagaimana model pemimpin yang didambakan oleh para buruh dan kaum menengah? Bagaimana model pemimpin yang diimpikan oleh kaum cendekiawan dan hartawan?
Media, menjadi ironi di tengah wajah demokrasi Indonesia. Barangkali karena media kini ikut berpolitik, sebab media dimiliki oleh aktor-aktor yang pula (akhirnya) terjun dalam dunia politik.
Jurnalis, jangan mau dijadikan sekadar penulis berita atas berbagai misi dan manuver aktor politik. Jangan lupakan fungsi media yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengadvokasi kepentingan masyarakat.
PEMILU 2014 makin menyadarkan kita akan pentingnya partisipasi aktif warga di dalam pemilu. Harapan pemilu bisa lancar dan berakhir damai terwujud karena warga berpartisipasi tak hanya dengan menggunakan hak pilih tapi juga memantau pemilu sebelum, saat, dan setelah pencoblosan. Partisipasi warga yang aktif ini menentukan penerimaan hasil pemilu di saat media mainstream, lembaga survei, tokoh, dan pengamat politik berpihak pada kontestan.
Salah satu entitas warga yang penting berpartisiapsi di pemilu adalah pers kampus. Pers kampus penting dan strategis dalam partisipasi di pemilu karena bersifat independen dan idealis. Pers kampus lekat dengan nilai aktivisme mahasiswa dan etika jurnalistik. Yang terpenting, cuma pers kampus yang beraktivitas dan berkeahlian merekam partisipasi dan dinamika pemilu.
Fakta tersebut penting dilanjutkan dalam partisipasi masyarakat di Pilkada 2015. Idealisme, kemandirian, dan kemampuan pegiat pers kampus dalam merekam dinamika pilkada sangat dibutuhkan dan diperluas partisipasinya. Pers kampus di suatu daerah harus menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam partisipasi di pilkada.
Berdasarkan pengalaman Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) beraktivitas bersama dengan pers kampus, disimpulkan, tingginya semangat berpartisipasi dan keahlian jurnalistik pegiat pers kampus belum disertakan pemahaman yang cukup dalam kepemiluan dan pemantauan pemilu. Karena ini, Perludem berencana melakukan pendampingan lagi dengan pers kampus untuk perspektif kepemiluan dan pemantauan.
Partisipasi merupakan inti dari demokrasi dan transisi kekuasaan demokrasi bernama pemilu. Keterlibatan pers kampus dalam kepemiluan akan menggambarkan kuantitas dan kualitas partisipasi masyarakat. Berapa banyak karya jurnalistik pemilu yang dihasilan dan konten kepemiluan apa saja yang dituliskan menjadi ukuran kualitas pemilu dan demokrasi Indonesia. []
AMALIA SALSABILAÂ
Pegiat rumahpemilu.org