Melawan hoax pilkada yang paling strategis adalah dengan melakukan kontra narasi dan klarifikasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) harus mengoptimalkan semua media yang ada untuk menyampaikan informasi benar yang mudah diakses dan menyediakan layanan klarifikasi.
“Pemerintah dapat memanfaatkan media yg tersedia seperti website lembaga, media sosial, dan lainnya. Ini semua untuk menyebarkan kontra narasi dan mengklarifikasi hoax dalam pilkada,” kata pegiat Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Alia Yofira Karunian kepada Rumahpemilu (22/11).
Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil dalam bentuk cek fakta juga penting dilakukan. Insan pers dan lembaga masyarakat sipil seperti Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) selama ini makin baik mengatasi hoax.
Selebihnya, keterlibatan platform media sosial seperti Faceboook, Twitter, dan lainnya juga amat strategis. Umumnya hoax disebarkan melalui sosial media, maka platform juga memiliki peran mengedukasi para penggunanya.
“Pemberian tanda postingan yang merupakan hoax serta mempromosikan kanal-kanal informasi resmi sebaiknya harus terus dilakukan platform social media,” tutup Alia.
Pada November ini, Kemkominfo, Bawaslu, dan KPU menindaklanjuti Deklarasi Internet Indonesia Lawan Hoaks dalam Pilkada 202. Bawaslu telah menerima 217 tautan dari Kemkominfo. Hasil analisis, terdapat 65 tautan melanggar Pasal 69 Huruf C Undang-Undang Pilkada. Kemudian 10 tautan yang melanggar pasal 62 PKPU 13/2020 dan 2 tautan yang melanggar Pasal 28 UU ITE karena berisi berita bohong atau disinformasi. []