August 8, 2024

Melodrama di Puncak Pemilu OLEH GARIN NUGROHO

“Awas bakalan penuh drama!” Seruan penuh kekhawatiran semacam ini sering terdengar pada periode menjelang puncak pencoblosan tanggal 17 April 2019 dan pasca-Pemilu 2019. Inilah pemilu yang sering disebut sebagai pemilu di era hiburan televisi dan viral yang dipenuhi nuansa melodrama. Sebuah genre yang melahirkan budaya mengonsumsi hiburan penuh konflik keterpecahan, mengeksplorasi emosi dangkal, stereotip dan serba hitam-putih, instan, sekaligus mengelola kontras karakter, yakni sisi serba baik melawan serba buruk.

Genre melodrama ini menjadi rumus populer pada drama hingga opera sabun televisi, sebuah genre yang sudah bertumbuh di panggung drama Eropa sejak abad ke-17 dan berpuncak setelah abad ke-19.

Kultur penggemar

Melodrama dalam kajian budaya telah melewati batas-batas semata genre dan fiksi. Ia bertumbuh menjadi cara pandang, cara kerja, dan cara bereaksi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bersikap atas situasi di puncak pemilu.

Cara pandang serba melodrama ini terbaca di berbagai nuansa dukung-mendukung kandidat presiden yang perlu mendapat catatan sendiri, berkait wajah demokrasi Indonesia dan Pemilu 2019. Pertama, kultur melodrama melahirkan kultur penggemar alias fans. Kultur ini berpotensi melahirkan sindrom fanatisme pendukung terhadap kandidat presiden sebagai hasil komoditas budaya populer, layaknya kelompok penggemar terhadap diva hiburan. Akibatnya, terjadi cara pandang dan reaksi serba hitam-putih, yakni serba pahlawan dan nabi pada kandidat yang didukung, tetapi serba hitam alias buruk pada kandidat yang tidak didukung beserta pendukungnya.

Pada bentuk ekstremnya, kelompok pendukung kandidat mampu jadi semacam cult, sebutlah fenomena ”Elvis Cult”, menjadikan kandidat adalah kebenaran idola tunggal. Bahkan, ketika seseorang menyeberang dan masuk ke kubu yang lain, ia akan terhakimi jadi sosok serba buruk rupa.

Dilemanya, jika bentuk ekstrem ini terwujud, negara mengalami keterbelahan, sehingga pascapemilu, siapa pun jadi presiden akan dihadapkan pada perlawanan dari pihak yang kalah. Maka, program-program yang baik dari presiden baru akan dalam penghakiman serba buruk dari pendukung kandidat yang kalah. Bisa diduga, upaya sang presiden untuk menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan akan terhambat.

Kedua, formula melodrama adalah rumus mengelola konflik tanpa akhir lewat rotasi eksplorasi beragam potensi konflik. Pada hukum melodrama, setiap elemen terkecil bercerita adalah elemen membangun konflik. Harap mafhum, pada masyarakat melodrama, para pendukung atau tim sukses presiden akan mengelola konflik serta mengangkat ketidakpuasan lewat unsur-unsur terkecil yang dirasa merugikan kandidatnya. Bisa diduga, formula mempermasalahkan hal terkecil yang merugikan salah satu kandidat akan semakin riuh menjelang puncak pemilu, terlebih setelah hasil pemilu.

Dilemanya, hukum melodrama tidak berbasis hukum bercerita yang rasional, tetapi lebih mengelola emosi penonton. Maka, pada masyarakat melodrama, unsur-unsur yang dipermasalahkan terkait sang kandidat sering kali kehilangan daya kritis serta kualitas informasi dan komunikasi.

Ketiga, formula hitam-putih pada melodrama mendorong pengentalan identitas yang kini jadi kekhawatiran global. Hal itu akibat rasa serba terancam dalam beragam perspektif. Sebutlah, globalisme baru lewat arus deras televisi, internet, dan gawai yang begitu merebak di satu sisi membawa dunia baru, di sisi lain melahirkan perasaan terancam tiap detiknya lewat hiruk-pikuk informasi yang tak bisa terkontrol.

Aspek lain pengentalan identitas adalah kegelisahan dunia ekonomi baru yang tak terdefinisikan mendorong meluasnya perasaan tidak aman pada kesejahteraan, melahirkan benteng-benteng pengentalan identitas dalam wujud komunitas, kelompok agama, etnis, hingga bangsa. Harap mafhum jika menjelang puncak dan sesudah pemilu tersebar beragam perspektif emosional berkait pengentalan identitas dengan beragam perasaan tidak aman.

Kultur ”happy ending”

Catatan kekhawatiran di atas sesungguhnya bisa diatasi dengan mengambil aspek positif hukum melodrama, yakni opera sabun Indonesia yang populer. Meski serba stereotip dan instan serta konflik, akhir cerita senantiasa dipenuhi jargon serta pesan moralis dalam formula happy ending.

Simaklah representasi kultur rembuk bersama lewat adegan populer di banyak opera sabun, yakni kedatangan pak lurah atau pak RW untuk memecahkan situasi konflik di antara pemuda kampung. Atau kultur penuh moto hidup positif pada tokoh utama opera sabun menjadikan ia tayangan yang digemari ibu-ibu penonton setia opera sabun.

Oleh karena itu, meski situasi sosial budaya masyarakat dikhawatirkan dipenuhi aspek negatif kultur melodrama, budaya serba moralis dan rembuk bersama dalam memecahkan konflik sebagai kultur utama melodrama ala Indonesia diharapkan mampu menjadi sumber pemecahan beragam ketidakpuasan para pendukung kandidat di puncak menjelang pemilu atau pascapemilu. Demikian juga, kultur serba happy ending yang digemari penonton opera sabun akan terwujud di Pemilu 2019.

Garin Nugroho Pendiri Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 8 Februari 2019 di halaman 6 dengan judul “Melodrama di Puncak Pemilu”. https://kompas.id/baca/opini/2019/02/08/melodrama-di-puncak-pemilu/