Undang-undang Pilkada 1/2015 jo 8/2015 jo 10/2016 jo 6/2020 tidak mengatur secara khusus hoax. Ternyata, hanya ada satu ketentuan dalam UU Pilkada yang bisa dikaitkan dengan hoax. Hal ini merupakan tanda, penyikapan hoax dalam pilkada serentak berupa penegakan hukum jauh lebih banyak menggunakan hukum di luar UU Pilkada.
Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, hoax berarti berita bohong. Makna dari pengertian ini bisa tetap luas jika kita artikan berita sebagai semua bentuk pesan, bisa juga menjadi menyempit jika kita artikan berita sebagai pesan dalam media pemberitaan. Yang pasti, dalam pengertian KBBI pun hoax tidak menyertakan makna tindak kejahatan pidana.
UU Pilkada tidak menampung kata “hoax” dan kata “bohong”. Kata paling dekat dengan arti hoax dalam UU Pilkada adalah kata “fitnah” yang ditulis menjadi kata kerja aktif “memfitnah”.
UU 1/2015 Pasal 69 c bertuliskan:
Dalam Kampanye dilarang: melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Menurut Pasal 72 ayat (1) UU 1/2015, kampanye berupa memfitnah merupakan tindak pidana. Sanksi dikenai sesuai peraturan perundang-undangan.
Lalu, dalam Bab Ketentuan Pidana UU Pilkada, dimuat bentuk sanksi pidana untuk tindakan memfitnah. Pasal 187 ayat (2) bertuliskan:
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000.00 (enam juta rupiah).
Sudah. Hanya itu istilah hoax yang relevan dalam UU Pilkada. Ketentuan itu pun punya pembatasan pada aspek kampanye. Di luar kampanye, jika ada hal yang dikaitkan dengan hoax, sudah tidak lagi termasuk lingkup UU Pilkada.
Meski begitu, ketentuan hoax dengan istilah fitnah dalam UU Pilkada harus diklarifikasi. Dalam Pasal 187 ayat (2) sebagai ketentuan sanksi pidana, bertuliskan “setiap orang”. Tapi, jika kita merujuk pengertian kampanye dalam UU Pilkada, subjek hukum pelaku kampanye bukanlah setiap orang melainkan adalah orang-orang yang ditetapkan sebagai subjek kampanye.
UU Pilkada 10/2016 pasal 63 ayat (2) bertuliskan:
Kampanye dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.
Tertulis jelas, subjek hukum dalam kampanye menurut UU Pilkada. Subjek hukum dalam pelaksanaan kampanye adalah:
- Partai politik;
- Pasangan calon;
- Partai politik dan pasangan calon;
- KPU provinsi sebagai fasilitator kampanye pemilihan gubernur-wakil gubernur;
- KPU kabupaten/kota sebagai fasilitator kampanye pemilihan bupati-wakil bupati/walikota-wakil walikota.
Jadi, UU Pilkada mengatur hoax dalam dua batasan. Pertama, batasan muatan. Kedua, batasan subjek hukum yang melakukan.
Kesimpulannya, menurut UU Pilkada, hoax adalah kampanye berupa memfitnah yang dilaksanakan oleh partai politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU. Selebihnya, hoax bukan tanggungjawab UU Pilkada. []
USEP HASAN SADIKIN