Maret 28, 2024
iden

Memastikan Revisi UU Pemilu Hasilkan Pemerintah Yang Sehat

Beberapa minggu lalu, saya menonton film dokumenter Save Capitalism di sebuah platform penyedia film yang semakin digandrungi banyak kelas menengah. Film itu dibuat pada 2017, menarasikan argumen Robert Reich bahwa penyimpangan kapitalisme telah membuat democracy in decay. Demokrasi membusuk di Amerika Serikat.

Meski tak sepakat dengan kesimpulan Reich, seorang mantan Secretary of Labor, namun dokumenter itu menggambarkan betapa celakanya demokrasi dan rakyat di dalamnya, jika hanya super wealthy dan wealthy people atau orang-orang kaya dan super kaya yang dapat menjadi pembuat kebijakan, atau punya sambungan langsung dengan para pembuat kebijakan. Film ini tetap wajib ditonton bagi semua orang dari ragam spektrum politik: sosialis demokrat atau yang lebih jauh di panah kiri atau tengah, dengan tawaran sistem yang berbeda.

Melalui film ini, Reich mendokumentasikan perjalanan demokrasi Amerika Serikat sebagai dampak dari kebijakan ekonomi politik yang diterapkan. Bahwa masyarakat tak merasa suara mereka bermakna dalam pembuatan undang-undang. Bahwa demokrasi lebih banyak melayani korporat, ketimbang rakyat pekerja. Dan bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang dipilih untuk mencapai tujuan kesejahteraan bagi semua rakyat nyatanya justru membuat persentase upah pekerja semakin kecil.

Perempuan yang bekerja scara penuh waktu sebagai kasir di salah satu restoran cepat saji terkenal di Amerika Serikat bahkan tak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya setiap bulan. Upahnya per bulan yakni US$1200. Uang tersebut dengan cepat lenyap untuk biaya sewa tempat tinggal US$900, dan sisanya untuk makan, membayar gas dan pulsa. Bagaimana mungkin orang telah bekerja penuh waktu namun masih sulit bertahan hidup?

Hal itu mengingatkan saya pada materi kampanye Ocasio Cortez pada 2018 yang direkam dalam film dokumenter “Knock Down White House” (2019). Angka pengangguran di daerah pemilihan Ocasio, yakni wilayah Bronx Timur dan bagian utara-tengah Queens, New York, memang rendah. Namun ironisnya, pekerja mesti mengambil double shift atau dua pekerjaan sekaligus agar bisa bertahan hidup. Ocasio merupakan anggota Kongres dari Partai Demokrat, seorang progresif.

Kondisi ekonomi-politik Amerika Serikat vis a vis demokrasi

Dalam narasi Saving Capitalism, Reich berupaya menunjukkan fakta bahwa ekonomi Amerika Serikat sejak 1980 hingga 2017 telah dua kali lebih besar. Anehnya, upah menengah buruh di Amerika tetap sama. Malahan, ditambah dengan inflasi, upah itu justru berkurang.

“Jadi kemana semua uang itu pergi? Dia pergi ke (kalangan) atas. Industri dalam pasar bebas itu hanya menguntungkan para eksekutif dan pemegang sahamnya. Persentase untuk upah buruh secara dramatis jatuh,” kata Reich.

Ia lantas menengok sejarah peraturan perundang-undangan. Pada 1971, The Chamber of Commerce (TCC), kelompok bisnis pelobi, berdiri. Dalam position paper TCC yang ditulis oleh seorang pengacara korporat, Lewis Powell, dinyatakan bahwa bisnis harus belajar bahwa kekuatan politik dibutuhkan agar bisnis dapat bertahan dan berekspansi, dan kekuatan tersebut harus ditanamkan dengan hati-hati, sekaligus digunakan secara agresif.

TCC, faktanya, kata Reich, menentukan keberpihakan kebijakan negara kepada kepentingan korporat. Selalu ada kebijakan corporate welfare atau kesejahteraan korporat. Contohnya, keringanan pajak dan bantuan keuangan bagi korporasi yang diambang kebangkrutan.

Hal tersebut kontras dengan tiadanya kebijakan bagi warga biasa. Pekerja tak punya pilihan lain selain membayar cicilan tempat tinggalnya meski mengalami PHK sepihak, dan pelajar tetap harus membayar pinjaman kuliahnya tak peduli apa kondisinya.

Lalu pada 1988, Wall Street merancang instrumen keuangan kompleks yang baru untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Glass Steagal Act yang diterbitkan pada 1930an dicabut pada 1990. Padahal, aturan tersebut dibuat untuk melindungi uang publik dari spekulasi Wall Street. Alhasil, kita mendengar bencana Mortgage Crisis di Amerika Serikat yang dimulai pada 2005.

Di Juni 2003, keluar Medicare Modernization Act yang tampak luarnya seolah-olah hendak membantu lansia untuk membayar resep obat di apotek. Padahal, undang-undang itu justru mencegah pemerintah untuk ikut campur dalam negosiasi antara perusahaan produsen obat dengan apotek. Dengan kata lain, mencegah pemerintah ikut camput dalam menentukan harga obat terendah. Alhasil, pasien terpaksa membayar obat dari harga yang dintentukan oleh perusahaan produsen obat, yang diakui oleh banyak konsumen yang diwawancarai dalam Saving Capitalism, luar biasa mahal.

Kelindan antara korporat dengan pembuat kebijakan yang tak malu-malu lagi mendorong seorang professor di Princeton University melakukan riset mengenai political power atau kekuatan politik yang dimiliki setiap warga negara selama 1982 hingga 2002. Hasilnya, political power warga negara dengan ekonomi yang kuat atau pemilik korporasi besar adalah sebesar 60 persen. Artinya, jika warga kategori ini ingin mengesahkan suatu rancangan undang-undang (RUU), maka potensi keberhasilannya adalah 60 persen. Dan jika ia tak menginginkan disahkannya RUU, maka RUU itu tak akan disahkan.

Berbeda dengan warga pekerja biasa, jika ia setuju pada suatu RUU namun banyak warga biasa lain tak setuju, maka potensi RUU tersebut disahkan hanya 30 persen.

Dari hasil riset tersebut, sang profesor menyimpulkan, political power rata-rata warga Amerika Serikat sangat kecil, bahkan secara statistik tidak punya signifikasi terhadap kebijakan publik.

Riuh kemenangan korporat terhadap politik Amerika Serikat pun semakin besar saat Mahkamah Agung Amerika Serikat, pada 2010, menyatakan bahwa korporasi dapat menghabiskan uang tak terbatas untuk kampanye politik kandidat. Beredar slogan setelah keluarnya putusan tersebut: “Bukan Republik atau Demokrat yang menang, tapi korporat!”.

Fenomena oligarki dalam politik Indonesia

Apa RUU yang disahkan karena mendapat dukungan luas dari publik, dan apa RUU yang tidak jadi disahkan karena mendapat penolakan besar dari publik? Untuk yang pertama, saya tak menemukan jawaban. Namun untuk yang kedua, jawaban singkat saya, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Lalu, berapa UU yang bisa kita sebutkan untuk RUU yang mendapatkan penolakan dari publik namun tetap akan disahkan atau bahkan telah disahkan? Dari yang terbaru, saya bisa sebutkan tiga, yaitu UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law Cipta Kerja, dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Terakhir, UU apa saja yang didorong untuk disahkan namun tak kunjung disahkan? Jawabanku, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (untuk yang ini ada pro dan kontra di publik).

Berbeda dengan Amerika Serikat dimana lobi politik korporat dapat disaksikan dengan cukup jelas melalui TCC dan laporan dana kampanye yang terekam secara detil, di Indonesia, main tubuh (bukan mata mata) itu hanya bisa diterka-terka lewat kebijakan yang dihasilkan pemerintah dan DPR. Tak sedikit yang mengakui bahwa pelaporan dana kampanye hanya menggugurkan kewajiban formalitas atau sekadar basa-basi ketaatan prosedural.

Kemana kiranya rakyat kebanyakan mesti mengadu dan berbuat agar produk legislasi itu tak semakin merugikan kepentingannya? Jikalau tak ada pandemi, saya yakin massa besar akan tumpah berdemonstrasi lagi seperti September 2019. Tentunya, saya pun akan ikut serta. Putus asa, sebab jalur meja runding juga tak membuahkan apa-apa.

Revisi UU Pemilu mesti jadi kepentingan semua pihak

RUU Pemilu versi Badan Kehormatan Dewan (BKD) telah dapat dibaca di rumahpemilu.org atau perludem.org. Ada tiga aturan yang mesti jadi perhatian terkait pemilu, demokrasi, dan keberpihakan pemerintah hasil pemilu.

Pertama, syarat menjadi peserta pemilu legislatif. Berat syaratnya tak berubah dari UU Pemilu No.7/2017 yang telah banyak dikritik oleh kalangan kiri-progresif maupun moderat. Syarat ini terlampau berat dan mahal sehingga partai politik yang mampu menjadi peserta pemilu hanyalah partai politik dengan uang maha besar untuk mendanai pencalonan partai. Hendaklah semua elemen sipil mengkritik syarat ini dan meminta syarat yang lebih mudah untuk memastikan kelompok masyarakat yang belum terwakili oleh partai politik oligarkis dapat mengikuti pemilu.

Kedua, batasan sumbangan dana kampanye. Sama seperti syarat menjadi peserta pemilu, batasan sumbangan dana kampanye di revisi UU Pemilu tidak berubah. Untuk pilpres dan pileg, batasan sumbangan dari individu tetap 2,5 miliar rupiah dan dari kelompok atau badan usaha 25 miliar rupiah. Jumlah tersebut terlampau besar untuk mencegah politik balas budi dalam politik Indonesia. Soal ini pun mesti dikaitkan dengan bagaimana kita mengatur demokratisasi dalam rekrutmen calon di internal partai, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, dan keamanan suara pada tahap penghitungan dan rekapitulasi suara.

Ketiga, audit dana kampanye. Aturan ini berbeda jauh dari aturan di UU Pemilu sebelumnya. Jika di UU terdahulu, audit Laporan Akhir Dana Kampanye (LADK) dilakukan oleh auditor yang ditunjuk oleh KPU, di revisi UU Pemilu, kewenangan itu dialihkan kepada Bawaslu.

Tepatnya di Pasal 448, dinyatakan bahwa Bawaslu dan Bawaslu provinsi wajib mengaudit LADK pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden, partai politik peserta pemilu, calon anggota DPR, calon anggota DPD, calon anggota DPRD, dan paslon kepala daerah paling lambat 14 hari setelah diserahkannya LADK. Dalam melakukan audit LADK, Bawaslu dan Bawaslu Provinsi berwenang meminta keterangan tambahan baik secara lisan maupun tertulis kepada peserta pemilu, dan wajib mengumumkan laporan akhir di laman Bawaslu dan Bawaslu provinsi paling lambat 3 hari setelah selesainya audit.

Kemudian di Pasal 449 disebutkan, jika ditemukan dugaan pelanggaran peraturan perundang- undangan, maka Bawaslu dan Bawaslu Provinsi berwenang melakukan audit investigatif. Dan jika pada proses audit investigatif ditemukan  dugaan pelanggaran administratif atas LADK, Bawaslu dan Bawaslu Provinsi merekomendasikan kepada  KPU,  KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk memberikan sanksi sebagaimana diatur dalam RUU. Apabila yang ditemukan adalah dugaan pelanggaran tindak pidana, maka Bawaslu dan Bawaslu Provinsi merekomendasikan kepada lembaga berwenang untuk melakukan tindakan yang diperlukan.

Ketentuan mengenai laporan dana kampanye, audit dan audit investigatif terhadap LADK diatur lebih lanjut oleh Bawaslu. Penting untuk memastikan Bawaslu mengatur dengan tepat mekanisme audit dan audit investigatif, agar yang dapat diketahui publik bukan sekadar taat batasan sumbangan, taat waktu pelaporan, dan taat sumber, melainkan memastikan semua pendonor beserta jumlahnya dilaporkan oleh peserta pemilu. Bawaslu juga tentu mesti mempersiapkan diri untuk menjalankan wewenang baru tersebut.

Barangkali klise mengatakan ini: sebagai pemilih, kita perlu tahu siapa saja penyumbang dana kampanye peserta pemilu untuk menjadi dasar preferensi memilih. Namun sungguh, Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba menjadi potret penting mengapa rakyat butuh informasi lengkap penyumbang dana kampanye peserta pemilu.

Bawaslu tak mesti dibubarkan⸻mengingat beberapa akademisi dan tokoh dalam pemilu menginginkan Bawaslu dibubarkan⸻jika menunjukkan kontribusi penting pada kualitas demokrasi. Kepedulian kita terhadap pemilu mesti bermuara pada baiknya kualitas pemerintah hasil pemilu, dimana pemerintah baik eksekutif maupun legislatif tak hanya condong menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pemodal yang menjadi penyumbang dana kampanye, melainkan juga kepada rakyat yang tak punya akses untuk menyambungkan diri kepada wakil-wakilnya.

Revisi UU Pemilu mesti jadi perhatian penting kita semua untuk mengawal. Marahlah jika revisinya tertutup, tak memberi ruang untuk gerakan politik alternatif, dan tak memiliki insentif pada kualitas demokrasi yang baik.

Kita semua mengkritik Pemerintah yang kian berani mengkriminalisasi aktivis politik, petani yang melawan perampasan tanah sepihak, menjemput peneliti politik yang telah menjelaskan perihal peretasan Whats App-nya, dan membubarkan demonstrasi mahasiswa September 2019 dengan cara kekerasan. Namun, kritik itu tak disasarkan pada UU yang berkontribusi pada kelahiran orang-orang yang duduk di kekuasaan.

Seorang kawan membalas IG story salah satu organisasi saya dengan komentar “Mau ngelucu Pemerintah”. Trust me, kita perlu bertindak agar pemilu bukan sekadar ajang lucu-lucuan dan pemerintah hasil pemilu tak menghasilkan kebijakan yang tak lucu.