Setiap kali akhir masa jabatan dari kepala daerah atau pun presiden, acap disebut suksesi serta suksesor. Banyak kepala daerah digantikan oleh anaknya. Ada bupati digantikan oleh istri pertama. Ada juga pilkada yang pesertanya adalah para istri petahana. Bahkan ada satu provinsi di mana gubernur, bupati, dan walikota berasal dari satu keluarga.
Politik dinasti menimbulkan resistensi di beberapa daerah. Sebagian rakyat jenuh memilih pasangan calon karena ketidaksukaan kepada calon dari politik dinasti. Tak jarang petahana berusaha menyiasati ini dengan cara memborong semua rekomendasi partai politik. Jika terjadi ini, pilkada hanya diikuti satu pasangan calon saja. Calon dari politik dinasti hanya melawan kolom kosong yang tak bertuan.
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah pernah membuat undang-undang yang melarang keluarga dari petahana satu garis ke atas, ke bawah, dan ke samping. Jika masuk garis keturunan ini dengan petahana, warga tidak bisa menjadi calon kepala daerah. Larangannya berlaku untuk satu kali periode (jeda). Tujuan pelarangan ini untuk mengatur politik dinasti dan memberikan ruang pencalonan yang lebih terbuka.
Larangan politik dinasti tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Bagaimanapun, tidak semua politik dinasti itu karbitan. Ada juga calon dari politik dinasti yang memang memiliki kemampuan. Undang-undang ini akan membatasi mereka yang kapabel untuk menjadi kepala daerah. Alasannya karena keluarganya masih menjabat atau petahana. Tentu saja pasal ini gugur ketika diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Politik dinasti perlu diantisipasi dengan cara merumuskan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Tapi, jangan sampai rumusannya bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia.
Penting merumuskan pengaturan ini ke tubuh partai politik. Melakukan pembatasan pada tubuh partai politik bisa jadi salah satu alternatif untuk meminimalkan munculnya politik dinasti.
Rumusannya bagaimana jika di dalam kepengurusan partai politik dilakukan pembatasan. Contoh, melarang anggota dinasti berada dalam struktur partai politik yang sederajat. Ini berlaku bagi para ayah, ibu, anak, adik, kakak, serta menantu.
Bisa juga dengan memberikan jeda satu periode jabatan ketua umum kepada orang lain. Seorang ketua umum tidak boleh digantikan oleh anggota keluarganya yang masih satu garis keturunan ke atas, ke bawah, serta ke samping.
Selain pembatasan anggota dinasti dalam struktur serta dengan jeda, perlu pembatasan masa jabatan bagi ketua umum partai politik. Bisa hanya dua atau tiga periode saja.
Beranikah partai politik membatasi laju politik dinasti di tubuhnya sendiri? Lebih luas pengaturannya, beranikah Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan anggota partai politik menyetujui pengaturan laju politik dinasti di tubuh partai politik melalui undang-undang partai politik? Relakah para ketua umum membiarkan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat berimprovisasi untuk hal ini demi kebaikan demokrasi?
Mengubah undang-undang partai politik bukan hal mudah. Partai politik di Indonesia masih banyak berpatron pada satu figure pendiri atau pimpinan partai politik. Pendirian partai politik dan keterwakilan di Senayan merupakan investasi politik elite partai politik. Mengatur laju politik dinasti dalam partai politik melalui pembatasan jabatan seperti melepas saham perusahaan.
Sebagai pembanding, saat ada keingginan memberi kewenangan legislasi yang lebih luas bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, penolakan Dewan Perwakilan Rakyat begitu kuat. Belum lagi, kewenangan menetapkan undang-undang atau melakukan fit and proper test kepada jabatan-jabatab pimpinan pemerintahan. Wujud kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat yang terhubung dengan partai politik begitu kuat.
Melakukan pembatasan politik dinasti melalui undang-undang pemilu dan undang-undang partai politik merupakan hal yang sulit. Pertanyaannya, mana yang lebih sulit?
PABER COLOMBUS SIMAMORA
Pemerhati pemilu dan demokrasi