August 8, 2024

Membenahi Perekrutan Kepala Daerah OLEH ARYA FERNANDES

Tingginya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah mengindikasikan ada yang salah dalam proses perekrutan dan seleksi kepala daerah. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, 119 bupati/wali kota dan 21 gubernur/wakil gubernur telah ditindak KPK dalam perkara tindak pidana korupsi selama 2004-2019.

Ada beberapa kecenderungan yang terjadi dalam proses penjaringan kepala daerah yang memengaruhi kualitas tata kelola pemerintahan daerah dan rentannya kepala daerah terlibat tindak pidana korupsi.

Hal yang umum terjadi adalah penjaringan kepala daerah cenderung tertutup dan sangat terpusat. Pimpinan pusat partai memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan dukungan dalam pilkada dan dapat membatalkan kebijakan pengurus daerah. Secara umum juga tak tersedia mekanisme yang demokratis dalam penentuan calon kepala daerah, misalnya pelibatan pengurus, anggota atau publik dalam seleksi dan penjaringan calon.

Kecenderungan lainnya adalah faktor integritas dan kompetensi yang sering kali tidak menjadi ukuran utama dalam pencalonan dibandingkan faktor keterpilihan dan finansial calon. Dengan mencalonkan kandidat yang berpotensi menang, partai dapat bernegosiasi dengan kandidat untuk meminta sejumlah konsesi politik.

Konsesi politik itu di antaranya, perimbangan dalam pencalonan wakil dan jabatan-jabatan strategis lain di pemerintahan daerah. Jika kandidat berasal dari nonpartai, ia akan dilamar menjadi ketua partai di daerah.

Sementara biaya politik yang mahal, kesulitan partai untuk bisa bertahan di tengah kompetisi politik yang ketat, serta keterbatasan finansial partai untuk menjalankan aktivitas organisasi di daerah, membuat partai harus melirik calon yang punya uang.

Tingginya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah mengindikasikan ada yang salah dalam proses perekrutan dan seleksi kepala daerah.

Ketiadaan platform koalisi partai juga menjadi pola umum dalam pencalonan di pilkada. Kepala daerah dan wakil banyak yang dipaksakan berpasangan untuk memenuhi syarat pencalonan. Faktor fragmentasi politik yang tinggi di tingkat lokal memengaruhi tidak adanya koalisi yang solid dan sangat cairnya posisi partai-partai terhadap pemda.

Hal ini terjadi karena besaran alokasi kursi per daerah pemilihan yang tinggi, 3-12 kursi untuk setiap dapil, dan tidak diterapkannya ambang batas perolehan suara partai di DPRD (parlimantary threshold) Fragmentasi politik yang tinggi itu juga membuat tingginya potensi kebuntuan dalam pengambilan keputusan karena kepala daerah harus mengakomodasi banyak kepentingan partai. Untuk memuluskan perda dan RAPBD, kepala daerah di sejumlah tempat terpaksa memberikan ”uang ketuk palu” agar RAPBD dapat disahkan DPRD.

Dari sisi pencalonan pilkada, tinggi fragmentasi politik membuat partai kecil dan menengah sulit mengumpulkan 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah dalam pencalonan. Ini membuat partai kecil dan menengah memburu konsesi politik dalam pencalonan.

Inovasi

Pencalonan yang terbuka dapat membuat penggunaan politik uang (mahar) untuk mendapatkan tiket pencalonan akan mengecil. Partai harus memulai cara baru untuk menyeleksi kandidat. Dengan begitu, praktik kotor dalam pencalonan dapat dikurangi dan publik mendapatkan calon yang berkualitas, tidak sekadar populer.

Faktor institusi kepartaian akan memengaruhi berhasil tidaknya pencegahan korupsi di daerah. Studi Casey (2019) menunjukkan semakin demokratis seleksi pencalonan kandidat, semakin tinggi peluang kandidat dipilih, dan semakin kecil penggunaan biaya untuk pencalonan.

Faktor kompetensi, integritas, dan pengalaman harusnya memiliki bobot yang lebih tinggi dalam seleksi calon kepala daerah. Selama ini penentuan calon lebih banyak berdasarkan pertimbangan tingkat keterpilihan calon.

Dalam proses seleksi ada beberapa usulan yang dapat dilakukan untuk membenahi sistem perekrutan kepala daerah.

Pertama, seleksi berbasis rekam jejak calon. Partai harus jeli melihat bagaimana rekam jejak calon terutama pada aspek integritas dan komitmen terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih dan terbuka. Untuk melihat aspek integritas, partai dapat menelusuri, apakah calon pernah terlibat tindak pidana kriminal atau korupsi.

Faktor kompetensi, integritas dan pengalaman harusnya memiliki bobot yang lebih tinggi dalam seleksi calon kepala daerah.

Faktor ketaatan dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN) bagi ASN yang maju dalam pilkada, atau ketaatan membayar pajak dalam lima tahun terakhir bagi non-ASN juga perlu dipertimbangkan.

Jika calon memiliki latar belakang sebagai pengusaha, harus dilihat bagaimana kondisi keuangan perusahaan. Apakah perusahaan pernah mengalami pailit, bagaimana ketaatan perusahaan bayar pajak, atau apakah terdapat potensi konflik kepentingan antara perusahaan dan tender APBD. Rekam jejak lain yang bisa ditelusuri adalah pengalaman memimpin calon, baik dalam jabatan sipil, politik, bisnis, dan lainnya.

Kedua, seleksi berbasis kompetensi lewat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), uji publik atau konvensi. Partai idealnya punya standardisasi dan mekanisme baku dalam menjaring calon. Uji kompetensi penting untuk melihat kemampuan, kualitas, dan program calon. Proses uji kompetensi sebaiknya dilakukan tim seleksi dari luar partai untuk hindari konflik kepentingan.

Ketiga, seleksi berbasis partisipasi publik. Partai dapat mengumumkan nama-nama calon yang akan diusung dalam pilkada melalui media cetak, elektronik, atau platform media sosial. Partai meminta masukan dan respons publik untuk dipertimbangkan. Partai juga dapat membuka call centre terkait pencalonan dalam pilkada.

Keempat, seleksi berbasis daerah. Selama ini proses perekrutan sangat terpusat. Untuk memperkuat fungsi dan kelembagaan partai di daerah, partai dapat memberikan otonomi luas bagi daerah untuk terlibat penentuan calon kepala daerah. Kebijakan partai harus dilakukan secara desentralisasi.

Membenahi mekanisme penjaringan calon bertujuan agar partai dapat mencalonkan politisi berintegritas. Partai harus mampu memilih politisi baik yang oleh Besley (2005) diukur berdasarkan kesungguhannya dalam pelayanan publik, bukan politisi buruk berorientasi pada rente.

Perekrutan kepala daerah yang terbuka akan mendorong transparansi dan pelibatan publik dalam tata kelola pemerintahan. Temuan Aragon (2013) menunjukkan korelasi positif antara mekanisme seleksi yang demokratis di negara-negara Amerika Latin dan kualitas pemerintahan.

Proses pencalonan yang terbuka akan memberikan jaminan bagi pemilih mendapatkan kepala daerah yang mampu memimpin, berintegritas, meningkatkan kesejahteraan publik, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang profesional.

Pembenahan dari sisi regulasi kepemiluan perlu dipikirkan untuk mengurangi potensi transaksional partai dalam pencalonan. Memperkecil alokasi jumlah caleg per dapil dan menetapkan ambang batas perolehan suara di daerah dapat memperkuat posisi kepala daerah terhadap partai-partai. Membenahi proses pencalonan adalah setengah jalan dari usaha memperbaiki tata kelola pemerintahan di tingkat lokal.

Arya Fernandes, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2020 di halaman 6 dengan judul “Membenahi Rekrutmen Kepala Daerah”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/07/28/membenahi-perekrutan-kepala-daerah/