Adakah benih-benih voter suppression di Pemilu Indonesia? Bagaimana kecenderungan bentuk-bentuknya?
Hak pilih adalah salah satu hak politik yang dijamin oleh konstitusi. Dalam konteks pemilu, Dalam konteks pemilu, ada asas “umum” yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Asas umum berarti setiap warga negara yang memenuhi persyaratan memiliki hak pilih. Terhadap pengertian asas umum ini, beberapa undang-undang pemilu menegaskan bahwa semua warga negara yang memenuhi persyaratan berhak mengikuti pemilu.
Pada praktiknya, hak pilih seseorang kerap diganggu. Upaya-upaya sistematis untuk menghalangi pemilih dalam memberikan suaranya pada kandidat selalu muncul dalam pemilu. Voter suppression telah muncul sejak lama di Pemilu Amerika Serikat. Ada banyak contoh voter suppression dalam perjalanan demokrasi negara ini, mulai dari persyaratan untuk terdaftar sebagai pemilih yang diperketat, hingga pada bentuk voter suppression baru yang menggunakan teknologi untuk melakukan rekayasa perilaku pemilih atau hoaks yang disebarkan untuk menipu pemilih sehingga pemilih enggan memberikan suaranya.
Voter suppression atau gangguan terhadap hak memilih dapat didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk menghilangkan hak pilih seseorang atau kelompok pemilih tertentu. Gangguan terhadap hak memilih dilakukan dengan menghalangi pemilih atau kelompok pemilih tertentu untuk tidak terdaftar sebagai pemilih dan/atau tidak menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara (Daniels, 2010).
Tiga bentuk gangguan terhadap hak memilih di Pemilu Indonesia
Di Indonesia, pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, setidaknya ada tiga bentuk gangguan yang dapat diidentifikasi sebagai gangguan terhadap hak memilih. Pertama, diskriminasi dalam regulasi pemilu. Kedua, pengusikan hak memilih. Ketiga, pengacauan informasi pemilu. Kasus-kasus dalam tiga kategori tersebut diidentifikasi sebagai gangguan terhadap hak memilih karena memiliki potensi menghilangkan hak pilih seseorang.
Mengenai bentuk pertama, diskriminasi dalam regulasi, ada tiga ketentuan dalam undang-undang pemilu Indonesia yang berpotensi menghilangkan hak pilih seseorang. Ketentuan kepemilikan KTP-el sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih telah meminggirkan orang-orang yang tidak memiliki KTP-el. Orang-orang yang tidak memiliki KTP-el, padahal sudah memenuhi syarat untuk memilih, tidak bisa terdaftar sebagai pemilih dan oleh karena itu tidak bisa mengikuti pemungutan suara. Ketentuan mengenai tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih juga telah mengeksklusi orang dengan gangguan jiwa dari proses pendaftaran pemilih. Selain dua ketentuan syarat terdaftar sebagai pemilih, ada pula ketentuan mengenai pindah memilih yang secara administrasi menyulitkan kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan mobilitas untuk mengurusnya. Perihal pemilih pindahan yang kehilangan hak pilih untuk pemilihan tertentu, hak pilih tersebut semestinya dapat diakomodasi apabila terdapat metode pemungutan suara selain mencoblos di TPS. Metode pemungutan suara khusus (special voting arrangements) dirancang untuk memperluas kesempatan bagi pemilih untuk memberikan suaranya dan dengan demikian memfasilitasi prinsip hak pilih universal.
Mengenai bentuk kedua, intimidasi dan pengusikan hak memilih, ada tiga kasus yang memiliki potensi besar menghilangkan hak memilih. Pertama, intimidasi dengan pelintiran kebencian. Kedua, pengusikan hak memilih orang dengan gangguan jiwa. Ketiga, intimidasi terhadap pekerja pabrik. Intimidasi dan pengusikan ini erat kaitannya dengan relasi pengaruh dan kuasa. Pihak yang punya pengaruh dan kuasa lebih kuat melakukan intimidasi terhadap pihak yang punya pengaruh dan kuasa lebih lemah atau tidak punya kuasa sama sekali. Intimidasi dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa kepada pihak yang rentan dan tersubordinasi.
Mengenai bentuk gangguan ketiga, pengacauan informasi pemilu, ada tiga hal yang diidentifikasi sebagai gangguan terhadap hak memilih. Pertama, keterbatasan informasi pemilu. Keterbatasan informasi akan membuat seseorang rentan terhadap bentuk gangguan yang kedua yaitu pengaburan informasi atau disinformasi prosedur teknis pemilu. Beberapa tema disinformasi prosedur teknis pemilu antara lain adalah disinformasi mengenai teknis pemberian suara; syarat dokumen yang harus dibawa untuk bisa memilih di TPS; waktu pemungutan suara; dan topik lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemungutan suara. Ketiga, disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu juga berpotensi menghilangkan hak pilih seseorang.
Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi gangguan terhadap hak memilih. Terhadap ketentuan diskriminatif pada regulasi, upaya seperti uji materi ke MK dan interpretasi untuk membuat peraturan teknis yang lebih inklusif telah ditempuh. Undang-undang pemilu juga telah menyiapkan penanganan gangguan terhadap hak memilih. Intimidasi dan upaya-upaya lain untuk menghilangkan hak memilih dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Terhadap bentuk pengacauan informasi pemilu, upaya-upaya seperti literasi digital, penyediaan informasi pemilu yang memadai, dan penindakan terhadap disinformasi telah dilakukan. Namun, upaya-upaya tersebut tidak ada yang secara khusus difokuskan untuk melindungi hak pilih seseorang. Protokol khusus penanganan disinformasi yang dapat menghilangkan hak memilih seseorang sangat diperlukan.
MAHARDDHIKA & NURUL AMALIA SALABI
Tulisan ini adalah pembuka dari seri tulisan mengenai pemetaan bentuk-bentuk voter suppression atau gangguan terhadap hak memilih di Pemilu Indonesia. Simak tulisan-tulisan pada seri ini: