August 8, 2024

Memilih dalam Pemilu Bukan Opsi Sulit Bagi ODGJ

Tidak ada pilihan yang salah dalam pemilu. Tidak ada konsekuensi buruk bila orang dengan gangguan jiwa memilih di pemilu.

DOKTER Irmansyah tergopoh-gopoh menaiki tangga, sesekali melangkahi dua anak tangga sekaligus, menuju ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) di lantai 2. Jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 11.45, sementara sidang telah dibuka pukul 11.17. Senin (4/4) siang itu ia agak terlambat.

Irmansyah mesti duduk di kursi belakang tempat khalayak umum mengikuti persidangan, mendengarkan Rhino Ariefiansyah–pengidap schizophrenia— bersaksi, sebelum hakim MK Arief Hidayat menyilakannya maju untuk diambil sumpah dan bersaksi sebagai ahli pada sidang perkara No. 135/PUU-XIII/2015.

“[Ketentuan] ini nampaknya merujuk pada penderita psikosis. Menurut saya poin ini sangat tidak sesuai dengan fakta klinis serta kontra produktif dengan upaya pemulihan penderita,” Irmansyah membuka pernyataanya di depan majelis hakim MK dengan langsung menghujam pada pokok perkara yang dipersoalkan.

Dr. dr. Irmansyah, Sp. KJ (K) lama berperhatian pada isu kesehatan jiwa. Sejak tahun 2000 ia berkecimpung sebagai koordinator peneliti pada Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia—almamaternya—hingga kemudian tahun 2004—2007 ia mengepalai departemen ini. Tahun 2010 hingga 2012 ia diangkat sebagai Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan. Kini, Irmansyah menjadi konsultan kesehatan jiwa di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor.

Irmansyah menyampaikan pokok-pokok pemikirannya dengan dasar pengalaman klinis. Ia mendedah kemampuan atau kapasitas memilih dari penderita gangguan jiwa, khususnya penderita psikosis.

Menurutnya, secara klinis, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seperti penderita schizophrenia, bipolar, atau depresi berat tak otomatis kehilangan kapasitasnya dalam menentukan pilihan. Hanya penderita yang mengalami disfungsi kognitif berat yang kehilangan kapasitasnya dalam menentukan pilihan. Lagipula, gangguan jiwa bersifat kronik dan kambuh-kambuhan. Fungsi kognitif dapat berfungsi normal pada sebagian besar hidupnya.

Hak otonomi untuk memilih

Dokter Irmansyah tahu betul hak otonomi ODGJ untuk memilih perlu dihormati. Jauh sebelum ia bersuara bahwa ODGJ punya kapasitas memilih dalam pemilu, ia getol menyuarakan bahwa ODGJ juga punya kapasitas untuk memilih dan menentukan pengobatannya—pilihan yang lebih sulit daripada pemilihan presiden sekalipun.

Menurutnya, pemasungan atau rawat paksa muncul akibat pengabaian hak otonomi untuk memilih ini. ODGJ dianggap tidak memiliki kapasitas dalam menentukan pilihan pengobatan. Karena ODGJ tidak memiliki kapasitas, hak otonomi itu dialihkan kepada keluarga terdekat. Keluarga terdekat yang seringkali menentukan ODGJ mesti dipasung atau dirawat paksa.

Ia mengajukan instrumen penilaian kapasitas ODGJ: kuesioner “Penilaian Kapasitas Menentukan Pengobatan.” Kuesioner ini memuat 15 butir pertanyaan yang dikelompokkan dalam empat domain yaitu understanding, reasoning, appreciation, dan expression of choice.

Instrumen ini adalah hasil dari disertasinya berjudul “Fenomena Pengabaian Hak Autonomi dalam Perawatan Penderita Skizofrenia: Landasan Penilaian Laik Kembali dalam Kapasitas Menentukan Pengobatan (Studi Kombinasi dan Refleksi Filosofis).” Ia berhasil mempertahankan disertasinya dan dianugerahi gelar doktor dari Universitas Indonesia.

Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim MK, ia juga menyarankan penggunaan empat domain tersebut dalam menilai kapasitas ODGJ untuk memilih dalam pemilu.

“Secara klinis, untuk menilai apakah seorang memiliki kapasitas atau tidak, maka paling tidak ada empat komponen yang harus kita nilai yaitu apakah dia mengerti akan adanya pilihan yang diberikan, apakah dia mampu menyatakan pilihannya, dan kemudian dia memiliki alasan untuk memilih atau pilihan yang ditentukan itu, serta mengetahui konsekuensi dari pilihannya itu,” ujar Irmansyah.

Menentukan pilihan pengobatan, bagi ODGJ, dinilai Irmansyah lebih rumit dari menentukan pilihan dalam pemilu. Memilih dalam pemilu bukan pilihan sulit. Tidak ada pilihan yang salah dalam pemilu. Tidak ada konsekuensi buruk bila ODGJ melakukan pilihan.

“Pilihan tiap orang bersifat sangat pribadi dan tidak dapat digugat atau disalahkan,” kata Irman.

***