September 13, 2024

Memilih, Meninggikan Martabat Demokrasi

The vote is the most powerful instrument ever devised by [humanity] for breaking down injustice and destroying terrible walls which imprison [people] because they are different from other [people].” — Pres. Lyndon B. Johnson

Akhirnya saat yang ditunggu tiba juga, hari ini, Rabu, 9 Desember 2015 lebih dari 100 juta pemilih yang tersebar di 268 daerah, meliputi 8 provinsi (minus Provinsi Kalimantan Tengah), 36 kota, dan 224 kabupaten akan memberikan suaranya dalam perhelatan akbar pilkada serentak untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah periode 2016-2021. Inilah pilkada serentak terbesar dalam sejarah demokrasi lokal Indonesia setelah periode-periode sebelumnya, pilkada serentak hanya berlangsung dalam lingkup provinsi saja (Aceh 2006 dan Sumatera Barat 2005, 2010).

Perayaan demokrasi yang tidak sederhana. Ada 824 pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ikut berkompetisi. 686 paslon diusung partai politik atau gabungan partai politik, sementara 138 sisanya maju lewat jalur perseorangan/independen. Beberapa pakar pemilu bahkan menyebut pilkada serentak 2015 sebagai pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan dalam satu hari terbesar di dunia (the biggest one day local elections in the world). Di mana pemilih akan memberikan suaranya di tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 246.243 titik.

Saking pentingnya memilih pada Pilkada Serentak 2015, Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2015 yang menetapkan hari pencoblosan sebagai hari libur nasional di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang tidak menyelenggarakan pilkada sama sekali (DKI Jakarta dan Aceh).

Identitas Kesetaraan

Memilih atau memberikan suara pada pemilu merupakan perangkat paling dasyat yang pernah diciptakan manusia untuk mengalahkan ketidakadilan dan menghancurkan tembok mengerikan yang memenjara dan memisahkan manusia hanya karena mereka berbeda satu sama lain. Ungkapan yang tak berlebihan dari Presiden Amerika Lyndon B. Johnson, ketika memaknai hak untuk memilih/memberikan suara dalam pemilu.

Memilih adalah manifestasi daulat rakyat untuk menentukan siapa yang akan berhak mewakili dan memegang “kuasa” atas rakyat di lembaga legislatif maupun eksekutif. Charles Bukowski bahkan mengatakan “The difference between a democracy and a dictatorship is that in a democracy you vote first and take orders later; in a dictatorship you dont have to waste your time voting.” Maka, memilih menjadi instrumen demokrasi paling mumpuni untuk tentukan apakah orang baik atau orang jahat yang dikehendaki pemilih untuk memegang kendali atas diri dan masyarakatnya di masa depan.

Karenanya, pilihan yang diberikan pemilih sebagai artikulasi daulat rakyat wajib diterjemahkan sesuai yang sebenar-benarya diinginkan rakyat. Suara pemilih wajib dikonversi menjadi kursi (kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih) sesuai kehendak murni pemilih yang telah mereka berikan di tempat pemungutan suara. Tidak boleh ada intepretasi, distorsi apalagi manipulasi.

Setiap pemilih yang telah memberikan suaranya harus diberikan jaminan bahwa suara mereka penting, bahwa suara mereka dihitung. Dan siapapun mereka, suara mereka sama nilainya dengan suara yang diberikan seorang konglomerat, anggota DPR, bahkan presiden sekalipun. Satu orang, satu suara, satu nilai, atau dikenal dengan prinsip OPOVOV (one person, one vote, one value).

Ketika otoritas membuat perubahan telah diberikan negara melalui hak pilih, semestinya pilihan yang dibuat menjadi refleksi dan koreksi atas kepemimpinan daerah yang ada. Pemilih mutlak memastikan bukan bandit politik yang akan berkuasa. Sebab memberikan suara memungkinkan pemilih mendepak keluar para bandit dari kekuasaannya, dan selanjutnya memberikan ruang bagi pilihan terbaik untuk memerintah dan membuat perubahan.

Martabat Demokrasi

Besarnya nilai dan harga suara pemilih sebagai instrumen dan identitas humanisme, sangat menistakan martabat demokrasi jika padanannya hanya disetarakan dengan sejumlah uang dan barang. Praktik transaksional jual beli suara dan menyuap pemilih yang menghantui Pilkada Serentak 2015 merupakan virus mematikan bukan hanya bagi praktik demokrasi tapi juga bagi identitas kemanusiaan pemilih.

Itulah pentingnya memastikan dan menjaga kemurnian suara pemilih sesuai dengan pilihan sejati yang mereka berikan. Segala bentuk tawaran transaksi, iming-iming, paksaan, tekanan, intimidasi, dan bujuk rayu jahat, harus menjadi musuh bersama baik bagi pemilih, pasangan calon, partai politik, penyelenggara dan pengawas pilkada, media, serta seluruh elemen masyarakat.

Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Hadar Nafis Gumay dalam berita yang dirilis portal resmi KPU, www.kpu.go.id (23/11), mengatakan “Menjaga suara pemilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah mutlak diperlukan. Celah-celah kecurangan dan manipulasi harus ditutup rapat-rapat. Jangan sampai ada rembesan suara yang mengakibatkan hasil pilkada menjadi rusak dan ternoda. Untuk itu, transparansi dan akuntabilitas hasil pemilu yang telah dipraktikkan KPU dalam pemilu 2014 akan kembali dijalankan pada pilkada serentak 2015.”

Salah satu wujud transparansi dalam menjaga kemurnian suara pemilih oleh penyelenggara, KPU memerintahkan seluruh penyelenggara pilkada di 268 daerah untuk menggunggah hasil pemungutan dan penghitungan suara di TPS (yang dimuat dalam Formulir C1) ke portal nasional yang disediakan KPU. Data dari TPS akan diunggah KPU melalui portal https://pilkada2015.kpu.go.id, dan bisa diakses publik secara bebas. Dengan diunggah dan dipublikasikannya Formulir C1 secara daring (online), pemilih di seluruh Indonesia bisa memverifikasi kebenaran hasil pilkada di TPS-nya secara langsung. Dengan demikian kemurnian suara pemilih lebih bisa terjamin.

Memurnikan Suara

Upaya KPU tersebut patut diapresiasi. Namun, menjaga kemurnian suara pemilih tak cukup mengandalkan pada penyelenggara semata. Ia memerlukan komitmen semua pemangku kepentingan, khususnya pemilih dan peserta untuk memastikan bahwa pilkada diselenggarakan secara berintegritas. Untuk itu, setidaknya ada tiga aspek yang harus dikawal, meliputi integritas penyelenggara, integritas penyelenggaraan, dan integritas hasil pilkada.

Tiga aspek itu menyaratkan lagi-lagi komitmen bahwa pilihan yang diberikan pemilih adalah pilihan sadar yang dibuat berdasarkan rasionalitas. Bahwa pilihan yang dibuat merupakan identitas perjuangan melawan ketidakadilan dan melawan sekat-sekat diskriminasi untuk mewujudkan kesetaraan dalam pemenuhan hak-hak sebagai warga negara di tingkat lokal.

Apalagi pilkada serentak kali ini menemukan momentumnya di hari yang sama dengan perayaan hari antikorupsi internasional. Ia sekaligus menjadi medium gerakan untuk aktualisasi perlawanan terhadap politik uang dan praktik transaksional oknum curang. Hari antikorupsi internasional harus dirayakan dengan satu semangat, yaitu mereka yang curang, korup, dan prostatus quo tak akan pernah mendapat tempat di pilkada.

Pemilih tak hanya cukup menolak tapi harus melawan segala praktik jual beli suara dan intimidasi politik. Jangan permisif, menoleransi, apalagi mendiamkan tindak curang dan manipulatif. Karena sekali lagi, memilih adalah kekuatan rakyat untuk melengserkan bandit dan predator politik, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui kehadiran orang-orang baik sebagai pemimpin daerah. Tentu orang baik yang secara integritas, kualitas, dan kapasitas layak menjadi sandaran kita dalam memenuhi tuntutan optimalisasi pelayan publik dan tata kelola pemerintahan daerah yang baik.

Memilih bukan sekedar seremoni dan simbolisasi bahwa rakyat terlibat dalam proses demokrasi. Lagi-lagi, memilih adalah identitas perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan sebagai manusia. Memilih menjadi aktivitas paling humanis yang menggambarkan kekuatan manusia untuk membebaskan diri dari diskriminasi dan perilaku elitis.

Dengan semangat antikorupsi, mari tinggikan martabat demokrasi kita. Selamat memilih Indonesia! []

TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)