August 8, 2024

Mempertanyakan Nilai Demokrasi dalam E-Voting

Sebelum pemilu elektronik atau e-voting diterapkan, nilai demokrasi dalam e-voting patut dipertanyakan. Pasalnya, masyarakat sebagai pemilih tak banyak yang mengetahui proses transkip suara yang diberikannya melalui mesin dan resiko penggunaan e-voting.

“Kalau pemilih diberikan satu opsi dengan e-voting yang mereka tidak tau bagaimana sistemnya, maka nilai demokrasinya dipertanyakan,” kata Peneliti E-Voting Now South Wales University, Manik Hapsara, pada diskusi “Rekapitulasi Elektronik: Teknologi Pemilu yang Dibutuhkan Indonesia” di Tanah Abang, Jakarta Pusat (14/3).

Manik menyarankan agar penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu belajar dari negara-negara yang telah melaksanakan e-voting tetapi kembali kepada pemilu manual. Di Belanda, Manik mencontohkan, terjadi protes besar-besaran karena kontrol demokrasi, melalui e-voting, berada di tangan swasta selaku pemilik teknologi e-voting. E-voting membungkus data pemilu dan membiarkan data tersebut untuk hanya diketahui oleh segelintir elit.

“Kontrol demokrasi jadi beralih kepada pihak yang membangun dan punya akses kepada sistem e-voting itu sendiri, bukan negara dan masyarakat,” tukas Manik.

Selain itu, Manik mengatakan bahwa sistem e-voting melanggar prinsip rahasia dalam pemungutan suara. Sistem e-voting akan merekam pilihan pemilih, berikut data pemilihnya. Perekaman tak bisa dihindari sebab berfungsi sebagai audit dan verifikasi sistem.

“Begitu kita masukkan data pemilih, lalu sistem virtual menghubungan antara pemilih dengan kandidat, tidak bisa tidak ada perekaman pilihan. E-voting bukan masalah protokol, tapi hardware dan software,” tegas Manik.

Manik mengimbau agar penyelenggara negara, terutama  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tak termakan oleh klaim e-voting yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Pemanfaatan teknologi dalam pemilu dan demokrasi tak boleh ikut-ikutan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan.

“Di Amerika Serikat, e-voting pada pemilihan federal bukan tanpa masalah. Banyak terjadi penggelembungan suara. Di Estonia, e-voting sukses karena pemilihnya hanya dua juta orang dan masyarakat tak mempermasalahkan. Jadi, sesuaikan dengan kebutuhan kita sendiri,” tutup Manik.