Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kembali gagal memasukkan aturan larangan bagi mantan narapidana korupsi mencalonkan di pemilihan kepala daerah (Pilkada). Meski telah diusulkan di perubahan kedua PKPU Pencalonan Pilkada 2020 dan diusulkan kepada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam rapat konsultasi, aturan ini tetap tak mendapat restu. PKPU Pencalonan No.18/2019 disahkan oleh KPU tanpa adanya norma larangan bagi mantan napi korupsi di dalamnya. Hanya satu pasal, yakni Pasal 3A ayat (3), yang dipertahankan KPU untuk mencegah mantan napi korupsi mencalonkan diri. Norma itu berbunyi sebagai berikut.
“Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.”
Terhadap hal tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan tak heran. Larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri di pemilu atau pilkada memang semestinya diatur oleh DPR di undang-undang. Jika pun KPU tetap mengatur larangan tersebut di dalam PKPU Pencalonan, KPU berhadapan dengan dua resiko, yakni dituntut ke Mahkamah Agung (MA) sebagaimana yang pernah terjadi di Pemilu 2019, ketika KPU melarang mantan napi korupsi mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan DPR Daerah (DPRD), dan dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena berlaku sewenang-wenang dalam mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang.
“Memang harusnya di level undang-undang, bukan PKPU. Karena kan selama ini alasannya pembatasan hak hanya bisa dilakukan oleh undang-undang, jadi fokusnya harusnya ke UU. Mestinya DPR yang mengatur itu,” tandas Titi kepada rumahpemilu.org di kantor Perludem, Tebet, Jakarta Selatan (9/12).
Lebih lanjut, Titi menyarankan agar KPU mengambil langkah strategis di dalam tahapan Pilkada lainnya terhadap calon kepala atau wakil kepala daerah mantan napi korupsi. Salah satunya dengan menerjemahkan frasa “berhalangan tetap” di UU Pilkada No.10/2016 ke dalam PKPU. KPU dapat memasukkan norma bahwa calon kepala daerah (cakada) dan calon wakil kepala daerah (cawakada) yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) dapat diganti. Tersangka kasus korupsi yang di-OTT KPK akan ditahan sehingga tak dapat berkampanye. Kampanye, dalam pilkada, merupakan kewajiban.
“Kampanye itu kan kewajiban peserta pemilu. Kalau di-OTT, dia langsung ditahan, tidak bisa berkampanye. Makanya, KPU bisa memasukkan tertangkap tangan melakukan korupsi sebagai bagian dari berhalangan tetap,” ujar Titi.
UU Pilkada tidak memberikan penjelasan apa saja yang dimaksud dengan berhalangan tetap. Namun, KPU mendetilkannya di dalam PKPU No.3/2017. KPU menafsirkan, yang termasuk berhalangan tetap adalah meninggal dunia dan tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen. Menurut Titi, terbuka jalan bagi KPU untuk memasukkan cakada atau cawakada yang tertangkap KPK sebagai berhalangan tetap.
Mengenai urgensi diaturnya norma tersebut, Titi menyinggung kejadian di Pilkada 2018. Kala itu, terdapat dua calon gubernur (cagub) tertangkap OTT KPK, yakni Marianus Sae, Bupati Ngada yang mencalonkan diri di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Mustafa, Bupati Lampung Tengah yang berlaga di Pilgub Lampung. Marianus menerima suap senilai 4,1 miliar rupiah dari Direktur Utama PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu, sementara Mustafa melakukan suap sebesar 1 miliar rupiah kepada pihak di DPRD Kabupaten Lampung Tengah untuk memuluskan langkah Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah meminjam dana sebesar 300 miliar rupiah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur, salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), guna membangun proyek infrastruktur(Baca: http://rumahpemilu.org/2-cagub-tertangkap-kpk-12-cagub-dan-cawagub-lainnya-diduga-korupsi/).
Ada pula kasus Tamzil, mantan terpidana kasus korupsi yang terpilih kembali sebagai Bupati Kudus dalam Pilkada 2018(Baca: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/27/12291691/profil-bupati-kudus-yang-ditangkap-kpk-dua-kali-jadi-bupati-hingga-pernah?page=all). Kasus serupa sebelumnya terjadi di Pilkada 2017, ketika Samsu Umar Abdul Samiun, calon bupati (cabup) Buton yang melakukan suap hakim Mahkamah Konstitusi, Aqil Mochtar, menjadi cabup dengan status tersangka. Samsu melawan kotak kosong dan memenangkan pemilihan. Samsu dilantik, namun kemudian divonis bersalah pada 29 September 2017, dan secara resmi diberhentikan pada 29 Maret 2018. Wakilnya, Bakrie, menggantikan posisi Samsu sebagai Bupati Buton(Baca: https://nasional.kompas.com/read/2018/09/26/08462101/11-kepala-daerah-ini-dilantik-saat-berstatus-tersangka-korupsi?page=all).
Terpilihnya Tamzil dan Samsu Umar dinilai Titi sebagai dampak dari sikap KPU yang setengah-setengah memberlakukan kebijakan anti korupsi dalam pemilihan. Semestinya, semangat anti korupsi diberlakukan di seluruh tahapan pemilihan. KPU dapat memasukkan nama cakada dan cawakada tersangka kasus korupsi atau mantan narapidana korupsi di dalam profil calon yang dipublikasi oleh KPU, dan menempel profil tersebut di tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pemungutan suara. Mempublikasi bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana kasus korupsi di media massa tak cukup, karena ukuran pemberitaan di media cetak kecil.
“Pendekatannya harus holistik, di semua tahapan. Sekarang PKPU tidak ada larangan pencalonan. Makanya, kalau betul-betul serius, mestinya status mantan napi korupsi atau tersangka kasus korupsi itu tidak hanya dimuat di media cetak, itu kita sudah tahu kalau medianya diborong semua. KPU muat itu di profil calon yang mereka tampilkan di website dan juga di TPS,” tegas Titi.
Perludem, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif telah mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada No.10/2016 ke MK. Dalam tuntutannya, ketiga lembaga meminta agar MK memberikan masa tunggu 10 tahun bagi mantan napi korupsi yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala dan wakil kepala daerah. MK akan memutus perkara ini pada Rabu (11/12).