Fenomena calon tunggal muncul dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2015. Ada kelalaian Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat UU. Sementara Solusi yang ditawarkan KPU lewat PKPU ternyata membuka ruang bagi parpol ‘bermain’ di percalonan.
Tidak ada yang menyangka pasca penutupan pendaftaran calon sesi pertama 26-28 Juli lalu, dari 269 daerah yang melangsungkan pilkada serentak, menyisakan 13 daerah dengan calon tunggal. Sesuai dengan Peraturan KPU soal pencalonan, daerah yang bercalon tunggal dibuka kembali pendaftarannya dengan didahului proses sosialisasi.
Pembukaan pendaftaran calon untuk kedua kalinya di 13 daerah yang bercalon tunggal, masih tetap menyisakan tujuh daerah bercalon tunggal. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 12 tentang pencalonan, apabila pendaftaran telah dibuka kembali tetapi masih hanya ada satu calon, pilkada daerah tersebut harus diundur ke 2017.
Tetapi dengan berbagai pertimbangan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengeluarkan rekomendasi agar pendaftaran di tujuh daerah tersebut dibuka kembali. Sesuai rekomendasi Bawaslu ini, KPU RI membuka kembali pendaftaran untuk ketiga kalinya pada 9-11 Agustus.
Pembukaan pendaftaran ketiga kalinya tetap menyisakan calon tunggal di tiga daerah, yakni Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara. KPU Kabupaten di tiga daerah tersebut akhirnya resmi mengundur Pilkada ke Pilkada 2017. Sementara tahapan pilkada di empat daerah lain berjalan karena ada penambahan jumlah calon.
Pasal penundaan Pilkada muncul di PKPU merupakan penerjemahan KPU atas UU 8/2015 tentang Pilkada yang menyebut terlaksananya pilkada jika ada dua pasang calon atau lebih. Tetapi UU tidak menyertakan solusi apabila hanya ada satu calon yang mendaftar.
Saat ini, terdapat empat daerah yang masih berpeluang menjadi daerah dengan calon tunggal akibat calon yang memenuhi syarat hanya ada satu. Adapun daerah bercalon tunggal pasca penetapan calon yakni di Minahasa Selatan, Kutai Kertanegara, Surabaya, dan Denpasar.
Solusi yang ditawarkan lagi-lagi dengan membuka kembali pendaftaran. Di Kutai, Minahasa Selatan, dan Denpasar terdapat calon baru yang mendaftar. Sementara Surabaya, setelah melalui proses yang dramatis, KPU secara resmi membuka kembali pendaftaran calon untuk yang ke empat kalinya.
Penundaan Bukan Solusi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai pengunduran tahapan tidak akan menyelesaikan masalah calon tunggal. Sama halnya dengan penundaan Pilkada ke Tahun 2017, tidak ada jaminan pilkada hasil pengunduran tidak akan bercalon tunggal.
“Penyelesaian dalam PKPU adalah penyelesaian temporer, penundaan ke tahun 2017. KPU berasumsi ketika tahapan diulang akan muncul pasangan calon baru. Hal ini tidak boleh menjadi penyelesaian bagi calon tunggal,†kata Titi.
Menurut Titi, untuk mencari solusi calon tunggal perlu melihat kondisi mengapa calon tunggal bisa muncul. Bisanya ada dua kondisi yang melatarbelakangi calon tunggal yakni jika calon yang maju adalah petahana yang unggul dari segi dana dan popularitas sehingga mengurungkan partai lain mengusung calon.
Kondisi kedua, bisa saja terjadi karena lingkungan dan negara yang tidak demokratis berupa intimidasi terhadap lawan dan keberpihakan yudisial yang menggagalkan calon. Dalam kasus negara yang opresif terhadap calon oposisi, penundaan pemilihan untuk menunggu nominasi dibutuhkan.
Sementara untuk kondisi di Indonesia saat ini, Titi mengatakan munculnya calon tunggal bukan karena adanya upaya menghalangi oposisi untuk mencalonkan kandidatnya dalam Pilkada. Yang terjadi adalah partai politik tidak mengambil ruang untuk mengusung calonnya secara sungguh-sungguh sesuai prosedur yang ada.
“Jika proses nominasi calon tidak terhalangi, dan tidak terdapat aksi boikot dari masyarakat terhadap proses pemilihan, maka tidak ada alasan untuk menunda pemilu,†kata Titi.
Solusi yang harusnya ditawarkan bersifat permanen, dengan penyelesaian pada level undang-undang. Titi mengatakan harus disadari bahwa munculnya persoalan calon tunggal juga disebabkan para pembuat UU tidak membayangkan adanya calon tunggal di Pilkada. Pembuat undang-undang selalu berpikir partai dan peroragan akan beramai-ramai mendaftarkan diri.
“Apalagi dengan model pilkada serentak, pembuat undang-undang mestinya memperhitungkan dengan rekrutmen yang dilakukan serentak memerlukan konsolidasi partai yang kuat,†kata Titi.
Titi mengatakan, berkaca dari negara lain jika terjadi calon tunggal, maka calon tunggal harus ditetapkan sebagai pemenang aklamasi atau memberlakukan sistem bumbung kosong. Artinya ada solusi jelas yang diatur dalam level UU.
Maka dari itu, yang juga perlu diatur sesuai dengan kondisi Indonesia sekarang, jika munculnya kondisi calon tunggal akibat partai ataupun pihak lain dengan sengaja tidak mau mengambil ruang untuk berkompetisi. Sehingga ketika partai tidak mengambil ruang mengusung calon, bukan terus menerus diberikan toleransi, tetapi diperlukan kepastian hukum.
Peraturan KPU yang menunda Pilkada di daerah bercalon tunggal juga perlu dievaluasi kembali. Peraturan ini justru membuka ruang bagi partai bermain tarik-ulur dalam pencalonan. Ketika berhadapan dengan calon yang kuat dengan elektabilitas tinggi, bisa saja muncul upaya menjegal pencalonan dengan harapan pilkada ditunda. Penundaan pilkada sebagai upaya agar elektabilitas calon kuat menurun ketika pilkada berikutnya.
Solusi Calon Tunggal
Kota Surabaya merupakan contoh nyata bagaimana drama calon tunggal akibat undang-undang yang mengatur pemilihan tidak mampu menyediakan mekanisme dan merespon terjadinya calon tunggal di pilkada. Titi mengatakan solusi yang harus dilakukan ke depan merevisi UU Pilkada dengan memasukkan aturan yang menjawab calon tunggal.
Jika calon tunggal terjadi, pilkada bisa tetap berjalan dengan menerapka mekanisme bumbung kosong. Mekanisme bumbung kosong dengan menyandingkan calon tunggal dengan kolom kosong. Hal ini bisa menguji elektabilitas calon tunggal atau bisa jadi menghukum si calon tunggal jika yang menang adalah bumbung kosong.
Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang disidangkan permohonan pengujian UU Pilkada berkaitan dengan konstitusionalitas calon tunggal yang diajukan oleh calon wakil wali kota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali. Maka, untuk mengakhiri segala drama calon tunggal ini, menjadi sangat strategis bagi MK untuk mempercepat dan segera mengeluarkan putusan.
“Ini demi kepastian hukum bagi pemilih maupun calon tunggal agar tidak lebih lama tersandera dengan situasi politik yang penuh kisruh dan kesimpangsiuran,†pungkasnya.
DEBORA BLANDINA