August 8, 2024

Mendagri: Tak Ada Kaitan antara KTP Elektronik Palsu dengan DPT

Beberapa waktu lalu, publik digegerkan oleh laporan-laporan mengenai Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. 6 Desember 2018, koran harian Kompas menerbitkan laporan investigasi mengenai jebolnya sistem pengamanan yang tertanam di dalam blangko KTP elektronik. Menyusul kemudian, ramai pemberitaan mengenai kasus tercecernya KTP elektronik di kawasan Pariaman dan ditemukannya KTP elektronik bodong oleh salah seorang warga di wilayah Jakarta Timur.

Sontak, setelah rentetan kejadian terkait KTP elektronik, media nasional menggelar diskusi bertajuk “KTP elektronik palsu, senjata untuk Pemilu 2019?”. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) angkat bicara.

“Kita yakin bahwa tata kelola pemilu hari ini jauh lebih baik dari masa-masa sebelummya. Juga kita percaya penyelenggara pemilu telah bekerja secara independen. Namun memang, apapun hari ini bisa diseret-seret ke ranah politik,”kata Mendagri, Tjahjo Kumolo, sebagaimana tertulis dalam rilis pers yang diterima rumahpemilu.org (13/12).

Tjahjo menjelaskan bahwa adanya KTP elektronik palsu dan terecer ke suatu tempat disebabkan oleh adanya pencurian dan pelanggaran terhadap standar operasional dan prosedur (SOP). KTP elektronik yang rusak atau invalid semestinya dimusnahkan.

“Sebabnya ada beberapa hal, pelanggaran SOP sehingga tidak dimusnahkan, tindak pidana pencurian, dan adanya oknum yang semgaja membuang KTP elektronik,” ujar Tjahjo.

Tjahjo bersama pihak Kepolisian akan mengusut, menangkap, dan menghukum pelaku dengan ganjaran yang berat. Jika pelaku merupakan aparatur sipil negara (ASN), yang bersangkutan akan dipecat dari jabatan dan dipidanakan.

“Kami tidak pernah lindungi aparatur yang korup dan.tidak bertanggungjawab!” tegas Tjahjo.

Lanjut, Tjahjo menerangkan bahwa tak ada sangkut paut antara masalah KTP elektronik yang terjadi akhir-akhir ini dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Yang dapat menentukan seseorang dimasukkan ke dalam DPT adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Yang tentukan DPT dan tahapan pemilu sepenuhnya wewenang penyelenggara pemilu. Demgan demikian, tidak tepat jika soal tindak pidana terkait KTP elektronik dikaitkan dengan Pemilu,” tukas Tjahjo.

Menurutnya, tak mungkin ada pemilih tak berhak pilih yang dapat melakukan pemilihan di suatu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tak seorang pun pemilih atau petugas pemilihan mengenalnya. KPU akan mengumumkan DPT per TPS sehingga masyarakat dapat mengecek orang per orang yang terdaftar dan melaporkan langsung ke KPU.

“Jika tiba-tiba ada orang datang mau coblos sembarangan, penyelenggara pemilu berhak menolak. Jumlah pemilih setiap TPS maksimal 300, jadi masyarakat di TPS saling kenal, saling awasi,” kata Tjahjo.