August 8, 2024

Menerabas Masa Jabatan OLEH TITI ANGGRAINI

Kegaduhan politik akibat wacana penundaan pemilu yang diungkap Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada awal 2022 relatif mereda saat Pemerintah, DPR, dan KPU pada 24 Januari 2022 mencapai kesepakatan politik soal hari pemungutan suara Pemilu 2024. Dalam Rapat Kerja antara tiga pihak tersebut diputuskan bahwa pemungutan suara Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024. KPU lalu menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan KPU No. 21 Tahun 2022 tentang Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Pemilu 2024.

Ketenangan tersebut hanya berlangsung singkat. Pasalnya, 23 Februari 2022 tiba-tiba Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, membuat pernyataan mengusulkan Pemilu 2024 ditunda maksimal dua tahun. Alasannya, agar prospek pertumbuhan ekonomi tidak terganggu oleh pemilu yang bisa menimbulkan ketidakpastian dan eksploitasi ancaman konflik. Dengan ditundanya pemilu, masa jabatan presiden dan wakil presiden otomatis diperpanjang.

Sehari setelahnya usulan serupa muncul dari Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar. Diikuti pernyataan dari Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, dua hari berikutnya. Kontroversi, spekulasi, dan gelombang penolakan lalu muncul dari banyak elemen masyarakat. Wajar saja, ini bukan perkara biasa. Para pengusul adalah elite politik yang punya massa dan barisan anggota parlemen di belakangnya.

Meskipun saat ini tidak ada skema hukum untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan, namun dengan kekuatan politik yang dimiliki para Ketum partai tersebut, usulan itu sangat mungkin terwujud.

Menabrak Konstitusi

Usulan menunda pemilu sampai dua tahun bukan main-main. Pertama, usulan itu menabrak asas kedaulatan rakyat sebagaimana diatur Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Di mana kedaulatan rakyat diaplikasikan melalui mekanisme pemilu yang bebas dan adil. Kedua, penundaan pemilu melanggar kewajiban untuk melaksanakan pemilu berkala setiap lima tahun sekali, sebagaimana perintah Pasal 22E Ayat (1) UUD. Ketiga, presiden dan wakil presiden saat ini akan berkuasa melampaui ketentuan yang dibolehkan Konstitusi. Di mana eksplisit disebut dalam Pasal 7 UUD bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dalam praktik pemilu global, penundaan pemilu sampai dengan dua tahun merupakan praktik yang tidak lazim. Hal itu bisa dirujuk antara lain menggunakan data International IDEA dalam publikasi bertajuk Global Overview of Covid-19 Impact On Elections. IDEA menyebut setidaknya 80 negara dan wilayah di seluruh dunia telah memutuskan untuk menunda pemilihan nasional dan subnasional karena Covid-19. Namun, penundaan tersebut berlangsung untuk waktu pendek, maksimal dalam hitungan bulan dan bukan sampai tahunan seperti usulan elite politik Indonesia.

Pertimbangan kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa pemilih dari paparan Covid-19 menjadi alasan untuk menunda pemilu, khususnya saat masa puncak pandemi pada 2020 lalu. Akan tetapi, keputusan untuk menunda pemilu karena wabah Covid-19 ini pun harus melalui pertimbangan dan prosedur yang sangat ketat, serta memperhatikan berbagai aspek hukum secara holistik (Katherine Ellena, 2020). Hal itu dalam rangka menjaga konstitusionalitasnya dan memastikan penundaan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Data mutakhir memperlihatkan, mulai penghujung 2021 hampir tidak ada lagi negara yang menunda pemilunya karena pandemi Covid-19. Jadi sangat aneh ketika elite politik Indonesia malah mengusulkan penundaan pemilu. Apalagi usulan itu muncul di tengah sistem pemerintahan presidensial, yang mengenal pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden melalui penyelenggaraan pemilu secara periodik.

Dalam kajian akademik, penundaan pemilu ternyata merupakan salah satu strategi yang dipakai pemimpin politik untuk menghindari pembatasan masa jabatan (presidential term limit evasion). Mila Versteeg, dkk (2020), menyebut ada lima strategi yang biasa digunakan untuk menghindari aturan main pembatasan masa jabatan presiden. Meliputi, upaya amendemen konstitusi (amendment), membuat konstitusi baru (blank slate), putusan pengadilan (court), membiarkan orang dekat menjadi petahana tetapi tetap mempertahankan kendali (Placeholder President), dan penundaan pemilu (delay elections). Dari semua strategi, penundaan pemilu disebut sebagai yang mungkin paling populer digunakan rezim otoriter untuk terus berkuasa melampaui masa jabatan.

Lebih berbahaya

Usulan penundaan Pemilu 2024 adalah pelanggaran konstitusional atas pembatasan masa jabatan presiden dan anggota parlemen. Usulan itu bahkan lebih berbahaya dari wacana presiden tiga periode. Presiden tiga periode, meski sama-sama bertentangan dengan konstitusionalisme berdemokrasi, masih mensyaratkan petahana untuk bertarung melalui pemilu. Pemilu adalah mekanisme yang harus diikuti untuk bisa menjabat di periode ketiga. Di mana petahana mungkin saja kalah dan tidak terpilih.

Sedangkan penundaan pemilu membuat petahana bisa terus berkuasa melewati batas masa jabatan, tanpa harus berkeringat ikut pemilu. Bukan hanya petahana presiden tapi juga petahana anggota parlemen mengingat pemilu diselenggarakan serentak. Tak berlebihan jika disebut penundaan Pemilu 2024 dengan ragam alasan yang dikemukakan para elite, sekadar muslihat terbuka untuk menerabas pembatasan masa jabatan.

Sudah sepantasnya usulan itu ditolak dengan bulat. Tidak ada alasan yang sah dan logis untuk menunda Pemilu 2024. Semua pihak harus konsisten menjaga konstitusionalisme berdemokrasi melalui penyelenggaraan Pemilu 2024 sesuai jadwal. []

TITI ANGGRAINI

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Dikliping dari artikel yang terbit di Republika:

https://www.republika.id/posts/25929/menerabas-masa-jabatan