August 8, 2024

Efek Ekor Kampanye

“Why does a dog wag its tail?
Because a dog is smarter than its tail.

If the tail were smarter, the tail would wag the dog
.”

Kalimat di atas kurang lebih diartikan begini, kenapa anjing menggoyang ekornya? Karena anjing lebih pintar dari ekornya. Jika ekornya yang lebih pintar, maka ekor yang akan menggoyang anjingnya. Idiom ini membuka film Wag The Dog yang bercerita dinamika pemilihan Presiden di Amerika Serikat (USA) dengan sudut pandang orang di balik layar.

“Wag The Dog” diartikan sebagai upaya mengalihkan perhatian dari apa yang sebenarnya paling penting, kepada suatu hal lain yang sebenarnya kurang signifikan namun dianggap umum/utama oleh masyarakat. Dengan demikian, hal yang sebenarnya tidak begitu penting akhirnya menjadi pusat perhatian dan menenggelamkan masalah awal yang sebenarnya paling penting. Akhirnya, ekor anjing mengalihkan perhatian.

Plot

Film dimulai dari skandal pelecehan seksual Presiden USA terhadap anak perempuan, anggota pramuka dari Santa Fe. Skandal ini terjadi saat Amerika Serikat dalam masa kampanye pemilu presiden, 11 hari jelang pemungutan suara. “Presiden Berkasus” kembali mengikuti pemilihan sebagai petahana (incumbent) melawan Senator Neal.

Si anak mengungkap pelecehan itu kepada media massa. Bad news is a good news, media massa sudah menyiapkan santapan politik untuk petahana esok harinya. Kasus amoral seperti ini tentu saja akan menggerogoti dukungan publik yang saat itu berada pada posisi tinggi. Lawan politik tentu saja senang bukan kepalang.

Yang aneh, sebelum kasus diungkap media, tim lawan politik (Senator Neal) sudah menyelesaikan sebuah iklan black campaign. Iklan dikemas dalam video singkat untuk tayang di televisi. Isinya, kasus pelecehan seksual sebagai hal untuk menyerang petahana. Presiden adalah kehormatan, prinsip, tentang integritas, karena itu pilih Senator Neal. Tentu saja, harapannya untuk mengalihkan dukungan dari petahana ke Senator Neal.

Di tengah kepanikan dan bayang-bayang kekalahan, tim sukses petahana kedatangan Conrad Brean ‘si tukang servis’ a.k.a Connie (Robert De Niro) yang kelihatannya berperan sebagai konsultan politik atau aktor intelektual. Ditemani Winiferd Ames (Anne Heche), Connie menyiapkan rangkaian skenario pengalihan perhatian agar masyarakat lupa dengan kasus pelecehan seksual tersebut. Poinnya, agar selama 11 hari menuju hari H pemilihan, masyarakat disibukkan dengan sajian dramatis yang mencuri perhatian publik, yang menenggelamkan kasus pelecehan seksual dan mengembalikan dukungan publik kepada petahana seperti semula. Wag The Dog dimulai.

Connie menyiapkan skenario ekstrim. Jangkauan keterlibatannya tak hanya geopolitik nasional, tapi juga internasional. Skenario ini akan mengelabui media dan pada akhirnya menipu masyarakat. Pertama, Connie memasatikan, petahana tak berada di Amerika selama skenario berjalan. Disebarlah isu, Presiden sedang berada di Cina membicarakan pertahanan internasional.

Kemudian, tim Connie memanas-manasi politik internasional dengan mengisukan adanya gerakan terorisme dari Albania yang sudah menyiapkan Bom Koper bermuatan B-3 Bomber untuk diselundupkan ke USA. Pada saat itu, pergerakan teroris sudah masuk ke Kanada. Pesannya adalah, ada upaya Albania menyerang USA. Presiden mengambil peran penting melalui banyak publikasi resminya melalui media.

Demi menyempurnakan jalannya skenario, Connie melibatkan produser kawakan Hollywood, Stanley Motss (Dustin Hoffman), untuk memperkuat sebaran isu dengan dukungan visual dan ide lainnya. Dengan fasilitas yang tersedia, Stanley melakukan rekayasa visual untuk ditayangkan di televisi tentang kondisi peperangan yang terjadi di Albania. Video editor dan aktor-aktor untuk membuat adegan masyarakat yang terjebak dalam situasi perang.

Hasilnya, rekayasa ini menjadi isu nasional dan benar-benar menenggelamkan isu pelecehan seksual Presiden. Bahkan dalam konferensi pers kepresidenan, banyak pertanyaan wartawan lebih menyinggung persoalan perang dengan Albania ketimbang pelecehan seksual. Konspirasi 11 hari berjalan sesuai rencana, petahana terpilih kembali.

Manipulasi media dalam kampanye

Wag The Dog setidaknya memberikan beberapa catatan kritis bagi kita. Media ternyata memiliki peran krusial dan berpengaruh besar dalam menciptakan fenomena sosial politik. Tiap strategi yang dimainkan para aktor dalam film, muaranya selalu televisi (media) dan ikut memanipulasi para pekerjanya. Dan ajaibnya, strategi itu menjadi realita politik.

Evaluasi yang dilakukan aktor utama untuk memastikan skenario berjalan sesuai rencana adalah televisi dan koran. Mereka memastikan media apa dan sedang mengangkat isu apa. Saat media mengangkat isu yang mereka kehendaki, maka itu indikasi skenario berhasil. Walaupun apa yang disampaikan media sebenarnya cuma omong kosong belaka. Lebih parah lagi, berita yang disajikan sesungguhnya tak pernah terjadi. Media di sini menjadi alat penting.

Bila kita membandingkannya dengan pemilu di Indonesia, bagaimana? Apakah betul pencitraan peserta pemilu sesuai dengan kebenaran?

Cukup rumit menelusuri skenario apa yang terjadi. Peta konfliknya saling berpaut dan beririsan. Kerugian politik seseorang bisa saja menjadi keuntungan atau sekaligus kerugian bagi kepentingan lain. Lempar batu sembunyi tangan, cukup mudah bersembunyi dalam situasi pelik seperti sekarang.

Ini sebabnya, tak banyak yang dapat dilakukan kecuali kita sebagai pemilih mencerdasi diri kita dengan informasi utuh. Menangkap berbagai informasi dari berbagai sumber, tanpa langsung memberikan kesimpulan dini. Selalu berusaha untuk melakukan konfirmasi secara inisiatif atas suatu informasi dari opini kedua bahkan ketiga, agar berimbang.

Di samping itu, penting juga mencermati perkembangan, dan membangun daya tawar yang setara dengan para praktisi politik. Bahwa negara adalah rakyatnya. Bahwa masyarakat adalah alasan di balik sebuah fenomena politik. Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk tahu banyak soal situasi media. Agar masyarakat tak mudah dikelabui sandiwaranya. Tidak selamanya mendung itu kelabu.

Fasilitas negara untuk kepentingan kemenangan calon

Catatan lain dari film ini adalah pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kuasa petahana. Melalui dukungan konsultan politiknya, petahana memanfaatkan fasilitas negara untuk mengamankan skandal sekaligus mendulang suara. Dengan jabatannya sebagai Presiden, petahana bisa menciptakan momentum yang beresiko namun strategis. Agenda negara diubah menjadi agenda kampanye tanpa disadari publik. Yang menyakitkan, agenda negara itu justru diciptakan di bawah bayangan ilusi.

Rasa-rasanya, perilaku serupa juga banyak terjadi di sekitar kita. Tidak sedikit petahana memanfaatkan jabatannya untuk sekaligus berkampanye politik. Banyak juga pejabat negara dari menteri hingga camat ikut sebagai peserta pemilu atau diajak dalam tim sukses. Bahkan status menjabat jabatan publik yang di dalamnya terdapat tanggung jawab memimpin bisa gampang dikesampingkan dengan cuti atau pernyataan “kepentingan yang lebih besar”.

Bila diperhatikan secara seksama, di tahun-tahun akhir jabatan seorang praktisi politik, biasanya akan banyak kegiatan-kegiatan yang sifatnya berinteraksi atau bertemu muka dengan kelompok sosial atau komunitas masyarakat. Padahal empat tahun sebelumnya, para pejabat publik cenderung memilih banyak kegiatan elitis. Parahnya, agenda seperti ini memang sengaja disiapkan jauh-jauh hari melalui proses penyusunan APBN/APBD. Itu sebabnya ICW pernah merilis bahwa dana bantuan sosial cenderung meningkat pada tahun terakhir periode suatu pemerintahan.

Modus seperti ini tergolong konvensional bila dibandingkan dengan modus yang disajikan Wag The Dog. Namun tak menutup kemungkinan, pola-pola baru juga diterapkan. Tinggal kita sebagai masyarakat bisa cerdas membaca situasi. Regulasi bukannya tak mengatur hal-hal demikian. Namun, jangkauan regulasi kita belum sempurna, karena memang dibuat oleh para politisi yang berkepentingan di pemilu. Regulasi yang ada, seperti UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, tak cukup serius mengatur petahana atau pejabat publik memakai fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik kuasanya. Tak heran, banyak temuan publik hanya berakhir di tulisan opini.

Pemanfaatan fasilitas dan alat-alat negara untuk kampanye politik juga cerminan dari ketakmampuan seorang pejabat negara menghadirkan kualitas pembangunan yang baik bagi rakyatnya. Akibatnya, pejabat negara itu kehilangan percaya diri dan terjebak pada ketergantungan yang berlebihan terhadap momentum kampanye politik untuk “menjual kembali” dirinya. Banyak yang menyadari, mereka minim kinerja. Lantas mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan seluruh potensi yang sedang dimiliki untuk mencitrakan dirinya secara baik kepada pemilih. Mumpung sedang menjabat dan ada fasilitas.

Realita itu mendorong rakyat harus cerdas, agar tak terjebak dengan sandiwara politik fatamorgana. Wag The Dog sebenarnya mengajak kita untuk skeptis dalam pemilu dan politik. Skeptis bukan untuk tak percaya, tapi untuk tak mudah percaya dengan apa yang disajikan media. Terutama bila berkaitan dengan sisi-sisi heroisme politisi yang tampil di media, tanpa kita sendiri benar-benar merasakan hasilnya.

Realita itu pun menjadi pekerjaan rumah bagi organisasi masyarakat (LSM). Betapa rakyat butuh dampingan yang berkualitas dan meluas. LSM sebagai ujung tombak masyarakat, sudah selayaknya memfasilitasi masyarakat dengan pendidikan politik dan pemilih, informasi yang independen, rasionalisasi dan logika jujur, atau menjembatani aspirasi masyarakat terhadap pemerintahan.

LSM bertanggung jawab besar untuk dapat menempatkan dirinya pada posisi yang benar-benar netral dalam pemilu dan politik. Jauh dari keberpihakan personal atas kepentingan tertentu, serta menghindari justifikasi politik yang membenarkan dirinya masuk ke dalam lingkaran politik yang kontras. Agar rakyat bisa percaya, bisa mengetahui, mana ekor dan mana anjingnya yang sebenarnya. []

KHOLILULLAH P.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)