August 8, 2024

Mengacaukan Informasi Pemilu, Menghilangkan Hak Pilih

Keterbatasan akses dan pengaburan informasi pemilu bisa menyebabkan pemilih tidak tercatat dalam daftar pemilih atau bahkan tidak bisa memberikan suara. Kurangnya informasi resmi yang diketahui oleh seseorang juga akan membuatnya rentan terhadap informasi palsu yang mendistorsi keputusan untuk memilih.

Kemunculan internet dan media sosial telah membawa perubahan mendasar pada cara informasi diproduksi, dikomunikasikan, dan didistribusikan. Cara orang menyebarkan dan mengonsumsi informasi politik juga berubah. Selain membawa perubahan positif, kemunculan internet dan media sosial juga membawa pengaruh negatif terutama pada kemunculan kekacauan informasi (information disorder).

Ada tiga tipe kekacauan informasi: misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Disinformasi adalah informasi keliru yang sengaja dibuat untuk merugikan seseorang, kelompok sosial, organisasi, komunitas, atau negara. Misinformasi adalah informasi keliru yang dibuat tidak untuk menyebabkan kerugian. Orang yang menyebarkannya misinformasi percaya bahwa informasi tersebut benar, tanpa bermaksud membahayakan orang lain. Sementara malinformasi adalah informasi yang didasarkan pada kenyataan yang digunakan untuk merugikan seseorang, organisasi, komunitas, atau negara (Wardle & Derakhshan, 2017).

Di Indonesia, terdapat dua jenis pengacauan informasi pemilu: pengaburan informasi prosedur teknis kepemiluan serta disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu.

Pengaburan informasi prosedur teknis kepemiluan

Informasi prosedur teknis kepemiluan yang tidak sesuai dengan informasi resmi berkisar pada beberapa tema. Pertama, teknis pemberian suara. Kedua, syarat dokumen yang harus dibawa untuk bisa memilih di TPS. Ketiga, waktu pemungutan suara. Keempat, topik lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemungutan suara.

Disinformasi dan misinformasi ini tak hanya membuat bingung pemilih, tetapi juga penyelenggara pemilu ad hoc. Informasi palsu yang diterima KPPS menyebabkan hak pilih terganggu. Sebagai contoh, disinformasi mengenai syarat dokumen yang harus dibawa saat memilih di TPS. Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) PKPU No.3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di Pemilu, juga Pasal 14 ayat (4) PKPU No.18/2020 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di Pilkada, Formulir C6 atau Surat undangan memilih memang merupakan salah satu dokumen yang diserahkan kepada KPPS selain KTP elektronik atau identitas lain yang diperbolehkan, namun surat undangan memilih bukanlah dokumen yang wajib ada sebagai syarat menerima surat suara jika nama pemilih dapat ditemukan di DPT. Adanya disinformasi menyebabkan KPPS hanya memberikan surat suara kepada pemilih yang membawa Form C6.

Hal sama terjadi ketika KPPS terpapar disinformasi dan misinformasi bahwa pemilih pindah memilih hanya dapat dilayani  setelah pukul 12 siang. Hal tersebut merugikan pemilih pindah memilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Padahal, Pasal 8 ayat (14) PKPU No.3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di Pemilu menyebutkan bahwa pemilih pindahan dapat dilayani sejak pukul 7 pagi hingga 1 siang.

Begitu juga pada kasus hak pilih disabilitas mental. Adanya disinformasi dan misinformasi mengenai syarat dokumen keterangan sehat bagi pemilih disabilitas mental yang diterima KPPS menyebabkan hak pilih pemilih disabilitas mental hilang. Pasal 4 ayat (3) PKPU No.8/2016 Tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah menyatakan bahwa untuk dapat menggunakan hak pilih di TPS, disabilitas mental tak perlu menunjukkan surat keterangan sehat dari dokter. Surat keterangan dokter justru diperuntukkan bagi disabilitas mental yang sedang terganggu jiwanya sehingga tak mampu menggunakan hak pilih.

Disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu

Disinformasi yang bertujuan untuk mendelegitimasi proses pemilu juga berpotensi menjadi gangguan terhadap hak memilih. Fenomena masifnya disinformasi dengan tujuan ini bahkan menjadi isu global. Disinformasi yang bertujuan untuk mendelegitimasi proses pemilu berdampak secara signifikan pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan lembaga demokrasi. Bahkan, disinformasi yang menyerang penyelenggara pemilu mampu mendelegitimisasi proses pemilu, dan tak jarang berujung pada kisruh elektoral yang berbuntut demonstrasi dan perusakan berbagai fasilitas negara.

Disinformasi yang mendeligitimasi proses pemilu dapat dipetakan ke dalam dua kategori, yakni menyerang penyelenggara pemilu dan menyerang kredibilitas penyelenggaraan tahapan. Topik-topik disinformasi yang menyerang penyelenggara pemilu antara lain berkaitan dengan independensi penyelenggara pemilu (baik anggota maupun insititusi) serta keberpihakan penyelenggara pemilu pada kandidat tertentu. Sementara topik-topik disinformasi yang menyerang kredibilitas penyelenggaraan tahapan pemilu berkaitan dengan kecurangan-kecurangan penyelenggaraan tahapan pemilu; intervensi asing terhadap penyelenggaraan tahapan pemilu; serta diskriminasi hak pilih.

Terhadap bentuk pengacauan informasi pemilu, upaya-upaya seperti literasi digital, penyediaan informasi pemilu yang memadai, dan penindakan terhadap disinformasi telah dilakukan. Namun, upaya-upaya tersebut tidak ada yang secara khusus difokuskan untuk melindungi hak pilih seseorang. Protokol khusus penanganan disinformasi yang dapat menghilangkan hak memilih seseorang sangat diperlukan.

MAHARDDHIKA & NURUL AMALIA SALABI

Kami memetakan bentuk-bentuk voter suppression atau gangguan terhadap hak memilih di Pemilu Indonesia. Tulisan ini adalah tulisan keempat dari seri tersebut. Simak tulisan-tulisan pada seri ini: