September 13, 2024

Mengakhiri Drama Anggaran Pilkada

20161017_124711_gerindra-setuju-usul-kpk-dana-bansos-dibekukan-jelang-pemiluPembiayaan Pilkada dari APBD membuat KPU mesti berhadapan dengan keterbatasan keuangan daerah dan tarik menarik kepentingan. Sudah saatnya Pilkada didanai lewat APBN.  

Dalam diskusi dengan sejumlah media perihal rencana revisi Undang-Undang 8 Tahun 2015, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menyampaikan beberapa usulan perubahan UU tentang penyelenggaraan pilkada. Salah satunya perubahan anggaran penyelenggaraan pilkada, dimana nantinya akan dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau boleh dibantu Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Akan tetapi, pasal selanjutnya menegaskan aturan ini belum berlaku di pelaksanaan Pilkada Serentak 2017. Sehingga jelas, pilkada masih akan didanai sepenuhnya dari APBD. Padahal sejumlah pihak telah mengusulkan agar Pilkada gelombang dua ini bisa menggunakan APBN.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan agar pilkada serentak 2017 bisa menggunakan APBN. Berkaca dari pilkada 2015, sumber anggaran dari APBD berdampak terhadap pencairan yang tak serentak dan tersendat.

“Kami sangat berharap dana disiapkan jauh waktu, sejak awal. Jangan dana itu bertahap-tahap dan kemudian yang sudah bertahap itu pun masih tertunda,” kata Anggota KPU RI Hadar Nafis Gumay.

Dana tersendat  

Salah satu contoh daerah yang baru saja melaksanakan pilkada adalah Manado. Pembahasan anggaran yang tidak kunjung disepakati oleh DPRD dan Pemerintah menyebabkan KPU Manado berhutang Rp 5 Miliar kepada seluruh penyelenggara ad-hoc. Kebutuhan dana tersebut diperlukan untuk membiayai honor 7299 panitia pemungutan suara tingkat kelurahan dan kecamatan.

Ketua KPU Manado Eugenius Paransi mengatakan sejak Januari KPU meminta pembahasan anggaran. Akan tetapi pemerintah daerah Manado baru melakukan pembahasan menjelang pelaksanaan pemungutan suara akhir Februari lalu. Pemerintah beralasan harus menunggu audit terhadap Laporan Pertanggung Jawaban, mengkaji usulan, dan melaksanakan tahapan pergeseran atau perubahan anggaran bersama DPRD Kota Manado.

Proses negosiasi anggaran yang rumit juga dirasakan KPU daerah lain. Hingga batas akhir penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) tiga daerah di Sulawesi Selatan belum bisa bersepakat dengan Pemda mengenai anggaran Pilkada. Anggota KPU Sulawesi Selatan Mardiana Ahmad mengatakan pemda tidak memahami struktur penganggaran pilkada.

Ia mencontohkan, Peraturan Menteri Dalam Negeri mengatur adanya pembayaran honor tetapi tidak mengatur jumlah honor yang diterima penyelenggara sehingga pemda menyesuaikan sendiri dengan standar mereka.

Pemda mengacu kepada standar biaya sendiri, bahkan menganggap honor penyelenggara tidak perlu dibayarkan karena dianggap PNS. Sehingga pemda hanya menyetujui setengah dari yang diusulkan KPU.

Mardiana juga mengatakan standar pembiayaan yang dimiliki pemda tidak mengatur pos-pos anggaran vital sehingga mereka ingin mengurangi pembiayaan alat peraga kampanye, honor petugas PPK dan PPS, hingga honor operator Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH) dan Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng).

Ada juga aplikasi-aplikasi berbasis teknologi yang ingin dikembangkan KPU untuk sosialisasi dan demi keterbukaan proses jalannya tahapan. Tetapi karena di standar pemda tidak ada pembiayaan seperti itu, maka mereka tidak mau menganggarkan padahal menurut KPU hal itu penting.

Keterbatasan fiskal daerah 

Pembiayaan pilkada melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memang menuai sejumlah masalah. Studi yang dilakukan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), pembiayaan pilkada bersumber APBD menjadi permasalahan karena ruang fiskal daerah yang terbatas. Pembiayaan pilkada menjadi beban bagi APBD.

Sekretaris umum Seknas Fitra, Yenny Sutjipto menjelaskan sebagian besar daerah memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pusat. Rata-rata 70 persen sumber pembiayaan APBD berasal dari dana perimbangan. Komponen dana perimbangan, seperti Dana Alokasi Umum dialokasikan untuk belanja pegawai dan Dana Alokasi Khusus telah ditetapkan peruntukannya.

Praktis, ruang fiskal daerah atau keleluasaan daerah dalam mengalokasikan anggarannya, berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Bukan Pajak, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD). Daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah dan daerah perkotaan, umumnya memiliki ruang fiskal yang lebih luas. Keterbatasan ruang fiskal daerah, membuat terbatasnya pendanaan bagi daerah untuk memprioritaskan pembangunan. Pembiayaan pilkada praktis mengurangi ruang fiskal yang berasal dari PAD dan DBH.

“Penurunan belanja terlihat pada belanja langsung  secara keseluruhan, termasuk belanja langsung untuk pendidikan dan kesehatan. Ini terjadi baik di daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi maupun di daerah dengan kapasitas fiskal rendah” kata Yenni.

Sempitnya fiskal ini memunculkan daerah-daerah seperti Di Kabupaten Ogan Ilir misalnya, pilkada diselenggarakan menggunakan gaji ke-13 pegawai. Rata-rata anggaran pilkada yang dibutuhkan kabupaten/kota berkisar Rp 5 miliar sampai Rp 28 miliar. Besarnya anggaran dipengaruhi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan kondisi geografis. Sementara pada tingkat provinsi anggaran pilkada antara Rp 60 miliar sampai Rp 78 miliar.

Dalam praktiknya terdapat beberapa daerah yang biaya penyelenggaraanya cenderung tinggi dan juga terdapat beberapa daerah yang anggaranya rendah. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengatakan dibebankannya penyelenggaran pilkada pada APBD berdampak pada ketidakadaan standarisasi anggaran pilkada yang berujung pada pembengkakan anggaran pilkada.

“Ketiadaan standar ini dilatarbelakangi oleh setiap anggaran pilkada menyesuaikan dengan kemampuan keuangan APBD di daerah-daerah masing-masing.,” katanya.

KPU tersandera kepentingan daerah

Selain itu, pilkada lewat APBD melahirkan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor daerah dalam pembahasan anggaran pilkada. Aktor kunci dalam pembahasan anggaran terdiri dari Kepala Daerah, Sekretaris Daerah, DPRD, dan KPU di daerah sebagai kuasa pengguna anggaran. KPU di daerah seringkali tersandera dengan penentuan anggaran pilkada karena bergantung pada persetujuan kepala daerah yang seringkali juga merupakan calon petahana (incumbent), serta partai pendukungnya di DPRD.

Menurut Yenny, ketergantungan KPU provinsi dan kabupaten/kota semakin membuat posisi tawar KPU dalam penyelenggaraan pilkada lemah. Pendanaan pilkada pada APBD, membuat KPU “tersandera” dalam mengusulkan anggaran pada aktor politik daerah yang memiliki kepentingan terhadap pilkada. Anggaran pilkada menjadi ajang tawar-menawar yang dapat mempengaruhi independensi KPU. Tidak dapat dipungkiri, kepala daerah pada posisi petahana, dan partai politik pendukungnya memiliki pengaruh kuat dalam anggaran pilkada.

“Calon yang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah yang ikut bertarung dalam pemilihan dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya,” kata Yenni.

Yenni mengatakan sudah saatnya pilkada dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mekanisme pembiayaan pilkada dari APBN tidak berbeda dengan penyelenggaraan pemilu presiden. KPU menganggarkan biaya penyelenggaraan pilkada pada satker KPU di daerah yang menyelenggarakan pilkada. Usulan KPU haruslah mempertimbangkan DPT, kondisi geografis dan indeks kemahalan harga.

Khoirunissa juga menegaskan pelaksanaan pilkada serentak 2015 cukup menjadi evaluasi bagi pemerintah dan DPR agar membebankan biaya pilkada ke APBN. Sehingga pemberlakukan APBN bisa diterapkan untuk 101 daerah yang akan melaksanakan pilkada 2017. Tentunya negosiasi alot serta kepentingan Incumbent tidak lagi membayangi KPU daerah mengusulkan anggaran.

DEBORA BLANDINA