August 8, 2024

Mengapa Perlu (Peningkatan) Subsidi Partai Politik?

subsidi-partai-parlemen

Sebetulnya tak relevan lagi mempertanyakan kenapa negara perlu mensubsidi partai politik. UU No.3/1975 tentang Organisasi Sosial Politik (PPP, Golkar, PDI) sudah menuliskan, keuangan partai politik dan Golkar diperoleh dari iuran anggota, sumbangan tak mengikat, dan bantuan negara/pemerintah. Subsidi partai pun lumrah diterapkan di banyak negara demokrasi dengan ragam keadaan.

Perbedaan terletak pada besaran/persentase subsidi. Ada nilai subsidi sama besar dengan sumbangan (Jepang, Perancis, dan Denmark), ada juga yang bersubsidi lebih besar dibanding sumbangan (Swedia, Austria, dan Meksiko). Partai parlemen di Indonesia hanya disubsidi kurang dari 2 persen dari total dana resmi yang dilaporkan partai. Tapi fakta ini biasanya tetap masih sulit untuk dijadikan dasar menerima ide subsidi partai.

Selain itu, ada logika melompat saat menjelaskan tujuan subsidi partai untuk mengurangi korupsi di parlemen dan pemerintahan. Sebetulnya, ada dan tak ada subsidi partai, korupsi sangat mungkin ada. Subsidi partai tak berhubungan langsung menjadi penyebab terjadinya korupsi oleh elite partai yang menjadi pejabat publik.

Menambahkan subsidi partai sebagai solusi menghilangkan korupsi di parlemen punya logika yang mirip dengan penambahan gaji anggota dewan sebagai solusi menghilangkan korupsi. Bisa tak nyambung. Bahkan, bisa jadi karena penambahan subsidi partai, korupsi bisa bertambah banyak karena bertambahnya uang negara diperuntukan ke poros kekuasaan yang lemah pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas.

Konsekuensi demokrasi

Sejatinya, dasar diperlukannya subsidi partai adalah konsekuensi demokrasi. Partai dan pemilu merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan dari demokrasi. Negara demokrasi membutuhkan partai untuk menghidupkan demokrasi. Pemerintahan demokrasi harus bertanggungjawab terhadap keberlangsungan parlemen dan partai untuk tumbuh sehat.

Demokrasi dan pemilu merupakan dua sisi uang koin. Partai merupakan gambaran keadaan di dua sisi uang koin. Jika partainya sehat, gambaran demokrasi dan pemilu akan terhindar dari penyakit.

Pakar ilmu politik dan korupsi, Marcin Walecki menjelaskan, dana politik bukan hanya membutuhkan sistem transparan dan akuntabel tapi juga sumber yang jelas. Ibarat air putih dalam sebuah gelas yang bening, kita mau meminum jika kita tahu air tak beracun dari asalnya. Subsidi negara untuk partai merupakan bagian dari penyediaan dana partai bersumber jelas.

Kemandirian partai

Nilai dana politik tertentu dari negara akan mendorong kemandirian partai. Nilainya sesuai dengan konteks tiap negara. Penempatan kelembagaan partai menjadi prinsipil: apakah partai merupakan lembaga publik, semi-publik, atau malah privat?

Konstitusi Indonesia menempatkan partai sebagai satu-satunya saluran memiliki presiden, anggota DPR, dan DPRD. Partai pun merupakan saluran terkuat memilih kepala daerah. Bahkan anggota DPD pun banyak yang merupakan anggota partai. Dalam tataran ini partai bisa dimaknai sebagai lembaga 100% milik publik yang wajar jika subsidi diberikan dekat ke angka 100%.

Tapi undang-undang partai menuliskan sumber lain berupa iuran anggota dan sumbangan resmi tak mengikat (perseorangan atau perusahaan). Di sini partai bisa menjadi lembaga semi-publik atau privat. Partai sangat mungkin dimiliki segelintir orang atau malah mengalami personafikasi menjadi kepemilikan tunggal seseorang dengan gurita perusahaannya. Subsidi diperlukan untuk menghindari intervensi kepemilikan segelintir orang atau penguasa tunggal partai.

Ideologi makin cair

Makin kini, ideologi di masyarakat makin cair. Sehingga keterikatan anggota partai dengan masyarakat berdasar ideologi makin sulit diupayakan. Keadaan ini membuat partai ideologi massa pun kesulitan menggalang dana dari masyarakat.

Subsidi dibutuhkan partai untuk menjaga ideologi. Penjagaannya melalui kaderisasi dan pendidikan politik di internal partai dan publik. Semuanya membutuhkan dana berkelanjutan yang pasti, jelas, dan tanpa intervensi kepemilikan.

Tanpa subsidi partai yang signifikan, partai tak akan memperhatikan kelembagaan dan keanggotaan partai. Fase jeda antar pemilu tanpa kaderisasi dan pendidikan politik. Partai lebih banyak merekrut orang-orang popular dan atau berkepemilikan uang banyak untuk bisa bertahan mendapat banyak suara dari pemilu ke pemilu.

Tiga hal tersebut membuat kita tak heran mengapa lebih banyak partai yang tak demokratis, tak mandiri, dan tak ideologis. Pendanaan, salah satu aspek penting kelembagaan partai malah dimiliki dengan keadaan bersumber dari yang tak sehat, berasal dari segelintir/ketunggalan pihak, dan tak diikat dengan komitmen pengumpulan/pembelanjaan yang ideologis.

Pemahaman yang juga perlu kita jaga adalah peningkatan subsidi partai yang signifikan bukan lah solusi ketengan. Solusi ini harus menyertakan transparansi dan akuntabilitas partai, ragam bentuk pembatasan kampanye, dan penciptaan pemilu yang murah (aksesibel) dan partisipatif. []

USEP HASAN SADIKIN