September 13, 2024

Mengenal Koalisi Partai Politik

Koalisi partai politik merupakan hal lumrah yang terjadi dalam sistem politik demokratis. Koalisi partai politik memiliki arena dan motif yang berbeda-beda. Namun, sering kali publik mempertanyakan apa yang melatarbelakangi pembentukan koalisi partai politik. Terutama ketika terdapat partai politik yang ketika pemilu bersaing cukup kompetitif, tetapi pascapemilu memilih bekerjasama dan membentuk koalisi di pemerintahan. Lantas apa sebetulnya yang memotivasi partai politik dalam membangun koalisi?

Arena Koalisi

Secara teori kepartaian terdapat tiga arena bagi partai politik dalam berkoalisi. Pertama, koalisi dibentuk pada arena pemilu dengan orientasi utama bersama-sama memenangkan pemilu. Koalisi ini idealnya bersifat voluntaristik di mana partai politik bersepakat untuk bekerjasama secara sukarela karena kedekatan ideologi atau program partai. Konsekuensinya, partai politik yang bersepakat membentuk koalisi akan melakukan aktivitas kampanye secara bersama-sama untuk meraih suara terbanyak di pemilu.

Tetapi ada juga koalisi dibentuk dalam angka memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. UU 7/2017 misalnya, menjadikan syarat minimal kursi 20% bagi partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Bagi partai politik yang memiliki kursi 20% dapat mencalonkan sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya. Jika tidak, maka diwajibkan untuk berkoalisi dengan partai politik lainnya untuk mencapai jumlah dukungan minimal 20% kursi DPR.

Dicalonkannya Jokowi-Ma’ruf oleh enam partai politik dan Prabowo-Sandi oleh tiga partai politik di DPR hasil Pemilu 2014, karena tidak ada satupun partai politik di DPR yang meraih kursi 20% atau 112 kursi DPR. Sehingga dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden mereka bersepakat untuk membentuk koalisi. Ketentuan ini berlaku juga di pemilihan kepala daerah. UU 10/2016 mencantumkan syarat pencalonan kepala daerah minimal memiliki kursi DPRD sebanyak 20% bagi calon yang maju melalui jalur partai poilitik.

Kedua, koalisi dibentuk pada arena pemerintahan dengan motif untuk menjalankan roda pemerintahan bersama-sama. Sistem pemerintahan dan sistem kepartaian pada arena ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan koalisi partai politik. Pada sistem pemerintahan parlementer di mana tidak ada pemilu presiden, partai politik peraih kursi terbanyak akan membentuk pemerintahan. Bagi sistem parlementer dengan sistem dua partai, partai pemenang pemilu otomatis menjadi pemerintah dan yang kalah menjadi oposisi. Sehingga tidak terjadi koalisi. Namun, bagi sistem parlementer dengan sistem multipartai biasanya sejak pemilu berlangsung partai politik sudah bersepekat untuk membentuk koalisi untuk memenangkan pemilu dan koalisi tersebut dilanjutkan dalam pembentukan pemerintahan.

Pada sistem pemerintahan presidensial di mana presiden dipilih melalui mekanisme pemilu langsung, koalisi tidak terjadi pada sistem dua partai tetapi pada sistem multipartai. Koalisi menjadi suatu keniscayaan di tengah sistem presidensial multipartai terutama ketika partai politik pengusung presiden terpilih memiliki kursi minoritas di DPR. Sekalipun dalam konteks presidensial, presiden sebagai single chief executive yang memiliki otoritas untuk mebentuk kebijakan. Namun dalam setiap undang-undang yang diusulkan oleh presiden tetap memerlukan persetujuan dari DPR. Sehingga, jika partai politik pendukung presiden memiliki minoritas kursi di DPR, besar kemungkinan kerja-kerja presiden terpilih dapat terhambat di DPR yang setiap saat bisa saja menolak kebijakan presiden. Untuk itu dalam sistem presidensial multipartai koalisi menjadi salah satu solusi utama agar presiden terpilih memperoleh dukungan mayoritas di DPR.

Ketiga, koalisi dibentuk pada arena perumusan kebijakan dengan tujuan untuk membentuk atau menghasilkan kebijakan atau undang-undang tertentu. Pada arena ini koalisi antara partai politik dibatasi oleh waktu dan bersifat sementara. Dalam hal ini, jika undang-undang yang menjadi tujuan sudah terbentuk, maka koalisi dengan sendirinya dibubarkan. Selain itu, partai politik yang bersepakat untuk menghasilkan suatu undang-undang ini bisa saja tidak terikat dalam koalisi pada dua arena sebelumnya yakni pemilu dan pembentukan pemerintahan.

Praktek Koalisi

Keseluruhan arena koalisi tersebut terjadi dan dilakukan partai politik di Indonesia. Koalisi partai politik yang publik saksikan pasca-Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 misalnya, merupakan koalisi yang terjadi dari keberlanjutan koalisi di arena pemilu dan koalisi di arena kedua yakni pembentukan pemerintahan. Penataan ulang koalisi yang sering terjadi pascapemilu presiden biasanya berkaitan dengan pengisian jabatan menteri.

Meskipun konteks presidensial sebetulnya pengangkatan menteri menjadi hak prerogratif presiden terpilih namun kewenangan ini sangat dipengaruhi politik elektoral. Sudah menjadi konsekuensi logis partai koalisi pengusung presiden dan wakil presiden terpilih mendapatkan alokasi kursi menteri karena partai-partai tersebutlah yang bekerja secara kolektif untuk memenangkan presiden dan wakil presiden yang didukungnya pada saat pemilu.

Keterlibatan partai koalisi pengusung presiden dan wakil presiden sangatlah penting guna mendukung efektivitas implementasi program yang dicanangkan oleh presiden ketika pemilu. Sebagai contoh, karena sejak pemilu partai politik PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, PKPI, PSI, dan PBB bersepakat untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf artinya dianggap sudah memahami secara komperhensif visi-misi serta program yang direncanakan. Untuk itu keterlibatannya beberapa wakil dari partai politik tersebut di kursi menteri dapat membantu kerja-kerja presiden secara maksimal.

Pada sisi lain, UUD 1945 Pasal 5 menyebutkan “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Artinya kursi DPR yang dimiliki oleh koalisi partai politik presiden terpilih sangatlah strategis dan penting untuk meloloskan undang-undang yang diusulkan oleh presdien untuk dibahas di DPR. Dari keseluruhan partai politik pendukung Jokowi-Ma’ruf hanya lima partai politik yang duduk di DPR: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP dengan total kursi sebanyak 349 atau menguasi 60,7% kursi DPR. Mayoritas dukungan di DPR ini menjadi modalitas utama bagi Jokowi-Ma’ruf untuk menunjang efektivitas pemerintahannya. Namun, pascapemilu terjadi penataan ulang koalisi dengan melibatkan partai pesaing di luar pengusung presiden terpilih dalam pos kementerian.

Fenomena ini bukanlah persitiwa baru namun memiliki motif yang berbeda. Pemilu presiden pertama pada 2004, pasangan SBY-JK selaku presiden wakil presiden terpilih hanya didukung oleh tiga partai yakni Demokrat, PKPI, dan PBB. Minoritasnya koalisi partai pendukung SBY-JK ini berdampak pada dibuka kembali ruang koalisi bagi partai politik lain untuk bergabung. Termasuk partai politik yang menjadi pesaingnya sewaktu pilpres seperti Golkar guna memperoleh dukungan mayoritas di DPR dan efektivitas kebijakan yang diusulkan presiden dan memerlukan persetujuan DPR.

Situasi serupa dialami pula Jokowi-JK di periode pertamanya di Pemilu 2014. PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura selaku partai koalisi pengusung memperoleh kursi minoritas di DPR sebanyak 231 atau 41% dari total 560 kursi. Sedangkan sisanya diperoleh partai politik koalisi pendukung Prabowo-Hatta. Situasi ini memaksa presiden tepilih untuk menata ulang koalisi dengan melibatkan partai politik di luar pendukungnya pada saat pemilu untuk bergabung. Golkar dan PAN yang semula berada di luar koalisi Indonesia Hebat, bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi-JK yang ditandai dengan adanya kursi menteri untuk Golkar dan PAN. Sehingga dengan bergabungnya Golkar dan PAN koalisi pendukung Jokowi-JK di DPR menjadi mayoritas sebanyak 66%.

Meskipun serupa, namun kedua situasi ini tidak bisa dijadikan sepenuhnya latar belakang bergabungnya Gerindra dengan koalisi Indonesia Maju Jokow-Ma’ruf. Persoalannya, pasca-Pemilu 2019 partai politik pendukung Jokowi di DPR sudah memperoleh kursi mayoritas. Sehingga sekalipun Gerindra, Demokrat, PAN, atau PKS yang menjadi lawan politik Jokowi-Ma’ruf pada pemilu lalu menolak kebijakan atau undang-undang yang ditawarkan, tidak akan menganggu dan menghambat efektivitas pemerintahan.

Kalaupun harus voting di DPR, koalisi partai politik Jokowi-Ma’ruf dapat dengan mudah memenangkannya dengan basis kursi DPR sebanyak 60%. Namun, terkadang koalisi partai politik pendukung persiden terpilih tidak solid untuk mendukung kebijakan presiden. Sehingga, mengajak partai politik di luar partai pendukungnya di pemilu menjadi salah satu cara untuk menjaga efektivitas dukungan kebijakan di DPR.

Pada level pemilihan kepala daerah koalisi partai politik biasanya memiliki dua motif: Pertama, dalam rangka memenuhi syarat minimal 20 kursi DPRD untuk pencalonan kepala daerah melelaui jalur partai politik. Kedua, untuk memenangkan pemilu dan menghambat calon kepala daerah lain muncul dengan cara keseluruhan partai politik bersepakat mengusung satu pasangan calon. Munculnya fenomena calon tunggal salah satunya disebabkan oleh motif koalisi ini.

Dalam level pemerintahan daerah, koalisi partai politik lebih banyak muncul pada arena kebijakan dan sifatnya sementara. Karena logika bekerja hubungan legislatif dan eksekutif di daerah serupa dengan nasional, setiap kepala daerah dalam merumuskan kebijakan seperti peraturan daerah memerlukan persetujuan dari DPRD. Untuk itu, sering kali kepala daerah terpilih yang dalam pemebentukan koalisi pencalonannya hanya sebatas memenuhi persyaratan administratif 20% kursi yang berujung pada minoritas dukungan koalisi partai politik di DPRD ketika terpilih.

Dampaknya, dalam setiap perumusan kebijakan kepala daerah berusaha menjajaki dukungan dari partai politik lain di luar pengusungnya untuk mendapatkan dukungan mayoritas partai politik DPRD terhadap kebijakan publik yang diusulkan. Sayangnya, pola koalisi pada arena ini sering kali bersifat transaksional yang berujung pada praktek korupsi. Salah satu isitilah yang jamak didengar adalah adanya “uang ketok palu” dalam rangka memperoleh persetujuan kebijakan di DPRD. []

HEROIK M. PRATAMA

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)