CIRI utama negara demokrasi adalah menggelar pemilihan umum ataupemilu secara periodik untuk memilih pemimpin, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Pemilu merupakan peristiwa kompleks, karena event politik ini bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi juga pertarungan ideologi dan masa depan negara.
Di balik tindakan memberikan suara, pemilih memiliki refererensi politik panjang, penyelenggara memerlukan tenaga dan biaya luar biasa, sedang peserta mempertaruhkan segalanya demi kursi kekuasaan.
Merosotnya peran ideologi dalam kehidupan masyarakat bukan berarti melenyapkan pengaruhnya dalam momen politik. Rakyat terdidik mafhum, bahwa memilih pemimpin harus berdasarkan pertimbangan rasional: program bagus dan kapasitas mumpuni.
Tetapi pertimbangan itu bisa berantakan ketika isu ideologi mengemuka. Terjadilah split dalam diri pemilih seperti terjadi dalam Pilkada Jakarta 2017: menilai Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhasil memimpin Jakarta, tetapi menolak memilihnya kembali karena agama (baca ideologi) berbeda.
Bagi penyelenggara menyiapkan surat suara bukan sulit. Tapi tidak banyak orang tahu, mereka menghadapi kendala waktu.
Pertama, jarak antara terkumpulnya data pemilih dengan mulainya cetak sangat mepet. Kedua, surat suara tercetak tidak boleh tersimpan lama agar tidak mudah dicuri atau dipalsukan.
Dan memberikan suara bukan hanya soal surat suara, tetapi juga tempat pemungutan suara, bilik suara, dan petugas. Yang terakhir ini tidak hanya perlu dibayar, tetapi juga harus dilatih agar bisa bekerja baik.
Pemilih dan penyelenggara biasa mengatasi masalah atas dasar pengetahuan dan pengalaman. Tetapi bagi peserta, masalahnya tidak sederhana.
Pemilu adalah soal masa depan politik, bahkan soal hidup mati. Para calon anggota legislatif, calon pejabat eksekutif, dan partai politik pendukung siap menang, tetapi tidak siap kalah.
Terlebih jika kekalahan itu ditengarai diwarnai pelanggaran. Mereka menempuh jalur hukum meskipun bukti-bukti tidak memadai agar hakim membalik hasil penghitungan suara. Tapi itu lebih baik daripada mengandalkan kekerasan: mencederai lawan dan membakar kantor penyelenggara.
Perilaku pemilih, penyelenggara, calon, dan peserta pemilu dibingkai oleh peraturan pemilu. Peraturan ini bersumber dari konstitusi, undang-undang, dan peraturan teknis. Konstitusi mengatur tentang asas, periodisasi, dan sistem.
Asas pemilu di manam pun di negara demokrasi sama: free and fairatau bebas dan jujur. UUD 1945 merumuskan dengan bahasa lain: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Periodisasi pemilu menandakan adanya pembatasan masa jabatan anggota legislatif dan pejabat eksekutif. Tujuannya agar rakyat bisa mengontrol kekuasaan: bagus dipilih kembali, jelek takkan dipilih lagi.
Sedangkan sistem pemilu adalah konversi atau pengubahan suara (pemilih) menjadi kursi (calon terpilih). Dalam mengubah suara menjadi kursi ini terdapat beberpa variabel: besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, formula perolehan suara, dan penetapan calon terpilih.
Sebagian variabel tersebut ditentukan oleh konstitusi, namun jika konstitsui tidak mengaturnya, maka undang-undang pemilu harus mengatur secara jelas agar penyelenggara tidak bingung dalam membuat peraturan teknis.
Variabel-variabel itu sebetulnya inti pemilu sehingga memahami soal ini dapat memecah kerumitan pemilu.
Ketentuan-ketentuan tentang variabel pemilu tidak hanya berdampak pada hasil pemilu (calon terpilih), tetapi juga proses pemilu, yaitu pelaksanaan tahapan pemilu: penetapan daerah pemilihan, pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan calon terpilih, dan pelantikan calon terpilih.
Setiap tahapan memerlukan pengaturan, dan setiap pengaturan memerlukan penegakan. Itulah hukum pemilu.
Jumlah pemilu di setiap negara berbeda tergantung pada sistem pemerintahan (eksekutif) dan sistem parlemen (legislatif) yang digunakan.
Di dunia ini ada tiga jenis sistem pemerintahan: pertama, parlementer yang dipimpin perdana menteri, seperti di Inggris, Jepang, dan Malaysia; kedua, presidensial yang dipimpin presiden, seperti di Amerika Serikat, Korea, dan Philipina; dan ketiga, campuran, yang dipimpin presiden dan perdana menteri, seperti di Perancis dan Rusia.
Sedangkan sistem parlemen terdapat dua jenis: pertama, unikameral atau satu kamar (DPR); kedua, bikameral atau dua kamar (DPR dan Senat). Jerman penganut bikameral, hanya memilih DPR, sedangkan Senat berasal dari pemimpin negara bagian; sedang di Amerika, baik DPR maupun Senat dipilih melalui pemilu.
Dalam sistem parlementer, pemilu memilih wakil rakyat di legislatif, selanjutnya anggota legislatif memilih pejabat eksekutif. Sedang penganut sistem presidensial mengenal dua jenis pemilu: pertama, pemilu memilih anggota legislatif; kedua, pemilu memilih pajabat eksekutif.
Sementara dalam sistem pemerintahan campuran, pemilu memilih anggota legislatif dan pejabat eksekutif (presiden), selanjutnya anggota legislatif memilih pejabat eksekutif lainnya (perdana menteri).
Jumlah pemilu bertambah banyak jika setiap provinsi atau negara bagian juga menggunakan pemilu untuk memilih anggota legislatif dan pejabat eksekutif. Dan bertambah banyak lagi jika pemerintahan lokal di bawah provinsi atau negara bagian juga menggunkan pemilu untuk pemilih pemimpinnya lokalnya.
Sekarang menjadi jelas, betapa kompleks mengurus pemilu di Indonesia. Kita menganut sistem presidensial, sehingga menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif.
Anggota legisaltif dan pejabat ekekutif yang kita pilih tidak hanya tingkat nasional, tetapi juga provinsi dan kabupaten/kota. Sudah begitu, karena kita menggunakan sistem parlemen dua kamar, maka kita juga memilih anggota DPD.
Oleh karena itu urusan pemilu kadang membuat kita frustrasi, meski kita tahu ini syarat demokrasi. Semoga hadirnya Kolom Pemilu di Kompas.com ini pada hari-hari mendatang bisa membantu dalam mamahami urusan pemilu agar kita tidak bosan dan sebal melulu.
Simak dan nantikan Kolom Pemilu oleh Didik Supriyanto di Kompas.com.
http://nasional.kompas.com/read/2017/09/06/07300021/mengenali-pemilu-agar-tak-sebal-melulu