Pada pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017, terdapat enam daerah bercalon tunggal. Hal tersebut memang diperbolehkan menurut Undang-undang (UU) Pilkada No.10 Tahun 2016, tetapi keadaan ini menunjukkan adanya dominasi kekuasaan. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah daerah dengan calon tunggal, Sekretariat Bersama (Sekber) Kodifikasi UU Pemilu mengajukan solusi.
“Untuk menghindari monopoli dukungan partai yang berpotensi memunculkan pasangan calon (paslon) tunggal, maka koalisi partai pengusul paslon harus dibatasi.  Tidak boleh melampaui 40 persen dari jumlah kursi legislatif yang dimiliki masing-masing partai,†kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yang tergabung dalam Sekber, kepada Rumah Pemilu (27/10).
Ketentuan yang disebutkan Titi tercantum dalam RUU Pemilu versi Sekber, yakni pasal 125 ayat (2). Ketentuan ini dinilai Titi ampuh untuk menghindari wilayah bercalon tunggal, sebab calon tunggal cenderung tidak menyerap semua aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
“Daerah dengan calon tunggal itu kan tidak ada rivalnya. Artinya, dia tidak tertuntut untuk memiliki program kerja yang lebih baik dari lawan politiknya. Jadi, regulasi perlu mendorong terciptanya pemilu yang mengakomodasi kepentingan rakyat,†jelas Titi.
Pengaturan yang memperbolehkan adanya daerah bercalon tunggal terdapat di UU No.10 Tahun 2016 Pasal 54C dan 85 ayat (2b).