November 28, 2024

Mengoptimalkan Sirekap untuk Kebutuhan Semua Pihak

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menjadikan Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) sebagai alat bantu untuk memastikan hasil suara dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga penetapan. Semua pihak sepakat Sirekap belum siap menjadi penentu hasil pemilu menggantikan rekapitulasi hasil suara manual berjenjang. Mengotimalkan Sirekap sebagai alat bantu di Pilkada 2020 lebih strategis bagi KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemilih, pasangan calon, partai politik, pemantau, dan peneliti.

“Sirekap akan mentransformasikan data suara dengan sangat cepat. Ini membantu juga kepada kepada pasangan calon dan tim kampanye dalam menerima hasil suara. Begitu juga kepada Bawaslu dalam melakukan pengawasan proses penghitungan suara yang berjalan. Sirekap akan membantu banyak pihak termasuk peneliti dalam memperoleh data,” kata Anggota KPU, Evi Novida Ginting (17/11).

Dalam diskusi media secara virtual bertajuk “Keberlanjutan Sirekap di Pilkada 2020” itu pun Evi menjelaskan KPU tetap mempersiapkan Sirekap sebaik mungkin. Dirinya menginformasikan, KPU sedang melaksanakan bimbingan teknis gelombang IV Sirekap bagi sembilan provinsi yang menyelenggaran pemilihan gubernur-wakil gubernur.

“Meskipun Sirekap turun grade (dari penentu hasil menjadi alat bantu), Sirekap masih wajib digunakan oleh penyelenggara pemilu,” tegas Evi.

Penjelasan Evi tersebut memastikan sikap KPU terhadap Sirekap. Sebelumnya, di beberapa simulasi Sirekap, KPU masih menyampaikan kemungkinan bahwa Sirekap akan berfungsi sebagai penentu hasil untuk Pilkada 2020 di beberapa daerah uji coba.

KPU yang memastikan Sirekap sebagai alat bantu penghitungan suara manual berjenjang merupakan pilihan yang sejalan dengan permintaan Komisi II DPR. Pada Rapat Dengar Pendapat (13/11), Komisi II DPR meminta hasil Sirekap tidak menjadi hasil resmi Pilkada 2020. DPR menimbang, pengalaman Pemilu 2019 menggambarkan, kualitas teknologi penghitungan suara belum memberi kepercayaan banyak pihak.

Anggota Bawaslu, M. Afifuddin menjelaskan, kepastian KPU menjadikan Sirekap sebagai alat bantu sesuai dengan kebutuhan yang dipahami Bawaslu. Menurutnya, Sirekap belum punya keseimbangan rezim hukum dan rezim teknis Sirekap.

“Dengan menjadikan Sirekap dari wajib ke sunah, KPU tetap penting menjalankannya sebaik mungkin. Sebagai alat bantu, Sirekap menambah pekerjaan bagi semua jajaran KPU. Yang manual tetap dilakukan oleh KPU, yang Sirekap juga tetap dilakukan. Ini berarti sebagaimana Situng sebelumnya,” kata Afif.

Pegiat pemilu Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay berpendapat, bukan berarti menjadikan Sirekap sebagai alat bantu menurunkan maknanya sebagai teknologi rekapitulasi suara. Kebutuhan semua pihak adalah mendapatkan hasil cepat yang terbuka. Ini hal yang sangat penting dan tidak bisa dinomorduakan.

“Jadi, uji coba itu kita berharap nanti ada banyak catatan yang kita lihat lebih jauh untuk perbaikan kedepan. Jika tidak serius menerapkannya, gambaran tentang posisi soal sistem selama ini tidak lagi bisa dipastikan siap,” ujar Hadar.

Pegiat Konstitusi Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Ihsan Maulana mengingatkan, meski konsultasi dengan Komisi II DPR melalui RDP tidak bersifat mengikat, pilihan KPU untuk menjadikan Sirekap sebagai alat bantu adalah tepat. Penggunaan Sirekap sebaiknya bisa dioptimalkan dengan baik untuk kebutuhan hasil resmi yang ketentuannya bisa dimasukan dalam perubahan undang-undang pemilu.

Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby menekankan adanya kebutuhan pemilih dari Sirekap. Karena ini menyangkut hak pilih dan suara pemilih, pemilih punya hak mengetahui hasil Sirekap secara terbuka, mudah, dan cepat. Sirekap penting hadir bagi kebutuhan pengetahuan pemilih. []

USEP HASAN SADIKIN