August 8, 2024

Menguji Kemandirian KPU OLEH REZA SYAWAWI

PENETAPAN tahapan Pemilu 2024 oleh KPU pada prinsipnya tidak boleh mereduksi aspek kemandirian penyelenggara pemilu yang dijamin konstitusi. Namun, alotnya pembahasan penentuan hari pemungutan suara Pemilu 2024, justru mengindikasikan kuatnya kontrol dan kooptasi (partai) politik terhadap KPU.

Secara historis, kelembagaan KPU yang dibentuk pascaperubahan UUD 1945, dipicu terjadinya ketidakpercayaan publik (distrust) terhadap penyelenggaraan pemilu yang dikooptasi pemerintah. Ada situasi dominasi pemerintah dan parpol dalam kelembagaan penyelenggara pemilu menjadi ancaman bagi terselenggaranya pemilu yang demokratis.

Sekalipun UUD 1945 sudah sangat jelas memberikan jaminan kemandirian, tapi dalam praktiknya selalu ada upaya untuk memperkuat pengaruh politik dalam tubuh penyelenggara pemilu. Upaya itu bahkan pernah dilakukan secara terbuka melalui UU yang memperbolehkan anggota parpol mendaftar sebagai anggota penyelenggara pemilu.

Basis konstitusional

Secara hukum, menurut UU No 7/2017 tentang Pemilu, secara gamblang menyebutkan penetapan jadwal pemilu merupakan tugas dari KPU (Pasal 12 huruf a). Artinya, UU sudah memberikan kewenangan penuh kepada KPU, tanpa harus dipengaruhi atau bahkan dikendalikan, baik oleh kekuasaan legislatif maupun presiden.

Penguatan kemandirian penyelenggara pemilu juga dapat dilihat dalam pengujian UU oleh MK. Setidaknya ada dua putusan MK yang memberikan penafsiran terhadap aspek-aspek kemandirian penyelenggara pemilu. Pertama, Putusan MK No 81/PUU-IX/2011. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyinggung soal konsep nonpartisan itu tidak hanya sekadar diakomodasinya anggota parpol sebagai penyelenggara pemilu. Namun, juga termasuk diakomodasinya individu yang bukan anggota parpol, tetapi memiliki kepentingan politik yang sama dengan parpol tertentu. Maka, sistem pemilihan penyelenggara pemilu harus meminimalkan komposisi keanggotaan yang memiliki potensi keberpihakan.

Situasi politik hari ini tentu tidak bisa dipisahkan dari konteks persiapan untuk seleksi anggota penyelenggara pemilu yang akan segera berakhir pada 11 April 2022. Agak sulit untuk dibantah bahwa tarik-ulur penetapan jadwal pemilu saat ini ialah bagian yang tak terpisahkan dari proses rekrutmen itu. Itu karena posisi politik pemerintah dan parlemen akan sangat dominan dalam pemilihan anggota lembaga penyelenggara pemilu.

Kedua, Putusan MK No 92/PUU-XIV/2016. Putusan ini membatalkan ketentuan yang menyatakan bahwa hasil konsultasi antara KPU dan DPR-pemerintah ‘bersifat mengikat’ terkait dengan perumusan dan penetapan peraturan KPU serta pedoman teknis dalam setiap tahapan pemilu. MK menyatakan bahwa makna kemandirian juga harus dimaknai ‘tidak adanya benturan kepentingan, pengaruh dan/atau tekanan dari pihak mana pun kepada lembaga yang mandiri dalam menjalankan tugas dan kewenangannya’. Penyelenggara pemilu tidak hanya mengelola aspek teknis, tetapi juga memiliki kewenangan menerbitkan peraturan dan kebijakan (self regulator bodies) yang tidak boleh diintervensi lembaga mana pun (full authority), termasuk DPR, pemerintah, dan partai politik.

Mengutip International IDEA, ‘independensi penyelenggara mengandung makna adanya kebebasan bagi penyelenggara dari intervensi dan pengaruh seseorang, kekuasaan pemerintah, parpol, dan pihak mana pun dalam pengambilan keputusan, dan tindakan dalam penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara harus dapat bekerja secara bebas dari campur tangan pihak mana pun. Independensi itu dapat dilihat dari sikap dan kebijakan yang diambil penyelenggara, seperti soal penetapan peserta pemilu dan pengaturan jadwal kampanye.

Ancaman atau ujian kemandirian?

Sekalipun basis konstitusional kemandirian atau independensi kelembagaan penyelenggara pemilu begitu kuat, dalam praktiknya selalu mengalami tantangan. Sekalipun tidak ada satu anggota penyelenggara pemilu yang memiliki latar belakang parpol, selalu memiliki potensi keberpihakan. Contoh yang paling anyar ialah proses hukum terhadap bekas anggota KPU (WS), yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR. Selain itu, dalam Laporan Kinerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2019, juga mengungkap bahwa pelanggaran terhadap prinsip kemandirian termasuk salah satu jenis pelanggaran yang banyak diadukan.

Dalam konteks yang lebih luas, intervensi terhadap kemandirian penyelenggara pemilu, sering kali muncul dalam instrumen regulasi. Terakhir, misalnya, dalam Perppu No 2/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 6/2020 tentang Perubahan Ketiga UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama KPU, pemerintah, dan DPR (Pasal 122A ayat 2). Frasa ‘persetujuan bersama’ sudah sangat jelas, mereduksi kewenangan KPU yang diatur di dalam UU Pemilu.

Proses penetapan jadwal pemilu yang bersamaan dengan akan dimulainya proses pemilihan anggota penyelenggara pemilu, menjadi batu uji terhadap kemandirian institusi KPU, termasuk kemandirian dari setiap anggotanya. Desain konstitusional yang meletakkan lembaga penyelenggara pemilu sebagai lembaga yang mandiri, sejatinya juga harus disokong kemandirian dari setiap individu di dalamnya. Kemandirian individu tentu bukan hanya soal nonpartisan, melainkan juga bagaimana ia bisa bersikap independen di tengah tarik-menarik kepentingan politik parlemen dan pemerintah.

REZA SYAWAWI, Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia

Dikliping dari artikel yang terbit di https://mediaindonesia.com/opini/442683/menguji-kemandirian-kpu