Sekitar 700 TPS di hampir 20 provinsi di Indonesia mengalami tertukar surat suara pada Pemilu legislatif 9 April yang lalu. Banyak praktik politik uang terjadi. Jual beli suara marak terjadi pada saat rekapitulasi penghitungan suara. KPU lambat dalam merekapitulasi suara di tingkat nasional.
Kalimat-kalimat tersebut menjadi headline media baik cetak dan elektronik pascapemilu 9 April yang lalu. Jika membaca judul-judul tersebut maka yang terkesan adalah peyelenggaraan Pemilu 2014 adalah Pemilu yang buruk. Apakah memang, penyelenggaraan Pemilu 2014 dapat dinilai buruk?
The International IDEA melihat proses pemilu sebagai sebuah siklus yang tak terputus. Dalam siklus tersebut ada tiga periode, pertama periode pra-pemiliu, periode pemilu, dan periode pasca-pemilu. Dalam siklus tersebut yang termasuk dalam siklus pemilu antara lain misalnya; penyusunan dan perancangan peraturan terkait pemilu, termasuk pembuatan undang-undang pemilu, rekrutmen para penyelenggara pemilu, penjadwalan pemilu, proses pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu, kampanye, proses pemungutan suara, penghitungan suara, penyelesaian perselisihan hasil pemilu, pelantikan calon terpilih, pelaporan hasil penyelenggaraan Pemilu.
Jika sudah masuk pada tahapan akhir yaitu pelaporan hasil Pemilu, maka siklus ini kembali ke awal. Misalnya adanya revisi terhadap undang-undang pemilu sebelumnya dan seterusnya.
Sementara menurut ahli pemilu di Indonesia, Ramlan Surbakti menilai pemilu dalam kerangka free and fair. Menurut profesor ilmu politik ini, setidaknya ada tujuh indikator yang bisa digunakan untuk menilai sejauh mana tingkat free and fair suatu pemilu. Tujuh indikator itu adalah: kesetaraan, kepastian hukum, persaingan yang bebas dan adil antar peserta pemilu, partisipasi, penyelenggara pemilu yang independen dan professional, integritas proses pemungutan dan penghitungan suara, dan penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu.
Untuk itu dalam menilai sebuah pemilu ada baiknya jika tak hanya melihat pada proses di hari pemungutan dan penghitungan suara saja. Perlu juga menilai bagaimana tahapan pra-pemilu. Salah satu tahapan yang masuk dalam tahapan pra-pemilu adalah proses pendaftaran pemilih. Pasal 19 UU 8/2012 mensyaratkan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin memiliki hak pilih dan didata satu kali oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Adalah kewajiban KPU untuk memutakhirkan daftar pemilih. Dalam upayanya untuk memaksimalkan warga negara yang memiliki hak pilih untuk terdaftar dalam daftar pemilih, KPU membuka beberapa alternatif jika masih ada pemilih yang belum terdaftar di daftar pemilih tetap. Hal alternatif ini diakomodir melalui Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb). Bagi pemilih yang akan pindah memilih pun diberi ruang untuk masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Pemutakhiran daftar pemilih pun melibatkan masyarakat, peserta pemilu, dan pengawas Pemilu. Pihak-pihak ini diberi waktu kesempatan untuk memberikan masukan kepada KPU jika mereka memiliki temuan terkait dengan daftar pemilih.
Selain daftar pemilih yang akurat agar tingkat legitimasi pemilu tinggi tentu perlu tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Setidaknya tak menurun dari pemilu sebelumnya. Untuk itulah diperlukan sosialisasi pemilu yang dapat menjangkau seluruh pemilih.
Harus diakui bahwa proses sosialisasi pada pemilu legislatif yang lalu belum maksimal. Misalnya hanya menonjolkan kapan tanggal pemilu tetapi belum menyosialisasikan bagaimana cara mencoblos yang sah. Padahal dalam surat suara yang diterima pemilih ada banyak sekali nama calon dan seorang pemilih diberi empat surat suara. Tentu bagi pemilih yang awam hal ini menyulitkan. Untuk melakukan pendidikan politik memang menjadi ranah dari partai politik dan juga Kesbangpol, untuk itu perlu ada kerja sama antara KPU dengan institusi tersebut untuk dapat mencerdaskan pemilih.
Masalah lain yang ditemukan adalah terkait dengan distribusi logistik. Ditemukan hampir di 700-an TPS terdapat surat suara yang tertukar, jika dipersetasekan memang tak sampai satu persen dari seluruh TPS yang ada di Indonesia. Namun angka ini naik jika dibandingkan dengan pemilu yang lalu. Untuk itulah sudah seharusnya dipikirkan Standard Operating Procedure (SOP) yang dapat dilaksanakan dengan optimal. Selain itu juga terdapat masalah mengenai petugas KPPS di lapangan yang tak memahami cara kerja pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini dikarenakan proses rekrutmen anggota KPPS yang tak terbuka dan tak ada regenerasi perekrutan anggota KPPS.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa pada pemungutan suara 9 April lalu masih terdapat permasalahan. Namun perlu juga diapresiasi bahwa penyelenggara pemilu cukup terbuka dan akomodatif terhadap masukan-masukan publik untuk tahapan pemilu. Misalnya dalam pembuatan peraturan pembentukan daerah pemilihan DPRD Provinsi, KPU mau menerima masukan publik sehingga prinsip pembentukan dapil yang demokratis dapat diterapkan. Hal ini tentunya lebih menjamin kesetaraan kompetisi antar peserta Pemilu.
Pembuatan peraturan KPU mengenai pencalonan pun bisa dinilai positif. Publik mendorong KPU agar memberikan sanksi kepada partai politik yang tak mencalonkan 30% perempuan dari daftar calon dan KPU pun menyikapi secara terbuka. Hal ini tentu memberikan kesempatan yang besar kepada calon perempuan untuk bersaing.
Dari semua itulah, penting menilai pemilu sebagai siklus. Bagaimana proses penyelenggaraan pemilu sejak tahapan pemilu dimulai perlu dipahami dan diapresi juga positifnya. Jika dilihat dari seluruh prosesnya maka dapat dikatakan bahwa penyelenggaran pemilu yang lalu berjalan dengan lancar dan relatif baik. Bahwasannya memang tak ada penyelenggaraan pemilu yang sempurna, untuk itulah peran dari seluruh pihak menjadi penting. Sehingga tak berlebihan rasanya jika kita memberikan selamat dan apresiasi bagi penyelenggara pemilu dan seluruh rakyat Indonesia. []
KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI