January 17, 2025

Menjebol Dinding Istana: Menyibak Fakta Politik Dinasti di Indonesia

Pemilihan umum merupakan satu dari empat pilar demokrasi yang ada di Indonesia. Namun, berjalannya sebuah demokrasi tidak hanya dibuktikan dengan diadakannya Pemilu jika di dalamnya masih banyak terdapat tindakan yang tidak mencerminkan sikap demokratis. Tanpa adanya unsur bebas, adil, dan dilakukan secara sehat, serta dengan didukung oleh landasan peraturan yang kuat, Pemilu yang idealnya menjadikan Indonesia negara demokratis hanya akan dianggap sebagai seremoni penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya di pemerintahan.

Cacatnya demokrasi di Indonesia dapat dilihat dengan masih berlakunya sistem threshold di dalam pemilihan umum. Adanya ambang batas pencalonan ini membatasi masyarakat dalam memilih calon pemimpin karena yang bisa berlaga di panggung demokrasi hanya orang-orang dari partai politik yang memenuhi batas threshold tersebut. Contoh nyatanya adalah Koalisi Indonesia Maju PLUS (KIM PLUS), koalisi gendut di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta 2024 yang hampir membuat ajang demokrasi tersebut perlu menyiapkan kotak kosong karena threshold membuat partai politik lain tidak dapat mengusung calonnya. Meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk memangkas ambang batas pencalonan Pemilihan 2024, syarat seseorang untuk mencalonkan diri secara independen pun tetap sulit, yaitu memiliki dukungan signifikan dari masyarakat yang harus disesuaikan dengan populasi pada wilayah tersebut.

Problematika ini memberikan peluang kepada pihak-pihak lain untuk melancarkan relasi kekuasaannya di dalam ajang demokrasi Indonesia. Berlakunya threshold dan dipersulitnya pencalonan secara independen juga merupakan salah satu upaya pihak-pihak tertentu untuk menjegal calon lain yang mungkin saja memiliki potensi untuk maju menjadi pemimpin. Jika kita investigasi lebih jauh, relasi kekuasaan yang sedang berlangsung di Pilkada saat ini sudah berlangsung sangat lama dan bahkan mencapai level kejahatan politik dinasti.

“Kita memiliki problem besar dalam sistem kepartaian dan kepemiluan yang berkaitan dengan politik nasional kita yang lebih banyak memberi jalan pada relasi kuasa oligarki. Apalagi membahas soal Pilkada yang dulu dimungkinkan sekali alternatif [jalur-red] independen untuk dapat menjadi calon kepala daerah. Sekarang juga masih bisa, tetapi jalan untuk menuju itu dipersulit,” terang Herlambang, Dosen Hukum Tata Negara UGM, mengenai sistem pemilu di Indonesia yang memberi jalan bagi lahirnya politik dinasti (21/11).

Keengganan pemerintah Indonesia dalam menangani praktik politik dinasti dapat dilihat dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Bupati, Gubernur, dan Wali Kota dengan dalih bahwa adanya pasal ini dianggap inkonstitusional karena mencabut hak dalam kebebasan berpolitik seorang individu atau kelompok. Namun, kenyataannya Keputusan MK untuk mencabut pasal ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melanggengkan politik dinasti. Ketua Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015, Arief Hidayat, menyatakan bahwa masalah politik dinasti bukan terletak pada aturannya, melainkan pada pengawasan yang bobrok.

Mahkamah Konstitusi mencabut pasal tersebut dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dengan demikian, pasal tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia karena membatasi hak seseorang untuk maju sebagai calon dalam Pemilihan.

Kendati demikian, Herlambang, Dosen Hukum Tata Negara UGM menyatakan bahwa hak politik seperti yang disebutkan pada Pasal 7 huruf r  UU No. 8 Tahun 2015 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut, melainkan hak yang bersifat relatif atau derogable rights. Artinya, hak ini dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara untuk melindungi hak asasi individu atau kelompok lain. Adanya pasal tersebut ditujukan untuk membatasi hidupnya relasi kekuasaan yang akan melahirkan kejahatan politik dinasti. Jadi, seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat tetap mempertahankan pasal tersebut.

Sesuai yang diatur dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pilkada, dibutuhkan jeda setidaknya satu kali masa jabatan apabila keluarga petahana ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pasal yang tersebut diterapkan untuk mencegah adanya konflik kepentingan. Dengan adanya jeda antara jabatan petahana dan keluarga petahana, dapat diadakan pergantian kabinet yang memperkecil adanya konflik kepentingan.

Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan tegas telah mengatur larangan bagi petahana untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon yang akan berkontestasi di Pemilihan berikutnya. Petahana dilarang melakukan penggantian pejabat sejak 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatannya, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, serta dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya konflik kepentingan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil menjelang Pemilihan.

Meski begitu, konflik kepentingan merupakan hal yang masih sering dinormalisasi di Indonesia dan tidak dianggap sebagai suatu hal yang tabu dalam politik. Seringkali konflik kepentingan diremehkan karena dianggap hanya berhubungan soal etika saja. Padahal, hadirnya konflik kepentingan dalam lingkup pemerintahan akan memberikan dampak yang dapat merugikan kepentingan umum. Konflik kepentingan dapat menyebabkan keputusan yang diambil oleh pemerintah bukan merupakan keputusan yang paling berpihak pada kepentingan umum, melainkan terdapat andil pertimbangan kepentingan pribadi atau golongan.

Anggapan remeh terhadap konflik kepentingan inilah yang juga menjadi salah satu pemicu langgengnya politik dinasti di Indonesia. Mahkamah Konstitusi bahkan mengamini konflik kepentingan bukanlah hal besar dalam pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari dicabutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r oleh Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa salah satu syarat untuk menjadi calon kepala daerah adalah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

“Problem kita adalah ada prinsip dasar di dalam politik yang seringkali tidak dianggap penting di dalam sistem sekarang, yaitu conflict of interest atau konflik kepentingan,” ujar Herlambang, Dosen Hukum Tata Negara UGM, perihal dicabutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r oleh Mahkamah Konstitusi (21/11).

Politisi juga tidak serta merta mau ikut disalahkan dalam masalah konflik kepentingan ini. Alibi yang paling sering digunakan untuk membela diri dari tuduhan pembiaran konflik kepentingan ini adalah, “biar masyarakat atau rakyat yang memilih”. Namun, benarkah pembiaran terhadap konflik kepentingan yang akhirnya melahirkan politik dinasti tersebut sepenuhnya berasal dari tangan rakyat hanya karena rakyat yang memilih sendiri pemimpinnya?

“Mereka [rakyat-red] dalam posisi yang kerap kali berkompromi dengan realitas politik yang kartelisasi. Berkompromi bukan berarti mereka [rakyat-red] setuju. Berkompromi karena tidak ada pilihan lain,” terang Herlambang, Dosen Hukum Tata Negara UGM, mengenai peran rakyat dalam membentuk politik dinasti (21/11/).

Nyatanya, rakyat sebenarnya tidak benar-benar memiliki pilihan. Rakyat hanya diminta memilih antara beberapa calon pemimpin yang ditawarkan. Selebihnya, partai lah yang menentukan calon yang ingin diusungnya untuk dipilih oleh rakyat.

Berkembangnya praktik politik dinasti juga tak lepas dari sejarah yang mengakar kuat sejak zaman Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru praktik politik dinasti lebih banyak terjadi di tingkat pusat, pada era reformasi ini justru lebih dominan di tingkat daerah. Maraknya fenomena politik dinasti dalam kontestasi Pemilihan juga tidak terlepas dari pengaruh praktik serupa di level nasional. Hal ini terlihat pada pemilihan presiden bulan Februari lalu, ketika putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Begitu juga dengan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, yang menjabat sebagai wali kota di Medan, Sumatera Utara.

Berdasarkan data yang diluncurkan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), pada penyelenggaraan Pemilihan serentak 27 November 2024, sebanyak 33 dari 37 provinsi dan 156 dari total 582 kandidat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terafiliasi dengan politik dinasti. Praktik politik dinasti dapat dilihat  di Provinsi Banten saat salah satu calon gubernurnya, Airin Rachmi Diany, merupakan bagian dari dinasti Ratu Atut yang hampir semua anggota keluarga dinasti ini menduduki posisi strategis dalam struktur pemerintahan provinsi tersebut. Praktik serupa juga dilakukan oleh menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution, yang mencalonkan diri sebagai gubernur di Sumatera Utara. Sementara itu, salah satu kandidat di Sulawesi Selatan, Danny Pomanto, maju sebagai calon gubernur bersamaan dengan istrinya, Indira Jusuf Ismail, yang juga mencalonkan diri sebagai wali kota di Makassar.

Selain tingkat provinsi, Pemilihan di tingkat kota/kabupaten juga tidak luput dari praktik politik dinasti, salah satunya di Kabupaten Sleman. Dinasti ini bermula ketika Sri Purnomo menjabat sebagai wakil bupati pada tahun 2005–2010 lalu dilanjutkan menjabat sebagai Bupati Sleman selama dua periode berturut-turut hingga tahun 2020. Setelah masa jabatannya usai, istri dari Sri Purnomo, Kustini, maju mencalonkan diri menggantikan suaminya sebagai Bupati Sleman dan terpilih selama masa jabatan 2021 hingga 2024. Kini, dalam kontestasi Pilkada 2024, Kustini kembali mencalonkan diri untuk posisi yang sama, dengan Sukamto sebagai wakilnya.

Politik dinasti menjadi ancaman yang nyata bagi negara demokrasi. Pasalnya, pemegang kekuasaan hanya dipegang oleh segelintir orang yang memiliki hubungan darah ataupun kekerabatan tanpa mempedulikan kompetensi atau kelayakan orang tersebut. Alhasil, arah kebijakan politik dinasti cenderung keberlanjutan dan tidak membawa perubahan yang signifikan. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Sleman, Kustini cenderung melanjutkan pola kepemimpinan yang tak jauh beda dengan suaminya. Ini menunjukkan bahwa politik dinasti hanyalah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan tujuan bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila dan konstitusi negara.

Penulis:

  • Mirza Zakiya Rahma Shoffa
  • Dyandra Syazana Oktaviano
  • Nayla Sabita Kanaya
  • Alkhansa Tsabitha Suryaputri

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi BPPM MAHKAMAH FH UGM dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.