Meskipun pemilihan kepala daerah baru akan dimulai desember tahun ini, namun baliho, spanduk, stiker dan iklan kampanye lainnya sudah bertebaran di daerah-daerah yang akan melakukan pemilihan, bahkan sudah sejak akhir tahun lalu. Berbagai citra positif tentang bakal calon seperti merakyat, amanah, tegas, bersih dan sebagainya membombardir alam bawah sadar konstituen melalui media yang beraneka ragam itu.
Lalu, apakah ini tergolong kampanye? Dan apakah para bakal calon wajib melaporkan pembiayaan pencitraan dirinya itu kepada KPU? Jawaban atas keduanya adalah tidak.
Bagi bakal calon, apa yang mereka lakukan bukanlah kampanye. Sebab menurut definisi yang diberikan Undang-undang kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program. Para calon maupun timnya selalu mengatakan bahwa itu bukanlah kampanye tapi hanya “iklan†dan itu tidak wajib dilaporkan pembiayaannya karena dilakukan di luar masa kampanye. Lagi pula baliho-baliho itu tidak menampilkan visi-misi dan program sebagaimana definisi kampanye menurut Undang-undang.
Definisi yang demikian, menyulitkan penyelenggara untuk menarik pertanggungjawaban dari para bakal calon yang hanya sebatas menampilkan foto dan citra baik dirinya di baliho-baliho maupun media cetak dan elektronik di luar masa kampanye tanpa menampilkan visi, misi dan program. Ini adalah celah hukum yang selalu dimanfaatkan para kandidat untuk “mencuri start†dalam meyakinkan pemilih tanpa harus melaporkan dana.
Ini pulalah yang dijadikan celah bagi investor politik yang melihat peluang bahwa ada kandidat yang membutuhkan dana besar untuk mencitrakan dirinya di hadapan publik. Berkat celah ini dana kampanye jadi membengkak tapi tidak terlaporkan. Dan ini bisa jadi pintu masuk dana-dana rahasia dari para investor politik yang berpotensi menyandera kebijakan pemerintah daerah kelak apabila si bakal calon terpilih.
Cara untuk menutupi celah ini adalah dengan menambah definisi kampanye pada Undang-undang yang semula hanya menyampaikan visi, misi dan program menjadi menampilkan visi, misi, program atau citra diri peserta. “Atau†bukan “danâ€!
Sebab jika Undang-undang menggunakan kata “dan†seperti selama ini, penampilan foto serta citra diri oleh para bakal calon lagi-lagi akan diklaim sebagai bukan kampanye karena belum memenuhi unsur kampanye yang kumulatif. Tapi jika menggunakan kata “atauâ€, definisi kampanye akan terpenuhi meskipun bakal calon hanya menampilkan salah satu di antara visi, misi, program atau citra diri.
Pertanyaan selanjutnya adalah: jika seseorang belum mencalonkan diri, kenapa dia harus melaporkan belanja pencitraannya, sementara dia (masih) bukan seorang peserta pemilihan kepala daerah? Jawabannya memang tidak wajib. Tapi jika di kemudian hari dia terdaftar sebagai calon, Undang-undang bisa mewajibkannya untuk melaporkan biaya pencitraan itu. Laporan dana pencitraan di luar masa kampanye tergolong pada pre election campaign yang di banyak negara juga wajib dilaporkan.
Penampilan citra diri oleh para bakal calon tidak perlu dilarang, hanya saja cukup diatur pertanggungjawabannya. Sebab juga banyak sisi positifnya. Di samping sebagai sarana bagi pemilih untuk mengenal lebih awal dan memprediksi bursa calon yang akan berkontes di pilkada, baliho-baliho serat sepanduk yang bertebaran di daerah juga bisa menambah pendapatan daerah melalui pajak reklame dan pajak penghasilan dari pengusaha reklame. Ekonomi di daerah juga akan tumbuh karenanya.
Melalui penambahan frasa “citra diri†dalam definisi kampanye, ke depannya diharapkan KPU dapat menjerat para balon yang mendaftar menjadi calon untuk melaporkan pembiayaan pencitraannya. Bagi para balon yang tidak mendaftar, anggap saja mereka membantu pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan melalui pajak reklame.
Kuncinya ada di tangan pembentuk Undang-undang. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 belum jeli dalam melihat celah ini meskipun sudah berulangkali terjadi. []
ARMANDA PRANSISKA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)