Pemerintah, DPR, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu menyetujui Pemilu 2019 dilaksanakan pada Rabu, 17 April 2019. Segenap kesepakatan diselesaikan, menjadi bekal untuk merencanakan tahapan menuju hari pemilihan.
Sejak kesepakatan dicapai hingga terbitnya UU Pemilu, KPU sudah memiliki rujukan untuk menyusun pedoman teknis Pemilu 2019. Ke depan, setiap lima tahun sekali, pemilihan umum dilaksanakan secara berkala sebagai praktik demokrasi di Indonesia.
Kado istimewa
Mekanisme persetujuan bersama ini merupakan kado cukup istimewa mengingat pada 2016 mencuat pertentangan DPR versus KPU periode 2012-2017. Konflik terjadi karena DPR dan pemerintah menghendaki agar KPU dalam menyusun peraturan dan pedoman teknis pemilihan dilakukan melalui konsultasi yang mengikat. Artinya, hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah wajib diakomodasi dalam peraturan KPU dan petunjuk teknisnya.
KPU keberatan atas keinginan ini karena berpotensi mengganggu kemandirian. Lalu, KPU mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Komisi II DPR menilai langkah KPU tersebut sebagai perlawanan, dengan alasan satu dan lainnya merupakan rekanan dalam penyelenggaraan pemilu. DPR bisa menerima jika judicial review dilakukan organisasi penggiat pemilu. Namun, tidak ada lembaga masyarakat yang (berminat) melakukan gugatan.
Sikap KPU merujuk pada perubahan UUD 1945, 9 November 2001, Pasal 22E Ayat (5) bahwa ”pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Jadi, keberadaan KPU dengan karakter mandiri dijamin konstitusi. Enam tahun kemudian, terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pada Pasal 3 tertera: ”dalam menyelenggarakan pemilu, KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.” Dan, pada Pasal 8 dituliskan bahwa tugas dan wewenang KPU dalam pemilu kepala daerah adalah ”menyusun dan menetapkan pedoman teknis sesuai dengan tahapan yang diatur peraturan perundang-undangan.”
Empat tahun berikutnya, keluar UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Namun, Pasal 8 mengatur perubahan tugas dan wewenang KPU dalam pemilihan kepala daerah, yakni ”menyusun dan menetapkan pedoman teknis tahapan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah.”
Ketentuan ini masih sama seperti yang tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. UU ini menjadi dasar pemilihan kepala daerah secara serentak (pilkada serentak) gelombang pertama pada 9 Desember 2015, yang diikuti 264 daerah. Sesungguhnya, penetapan pilkada serentak perdana sudah melalui persetujuan DPR, pemerintah, KPU, dan Bawaslu. Hal ini terjadi karena begitu kuat faktor kepentingan bersama untuk menyukseskan pemilihan umum sebagai sejarah baru.
Pada saat berlaku UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada serentak gelombang kedua, 15 Februari 2017, baru terjadi perubahan Pasal 9 (a) mengenai tugas dan wewenang KPU, yaitu ”menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.”
Rambe Kamarul Zaman, dalam buku Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, menerangkan penyempurnaan pasal dilandasi pengalaman ketika penyelenggara pemilu melakukan konsultasi draf peraturan teknis kepada DPR dan pemerintah, hasil konsultasi diabaikan (2016: hal 359).
Dalam pertentangan, Komisi II DPR lebih lugas menolak langkah KPU melayangkan gugatan ke MK. Sementara KPU cenderung kesulitan menyatakan tindakan judicial review bukan perlawanan. Antagonisme ini masih berlangsung hingga seleksi anggota KPU periode 2017-2022. Tim seleksi mengajukan lima anggota KPU lama di antara 14 nama calon yang akan dipilih jadi tujuh anggota KPU baru. Namun, keputusan Komisi II DPR hanya menerima dua komisioner lama, sedangkan tiga anggota KPU lama tidak lolos karena berpandangan gugatan ke MK sebagai ekspresi kemandirian lembaga.
Pelajaran berharga
Bagaimanapun, relasi DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu akan terjalin terus-menerus untuk memproduksi persetujuan bersama mengenai rancangan, persiapan, dan pelaksanaan pemilu ke depan. Jadi, perbedaan dan pertentangan patut dijadikan pelajaran berharga dalam berdemokrasi.
Kini, putusan MK tentang pemilu serentak wajib dilaksanakan pada 2019 merupakan momentum sejarah demokrasi. Nanti, pemilu dilaksanakan dengan lima kotak suara untuk pemilu presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota. Tambahan satu kotak suara merupakan hal baru yang memerlukan pemikiran matang seluruh institusi yang terlibat pemilu.
Dengan demikian, persetujuan DPR, pemerintah, KPU, dan Bawaslu mengenai Pemilu 2019 dapat dimaknai dalam empat hal penting. Pertama, persetujuan bersama ditemukan bila ada faktor dominan yang disadari sebagai kepentingan bersama.
Kedua, konflik dapat dilalui secara ”alamiah” dengan menemukan solusi bersama melalui mekanisme sistemik yang integratif.
Ketiga, persetujuan bersama merupakan dukungan politik bagi KPU dan Bawaslu untuk menyelenggarakan pemilu secara mandiri.
Keempat, kesepakatan bersama merupakan komitmen nasional bahwa Pemilu 2019 satu- satunya mekanisme rekrutmen kepemimpinan nasional.
NANANG TRENGGONO
KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM LAMPUNG; PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS LAMPUNG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul “Menulis Sejarah Pemilu secara Bersama-sama”.
http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/07/26/Menulis-Sejarah-Pemilu-secara-Bersama-sama