August 8, 2024

Menyederhanakan Sistem Kepartaian dengan Proporsional Tertutup

Sistem kepartaian multipartai ekstrem dalam parlemen menjadi salah satu sebab pemerintahan buruk suatu negara. Kecairan ideologi dan platform partai politik di dalamnya membuat visi-misi dan program pemerintah menjadi terhambat atau bisa dilakukan terbatas menyertakan transaksi proyek pembangunan. Sehingga bisa dikatakan, tidak ada negara presidensial (memilih presiden langsung) dengan multipartai ekstrem, bisa menjadi negara yang baik.

Selama ini, ambang batas parlemen yang terus ditingkatkan, tidak menjawab kebutuhan objektif penyederhanaan sistem kepartaian dalam parlemen. Angka sistem kepartaian yang dimaksud adalah jumlah partai parlemen efektif yang mempengaruhi legislasi dalam DPR (effective number of parliamentary parties/ENPP). Yang terjadi adalah, semakin tinggi ambang batas parlemen, angka ENPP sejak Pemilu 1999 sampai 2024 malah cenderung naik.

Penghitungan sistem kepartaian ini berdasar rumus effective number of parliamentary parties (ENPP). Hasil penghitungannya akan dikelompokan sesuai angkanya. ENPP berangka 1 berarti masuk kelompok sistem kepartaian tunggal, sebagai contoh: parlemen Orde Baru ada tiga partai politik tapi partai relevannya hanya 1. Jika ENPP berangka 2, berarti ada dua partai kuat dan relatif berimbang dalam parlemen, sehingga ini masuk kelompok sistem kepartaian dwipartai yang biasa dimodelkan dengan Demokrat-Republik di Amerika Serikat. Jika nilai ENPP lebih dari 2, berarti ada lebih dari dua partai kuat dan relatif imbang di dalam parlemen, sehingga ini masuk dalam kelompok sistem kepartaian multipartai yang biasa dimodelkan dengan sistem kepartaian di parlemen Belanda dan Jerman.

Sistem kepartaian multipartai lalu dibagi menjadi dua. Pertama, multipartai moderat dengan nilai ENPP 3 sampai 5. Kedua, multipartai ekstrem dengan nilai ENPP lebih dari 5.

Angka ENPP tersebut tidak sama dengan jumlah partai politik pada surat suara dan di dalam parlemen. Surat suara bisa jauh lebih banyak menampung partai politik. Lalu, partai politik yang masuk parlemen pun bisa jauh lebih banyak jumlahnya dibanding angka ENPP.

Menghindari multipartai ekstrem terbentuk di parlemen memang tidak menjamin suatu negara bisa lebih baik dalam demokrasi. Tapi, tidak ada negara yang baik berdemokrasi dan bisa sejahtera, menerapkan sistem kepartaian multipartai ekstrem. Jika kita merujuk pada sejumlah indeks negara-negara dalam demokrasi/kebebasan (Freedom House) dan bersih dari korupsi (Transparency International), kita bisa berkesimpulan bahwa peringkat negara-negara antar indeks relatif mirip. Bila kita kaitkan dengan sistem politik, didapat temuan, tidak ada negara presidensial yang pemerintahannya berjalan baik, punya sistem kepartaian multipartai esktrem.

Peningkatan ambang batas parlemen dan ENPP

Pemilu 1999 punya 48 partai politik peserta pemilu. Dengan sistem pemilu proporsional tertutup, pemilu pertama pasca-Reformasi ini menghasilkan 21 partai politik DPR. Tanpa ambang batas parlemen, ENPP DPR hasil Pemilu 1999 adalah 4,7.

Pada Pemilu 2004, ada 24 partai politik peserta pemilu. Melalui sistem pemilu proporsional terbuka dengan ambang batas 0%, partai politik DPR berkurang menjadi 17 partai politik. Tapi, ENPP DPR hasil Pemilu 2004 malah meningkat menjadi 7,1.

Lalu, Pemilu 2009 punya 38 partai politik peserta pemilu. Berdasar UU 10/2008, pemilu ini berlangsung menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka dengan ambang batas 2,5%. Hasilnya, partai politik DPR berkurang menjadi 9 partai politik. ENPP hasil Pemilu DPR 2009 berkurang menjadi 6,2.

Pada Pemilu 2014, ada 12 partai politik peserta pemilu. Berdasar UU 8/2012, pemilu legislatif berlangsung menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka dengan ambang batas 3,5%. Hasilnya, partai politik DPR malah bertambah menjadi 10 partai politik. ENPP hasil Pemilu DPR 2014 pun malah meningkat menjadi 8,2, tertinggi sepanjang sejarah pemilu Indonesia.

Pemilu 2019, ada 16 partai politik peserta pemilu. Berdasar UU 7/2017, pemilu legislatif diserentakan dalam satu hari pemungutan suara dengan pemilu presiden. Sistem pemilu legislatif tetap menggunakan proporsional daftar terbuka dengan ambang batas 4%. Hasilnya, partai politik DPR berkurang menjadi 9 partai politik. ENPP-nya pun berkurang menjadi 7,5.

Dari pembuktian angka-angka tersebut, peningkatan ambang batas parlemen lebih sebagai upaya mengurangi jumlah partai politik masuk DPR. Artinya, partai politik DPR lebih menggunakan kewenangan pembuatan undang-undang pemilu sebagai upaya menghalangi partai politik lainnya untuk masuk DPR.

Kembali ke proporsional tertutup

Jika kita merujuk hasil pemilu tersebut dengan segala variabel sistem pemilu yang digunakan, maka jelas, hanya Pemilu 1999 yang menghasilkan multipartai sederhana dengan ENPP 4,7. Ini dikarenakan Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup. Perhatikan lagi. Setelah Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka sejak 2004, sistem kepartaian DPR cenderung meningkat menjadi multipartai ekstrem.

Sebab pilihan sistem pemilu proporsional itu bisa kuatkan dengan merujuk Pemilu 1955. Dalam pemilu pertama Indonesia ini, ENPP yang dihasilkannya adalah 5. Saat itu kita dengan baik menerapkan sistem proporsional tertutup, memilih lambang partai pada surat suara.

Sejak Pemilu 2019, sistem kepartaian multipartai ekstrem coba dihindari dengan menyerentakan pemilu presiden dan pemilu parlemen.

Tidak tercapainya pengoptimalan efek ekor jas dan berdampak pada sistem kepartaian yang tetap ekstrem karena Pemilu 2019, karena pemilu legislatifnya masih menerapkan sistem proporsional daftar terbuka. Varian sistem proporsional ini tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian parlemen.

Suara hasil pemilu legislatif dalam pemilu serentak tidak terbentuk berdasar efek ekor jas. Dengan keleluasaan pemilih untuk memilih tiap individu caleg pada daftar terbuka, suara pemilu legislatif jadi terdistribusi merata, tidak fokus pada partai utama pengusung capres.

Daftar calon legislatif yang disusun oleh setiap partai memiliki potensi besar untuk memengaruhi hasil suara dalam pemilu. Pada hari pemungutan suara, terlihat bahwa sebagian besar pemilih lebih memilih langsung nama calon legislatif daripada memilih berdasarkan nama atau lambang partai politik pengusung presiden. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kualitas personal, identitas, hubungan kekerabatan, popularitas, penampilan fisik, praktik politik uang, atau kombinasi dari pertimbangan-pertimbangan tersebut.

Gambaran distribusi suara yang merata dari sistem proporsional terbuka bisa digambarkan dari perbandingan hasil survei elektabilitas partai dan hasil pemilu yang resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Perbedaan ini disebabkan oleh ketidaksesuaian pertanyaan dalam survei elektabilitas dengan sistem pemilihan umum yang diterapkan.

Pertanyaan dalam survei elektabilitas partai politik umumnya seputar pilihan partai, bukan pilihan caleg. Pertanyaan semacam ini hanya relevan dalam sistem pemilihan umum proporsional tertutup. Sedangkan pemilu legislatif Indonesia dengan memilih individu caleg sudah diterapkan sejak Pemilu 2004 (semiterbuka) hingga 2024.

Menyederhanakan sistem kepartaian dengan proporsional terutup merupakan pilihan revisi undang-undang pemilu yang amat sederhana. Kita hanya mengubah satu ketentuan dalam undang-undang pemilu saja. Kita tidak perlu mengamendemen undang-undang dasar seperti halnya keinginan pihak yang ingin mengubah sistem pemilu DPR/DPRD menjadi sistem pluralitas distrik. Kita juga tidak perlu mengecilkan district magnitude yang sekarang eksis (3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD) karena pada 1955 dan 1999 pun kita punya district magnitude yang lebih besar dibanding sekarang.

Dengan sejumlah pembuktian tersebut, amat disayangkan jika kita masih tidak menerima dan menerapkan sistem proporsional tertutup. Jika terus begini, selamanya parlemen dan pemerintah Indonesia akan ada kecenderungan koruptif atau lambat berkebijakan. []

USEP HASAN SADIKIN