Pemerintah dan DPR telah memutuskan untuk tidak melanjutkan revisi pembahasan UU Pemilu. Artinya kerangka regulasi yang akan digunakan untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada 2024 tetap sama dengan regulasi yang ada. Walaupun tidak ada perubahan regulasi di tingkat undang-undang, namun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 55/PUU-XVII/2019 menunjukkan adanya kondisi hukum baru yang seharusnya dipedomani oleh pembuat kebijakan.
Kondisi hukum yang baru itu dapat dilihat dari pertimbangan dalam memilih keserentakan pemilu. MK menyebutkan dalam pertimbangan hukumnya bahwa dalam memilih jenis keserentakan pemilu harus mempertimbangkan lima hal, yaitu; (1) pemilihan model yang berimplikasi pada perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilu; (2) kemungkinan terhadap pilhan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilu dalam melaksanaan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Adanya kondisi hukum baru ini seharusnya dipedomani oleh DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu untuk mempersiapkan Pemilu 2024. Simulasi, implilkasi teknis agar pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar, memperhatikan kemudahan pemili harus menjadi pertimbangan dalam mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Pemilu 2024 masih 2.5 tahun lagi. Tetapi, tahapannya sudah harus dipersiapkan sejak sekarang. Pada 2024 nanti ada pemilu lima kotak seperti Pemilu 2019 ditambah Pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia pada November 2024. Pemerhati pemilu dan penyelenggara pemilu sudah memperkirakan bahwa akan terdapat sejumlah tantangan dalam menghadapi pemilu serentak 2024.
Dengan tidak adanya perubahan undang-undang pemilu sebetulnya penyelenggara pemilu sudah memiliki gambaran mengenai penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Oleh sebab itu sudah dapat dilakukan pemetaan terkait potensi tantangan yang mungkin akan dihadapi pada Pemilu 2024. Salah satu hal yang sudah dapat diantisipasi adalah mengenai potensi himpitan tahapan antara Pemilu dan Pilkada 2024. Untuk mendukung upaya tersebut tidak hanya bisa diserahkan kepada penyelenggara pemilu saja dalam upaya meminimalisir tantangan yang mungkin terjadi pada Pemilu 2024.
Tahapan pemilu sebagai sebuah siklus
The International IDEA dalam buku panduan Electoral Management Design, menjelaskan bahwa penyelenggaraan pemilu adalah sebuah siklus. Siklus ini dibagi menjadi periode prapemilu, periode pemilu, dan periode pascapemilu. Dalam siklus ini, aktivitas yang masuk dalam tahapan inti pemilu hanya terdiri dari empat aktivitas, yaitu pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil pemilu.
Jika merujuk pada siklus ini, maka sebetulnya tahapan pemilu dapat disederhanakan. Artinya aktivitas-aktivtas lainnya seperti pembentukan daerah pemilihan, pendaftaran partai politik peserta pemilu, pendaftaran pemilih dapat dilakukan dalam siklus pratahapan pemilu. Sebetulnya upaya menyederhanakan tahapan pemilu sudah bisa dilakukan. Misalnya untuk aktivitas pemutakhiran daftar pemilih.
Saat ini KPU diberi amanah oleh undang-undang melakukan pemutakhiran daftar pemilih secara berkelanjutan. Saat ini penyelenggara pemilu tidak perlu lagi menunggu tahapan pemilu untuk memutakhirkan data pemilih. Data pemilu terus dimutakhirkan secara berkala agar data pemilu selalu mutakhir dan akurat. Dengan demikian hal ini dapat sangat membantu proses penetapan daftar pemilih menjelang Pemilu 2024, karena penyelenggara pemilu tidak perlu lagi melakukan proses pendataan dari awal.
Namun untuk dapat melancarkan proses pemutakhiran daftar pemilh secara berkelanjutan tersebut, tidak hanya bergantung pada KPU saja, tetapi juga membutuhkan kerja sama dan integrasi data dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dinas Dukcapil diperlukan untuk memberikan data kependudukan kepada KPU secara berkala agar proses pemutakhiran daftar pemilih secara berkelanjutan dapat berjalan secara maksimal. Tetapi, belum ada kerangkan regulasi yang mewajibkan Dinas Dukcapil untuk memberikan datanya secara berkala. Data kependudukan hanya diberikan kepada KPU oleh Dinas Dukcapil menjelang tahapan pemilu dimulai. Tahapan pendaftaran pemilih ini juga dapat disederhanakan dengan menjadikan DPT pada Pemilu 2024 sebagai DPS untuk Pilkada 2024.
Aktivitas lainnya adalah pembentukan daerah pemilihan, khususnya untuk pembentukan daerah pemilhan DPRD Kabupaten/Kota. Hal ini sebetulnya sudah dapat dilakukan sejak awal jika pembentukan daerah pemilihan disesuaikan dengan siklus sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS. Sensus penduduk tahun 2020 merupakan data penduduk yang mutakhir yang dapat dijadikan sebagai basis data pembentukan daerah pemilhan. Artinya daerah pemilihan tidak perlu dibentuk setiap kali penyelenggaraan pemilu.
Hal lain adalah terkait dengan waktu aktivitas dalam tahapan pemilu, misalnya pendaftaran partai politik peserta pemilu, verifikasi partai politik peserta pemilu, pendaftaran calon anggota legislatif, dan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Waktu untuk tahapan penyelenggaraan pemilu tersebut sudah ditentukan dengan rigid dalam UU No. 7/2017. Tahapan yang waktunya sudah dikunci di undang-undang ini jika diakumulasi memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk persiapan pemilu.
Padahal, sebetulnya ada tahapan-tahapan yang waktunya bisa diperingkas apalagi juga sudah ada bantuan instrumen teknologi. KPU sudah memilih sejumlah aplikasi yang sebetulnya dapat mempermudah proses tahapan-tahapan pemilu. Misalnya SIPOL sebagai instrumen pendaftaran partai politik peserta pemilu. Namun keberadaan aplikasi-aplikasi tersebut masih memerlukan payung hukum di tingkat undang-undang.
Penyederhanaan dalam tahapan-tahapan pemilu ini menjadi penting mengingat adanya potensi kompleksitas tahapan yang dapat dialami oleh penyelenggara pemilu di lapangan. Untuk itu keterlibatan pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah dan DPR dibutuhkan untuk dapat membantu membuat tahapan ini menjadi lebih sederhana. Pemerintah, Komisi II, dan KPU sudah membentuk tim kerja bersama yang salah satu tujuannya adalah melakukan pemetaan terhadap potensi kompleksitas yang mungkin akan dihadapi dan memberikan jalan keluar untuk meminimalisir hal tersebut. Sehingga diharapkan hasil dari tim kerja bersama ini bisa keluar dengan segera supaya memiliki persiapan yang panjang dalam menghadapi Pemilu 2024. []
KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)