November 27, 2024

Menyelamatkan Suara Rakyat OLEH KHAIRUL FAHMI

Sebagai hak konstitusional warga negara, hak pilih berfungsi sebagai pengawet bagi hak lainnya.

Dikatakan demikian karena dengan hak pilih, seorang warga negara menentukan siapa pemimpin politik yang akan mengambil berbagai kebijakan penting terkait hajat hidup mereka. Artinya, hak pilih adalah modal bagi rakyat untuk menunjuk orang yang akan mewakili, menyuarakan, memperjuangkan, melindungi dan memenuhi haknya sebagai warga.

Dengan posisi demikian, hak pilih ditempatkan sebagai hak fundamental (fundamental rights) bagi warga negara sehingga keberadaannya mesti diapresiasi sedemikian rupa agar dipenuhi di setiap pemilu. Pada saat yang sama, berbagai faktor yang dapat menyebabkan hak pilih terlanggar atau terabaikan mesti dieliminasi, termasuk hambatan administratif.

Batasan administratif

Demi menjaga agar pemilu berjalan jujur dan adil, berbagai syarat administratif untuk penggunaan hak pilih memang diperlukan. Tanpa batasan itu, potensi kecurangan akan sulit dikontrol. Hanya batasan administratif tidak boleh diterapkan secara berlebihan. Ia harus diletakkan dalam kerangka yang seimbang antara upaya melayani hak pilih sebagai hak konstitusional dan kepentingan administrasi pemilu.

Kerangka berpikir demikian telah diletakkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No 102/PUU-VI/2009. Putusan pengujian UU No 42/2008 itu menentukan batas demarkasi yang jelas antara hak pilih sebagai hak konstitusional dan syarat terdaftar sebagai pemilih. Bahkan, ditegaskan, prosedur administrasi tak boleh menegasikan hak warga negara untuk memilih.

Putusan dimaksud berperan menyelamatkan hak memilih warga pada Pilpres 2009, di mana bagi yang tidak terdaftar dalam DPT tetap dapat memilih menggunakan KTP atau paspor.

Dalam perkembangannya, keberadaan KTP sebagai syarat memilih pun tak luput dari masalah. Pertama, dengan syarat memiliki e-KTP, tertutup ruang bagi warga negara yang belum memiliki untuk terdaftar di DPT ataupun menggunakan hak pilih. Dalam konteks itu, warga negara yang belum menyelesaikan administrasi kependudukan akan kehilangan haknya, tak terkecuali mereka yang berada di pedalaman dengan berbagai hambatan ketika hendak menyelesaikan urusan kependudukannya.

Kedua, warga negara yang memiliki KTP, tetapi tak terdaftar di DPT dan berdomisili di daerah lain, juga tak dapat menggunakan haknya. Sebab, pemilih dengan kondisi itu hanya dimungkinkan memilih di tempat alamat sesuai KTP.

Jika ditelaah lebih jauh, penggunaan KTP memang dapat dikategorikan sebagai standar minimum dalam penggunaan hak memilih. Ketika syarat terdaftar dalam DPT atau DPTb tidak lagi menjadi syarat mutlak, syarat KTP hadir sebagai penggantinya. Terkait hal itu, menghilangkan peran KTP sebagai syarat memilih sulit dilakukan. Lebih-lebih, proses pemilu juga membutuhkan akuntabilitas administratif warga negara yang memberikan suara dalam pemilu.

Walau demikian, realitas penyelenggaraan negara menunjukkan masih banyak warga yang belum tersentuh sepenuhnya program e-KTP. Oleh karena itu, agar hak memilih tidak tercederai, pilihan memberikan pengecualian bagi warga negara tertentu, seperti masyarakat adat, tentunya harus dibuka. Hanya, langkah tersebut mesti diiringi dengan mekanisme kontrol yang memadai agar KTP tak disalahgunakan.

Begitu juga dengan penggunaan KTP yang hanya dapat dilakukan di TPS sesuai alamat yang ada. Pembatasan ini bertujuan untuk menghindari kecurangan dalam penggunaan KTP. Dengan hanya dapat digunakan di TPS sesuai alamat, petugas setempatlah yang akan mengawasinya. Sementara jika digunakan di tempat lain, pengawasan akan sulit dilakukan sehingga potensi kecurangan akan terbuka.

Sesuai catatan itu, apakah opsi membolehkan penggunaan KTP di TPS lain tetap dapat dibuka?

Dengan regulasi yang ada, ruang itu sudah tak memungkinkan. Hanya opsi ini sangat mungkin diterapkan jika mekanisme kontrol penggunaan e-KTP telah tersedia. Telah tersedia sarana pemindaian KTP di TPS, misalnya, sehingga KTP tak dapat lagi disalahgunakan. Cara ini perlu dipertimbangkan agar kualitas administrasi pemilu dan layanan hak memilih bagi setiap warga negara dapat dijaga secara seimbang.

Pindah memilih

Selain dua masalah di atas, salah satu tantangan pemenuhan hak memilih pada pemilu kali ini adalah persoalan pindah memilih. UU Pemilu membuka ruang bagi pemilih yang terdaftar dalam DPT untuk pindah memilih ke TPS lain. Ternyata hal itu tidak sederhana sebab pindah memilih membawa implikasi lain seperti berbedanya jabatan politik yang dapat dipilih antarpemilih, berlainnya skala pindah antarpemilih, hingga masalah ketersediaan surat suara.

Dua persoalan yang disebut pertama akan berdampak pada makin rumitnya proses pelayanan pemilih dan penghitungan suara di TPS. Sebab, pemilih yang pindah daerah pemilihan (dapil) antarkabupaten akan berbeda dengan pemilih yang pindah dapil lintas provinsi. Masalah ini menuntut agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyediakan sumber daya manusia kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang mampu menangani kerumitan teknis dimaksud. Tanpa itu, pindah memilih dapat menimbulkan masalah yang akan berujung pada dipersoalkannya hasil pemilu.

Masalah lain yang tidak kalah serius adalah jika data pemilih di satu TPS tidak sebanding antara pemilih yang pindah dan yang masuk. Berdasarkan data KPU per 17 Februari, terdapat sebanyak 275.923 pemilih yang tersebar di 87.483 TPS yang mengurus pindah memilih. Dari data yang ada, pindah memilih ternyata terkonsentrasi di wilayah tertentu seperti daerah pertambangan, perkebunan, dan pendidikan (Kompas, 22/2/2019). Dengan terjadinya penumpukan pemilih pindah, kekurangan surat suara dipastikan akan terjadi.

Upaya menangani masalah ini berbenturan dengan pembatasan normatif yang ada, di mana jumlah pemilih di setiap TPS ditetapkan KPU paling banyak 300 pemilih. Artinya, hanya tersedia 300 surat suara, ditambah 2 persen sebagai cadangan sehingga total surat suara hanya 306 lembar di setiap TPS.

Untuk menjawab hambatan normatif dimaksud, setidaknya ada dua alternatif jalan yang dapat ditempuh.

Pertama, ketentuan pembatasan pencetakan surat suara berbasis jumlah DPT dalam Pasal 344 UU Pemilu harus dimaknai termasuk berbasis jumlah DPTb. Sebab, DPTb pada dasarnya bukan data pemilih baru, melainkan data pemilih dalam DPT yang pindah ke TPS lain sehingga ia dapat dibaca sebagai bagian dari DPT. Untuk langkah ini, KPU dapat melakukan revisi pencetakan surat suara dengan menambah surat suara untuk daerah tempat yang dituju pemilih dan mengurangi surat suara di tempat asal. Langkah ini dapat dilakukan dengan merevisi peraturan KPU terkait logistik pemilu.

Kedua, norma pembatasan pencetakan surat suara dalam UU Pemilu diuji secara materiil. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi diminta memberikan penafsiran bahwa batasan 2 persen surat suara cadangan dikecualikan bagi daerah yang penambahan jumlah pemilihnya melebihi jumlah surat suara.

Dua alternatif langkah tersebut mesti diiringi dengan dilakukannya konsolidasi data pemilih setelah tanggal 17 Maret. Jika jumlah pemilih dalam DPTb melebihi ketersediaan surat suara cadangan, KPU melakukan penataan ulang dengan menambah jumlah TPS. Langkah ini dipergunakan untuk menjaga agar batas maksimum jumlah pemilih di setiap TPS tetap dapat dipenuhi.

Alternatif tersebut tidak saja untuk menghindari potensi adanya pemilih yang terdaftar dalam DPTb yang tidak dapat memberikan suara karena tidak memadainya kertas suara, tetapi juga untuk mengantisipasi ketersediaan surat suara bagi pemilih yang memilih menggunakan KTP. Langkah ini amat diperlukan agar suara rakyat yang terancam dapat diselamatkan.

Khairul Fahmi Dosen HTN, Peneliti Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2019 di halaman 6 dengan judul “Menyelamatkan Suara Rakyat”.