October 28, 2024

Menyemai Benih Politisi Muda

Antusiasme pemuda terjun dalam politik untuk terlibat aktif dalam menentukan arah masa depan bangsa tetap menyala hingga kini, meski geloranya tak sebesar pada masa perjuangan. Dengan mengikuti kelas-kelas politik, mereka berikhtiar menapaki tangga menjadi politisi.

Tak ketinggalan peran masyarakat sipil sebagai penyelenggara kelas politik, menjaga agar api semangat pemuda terlibat dalam dunia politik tetap menyala.

Terdorong keinginannya terlibat aktif dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan orang banyak, Azizah Irma Wahyudiati Irwan (33) menerjunkan diri ke dunia politik sejak berusia 25 tahun. Politisi Partai Demokrat ini sebelumnya pun membekali dirinya dengan menempuh pendidikan Strata 1 dan 2 di jurusan politik.

Meskipun terlahir dari keluarga politisi, Irma tetap menyadari pembekalan literasi politik dibutuhkan anak muda agar tidak asal kritis dan komentar terkait politik. ”Anak muda sangat perlu dibekali knowledge yang baik kalau mau terjun ke politik. Bisa memberikan kritik dan tidak apatis,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (22/10/2021).

Pengetahuannya dalam bidang politik masih ia asah lagi lewat Sekolah Politisi Muda yang diselenggarakan Yayasan Satunama, Yogyakarta. Dari kelas itu ia memperoleh banyak bekal menjadi politisi. ”Saya banyak mengikuti contoh dari (sekolah SPM) Satunama,” ujarnya.

Terlebih perjalanan menjadi politisi harus melalui kontestasi. Pada 2014, saat usianya 26 tahun, ia mulai ikut sebagai calon legislatif, tetapi gagal. Ia kemudian kembali mencalonkan diri pada 2019 dan baru terpilih jadi anggota DPRD Sulawesi Selatan.

Anak muda sangat perlu dibekali knowledge yang baik kalau mau terjun ke politik. Bisa memberikan kritik dan tidak apatis. —Azizah Irma Wahyudiati Irwan

Dari segi jumlah pemilih, pada Pemilu 2019 lalu ada 5 juta pemilih pemula atau sekitar 2,5 persen dari total 192 juta pemilih. Namun, anak muda yang kemudian terjun sebagai politisi dan terpilih sebagai anggota DPR pada periode 2019-2024 masih tergolong sedikit.

Berdasarkan usia, hanya 12,2 persen dari total 575 anggota DPR 2019-2024 yang berusia 31-40 tahun, dan 4 persen di bawah 30 tahun. Politisi senior masih mendominasi dengan 31,5 persen berada di rentang usia 41-50 tahun, serta 52,3 persen di atas 51 tahun.

Masa perjuangan

Jika menengok ke belakang, di masa perjuangan, semangat pemuda terjun ke dunia politik itu sangat menggelora. Presiden Soekarno, seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menemukan pemikiran tentang ideologi marhaenisme saat ia masih belia ketika mengayuh sepeda di bagian selatan Kota Bandung, Jawa Barat.

”Umurku baru 20 tahun ketika suatu ilham politik yang sangat kuat datang kepadaku. Awalnya, ia hanya berupa benih pemikiran yang bergejolak di otakku, tetapi tak lama ia segera menjadi program dari gerakan kami,” ujar Bung Karno.

Pada usia yang masih muda pula, 27 tahun, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan dukungan enam kawan muda dari Algemeene Studie-club.

Selain Bung Karno, ada pula proklamator Bung Hatta yang telah aktif di Perhimpunan Indonesia saat ia belajar di Belanda pada usia 20-an tahun. Sebagai anak muda, literasi politik mereka dibangun dari buku bacaan hingga belajar dari tokoh muda lainnya.

Bung Karno, contohnya, mentornya adalah HOS Tjokroaminoto, pemimpin organisasi massa terbesar dalam sejarah pergerakan nasional, Sarekat Islam. Bung Karno menyebut Tjokroaminoto berusia 33 tahun ketika Soekarno mulai ”ngekos” di rumahnya di Surabaya. Tinggal di rumah Tjokroaminoto sejak sekolah menengah di Hogere Burger School (HBS) pada usia 15 tahun, Bung Karno telah terpapar beragam diskusi dengan tokoh-tokoh politik.

”Pak Cokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku. Dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku,” tambah Bung Karno.

Mendongkrak gairah

Kini, demi mendongkrak kegairahan anak muda dalam berpolitik, bermunculan kelompok-kelompok yang menaruh perhatian pada pentingnya literasi politik lewat kelas politik yang terstruktur dan sistematis.

Yayasan Satunama di Yogyakarta, salah satunya, memilih mengurusi kaderisasi pemuda dalam partai politik secara sistematis sembari menyisipi nilai-nilai ideal berdemokrasi lewat Sekolah Politisi Muda (SPM). Sekolah ini bagian dari program Civilizing Politics for Indonesian Democracy (CPID) dengan didanai Konrad-Adenauer Stiftung dari Jerman.

”Harapan kami, SPM bisa memengaruhi anak-anak muda, bisa membangun politik berintegritas di dalam dirinya. Yang kedua, mampu membangun reformasi partai politik dan untuk membangun kaukus politik dari sekumpulan anak muda dari alumni-alumni kami,” ujar Kepala Sekolah SPM Muhammad Zuhdan.

Sejak 2015, SPM telah melatih lebih kurang 75 calon politisi muda. Separuh dari mereka yang menyelesaikan program bertarung dalam pemilihan legislatif 2019. Lima alumni berhasil mendapatkan kursi di lembaga perwakilan daerah, salah satunya Irma.

Para calon politisi muda peserta pelatihan juga datang dari beragam partai dan lintas daerah. Para peserta mengikuti serial kegiatan pelatihan di Yogyakarta. Mereka dilatih oleh para pendidik dan fasilitator dengan berbagai latar belakang keahlian, mulai dari ahli komunikasi politik, psikologi politik, ahli survei, ahli sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, dan ahli kebijakan publik. Alumni yang bertarung dalam pemilu juga difasilitasi dengan materi pendalaman (upgrading).

Bahkan, Junaidi (46), anggota DPRD Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, ini tak hanya menggunakan pengetahuan terkait dengan literasi politik dari SPM untuk dirinya sendiri. Ilmu yang ia terima, lantas ia bagikan lagi kepada generasi yang lebih muda seperti mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam. ”Saya mendorong anak muda supaya nantinya bergelut di politik. Tidak antipati, harus melek politik,” ucapnya.

”Ngaji” pasal

Dalam literasi politik, satu hal juga yang tak boleh dilupakan adalah pendidikan norma hukum, utamanya konstitusi Undang-undang Dasar 1945. Ini menjadi penting. Sebab, politisi muda yang tidak memiliki pemahaman terkait norma hukum, dikhawatirkan akan menyimpang dalam perilakunya.

Atas dasar itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menggagas program ”ngaji” pasal-pasal UUD 1945. Ini merupakan salah satu program gratis dari Jimly School Law and Government, yang sudah dimulai sejak 2009.

Menurut Jimly, tantangan mereka saat ini sangat besar karena telah memasuki arena politik pasar bebas dan ekonomi pasar bebas. Di dalam arena tersebut, motif semua orang adalah rebutan jabatan, kekuasaan, dan kekayaan. ”Namun, dengan memegang teguh pada norma-norma hukum serta politik yang bermartabat, mereka tidak akan mudah terjebak dalam pragmatisme zaman,” ujarnya.

Politisi muda yang tidak memiliki pemahaman terkait norma hukum, dikhawatirkan akan menyimpang dalam perilakunya. —Jimly Asshiddiqie

Awalnya, program ini diikuti kalangan artis muda yang terpilih sebagai anggota DPR. Lambat laun, pejabat-pejabat dari kementerian/lembaga, dosen-dosen, bahkan mahasiswa, mulai ikut bergabung. Apalagi, dengan kelas yang kini dibuka secara daring dan disiarkan melalui Youtube, publik secara luas pun dapat mengikutinya.

Pan Mohamad Faiz, peserta ”ngaji” pasal ini mengatakan, materi yang disampaikan Jimly mengenai UUD 1945 lebih sistematis dan mudah dipahami oleh masyarakat awam, berbeda dengan bacaan di berbagai literatur. Sebagai peneliti di bidang hukum tata negara, Faiz mengaku, program ”ngaji” pasal-pasal UUD 1945 sangat relevan di dalam pekerjaannya.

“Jadi, (ilmu yang didapat di “ngaji” pasal) semakin melengkapi wawasan, pengetahuan yang mungkin telah saya miliki dari membaca berbagai literatur,” tuturnya.

Pengajar Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto melihat, selama ini pendidikan politik kepada para politisi muda belum mendapat perhatian penuh dari partai politik. Ia lantas mengingatkan, gerakan literasi politik seharusnya fokus pada tiga hal, pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap politik (attittude). Untuk mencapainya dibutuhkan kegiatan yang sistematis, terorganisir, dan memiliki peta jalan.

”Ini membutuhkan jejaring di basis struktur partai atau di luar partai seperti kampus atau NGO (non-governmental organization), yang kemudian memungkinkan semua pihak saling bersinergi. Kalau sendirian, akan sulit,” kata Gun Gun.

Menurut Gun Gun, membangun kesadaran anak muda bahwa bangsa membutuhkan mereka, itu yang harus dibangun. Hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah, partai, para akademisi, dan media. Semua harus bersatu dalam sebuah agenda kebangsaan. (MAWAR KUSUMA WULAN/NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi  di halaman 2 dengan judul “Manamehon Boni Politisi Tu Na Umposo” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/28/manamehon-boni-politik-tu-na-umposo