August 8, 2024

Menyimak Pengaturan Teknologi Pungut Hitung di Election Omnibus Law Filipina

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tengah mempersiapkan teknologi rekapitulasi elektronik atau e-rekap untuk diterapkan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Rencana ini menarik perhatian organisasi masyarakat sipil, seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Network for Democracy and Election Integrity (Netgrit), dan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif. KoDe Inisiatif mendukung penerapan e-rekap di Pilkada 2020 dengan sejumlah catatan (Keterangan Penliti KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana), sedangkan Perludem dan Netgrit mendorong agar Pilkada 2020 sebatas menjadi ajang uji coba teknologi e-rekap untuk kemudian diterapkan secara resmi di Pemilu 2024.

Mengacu pada buku Panduan Teknologi Pungut Hitung yang disusun oleh Perludem dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), terdapat 18 prinsip adopsi teknologi pemilu. 15 prinsip diantaranya yakni sebagai berikut: (1) Penggunaan teknologi berangkat dari kebutuhan dan merupakan satu-satunya alternatif untuk memecahkan suatu masalah kepemiluan; (2) Keputusan untuk menggunakan teknologi pemilu disepakati bersama seluruh pihak yang berkepentingan, dan mendapatkan dukungan dari masyarakat; (3) Pemanfaatan teknologi di pemilu memiliki landasan hukum dalam undang-undang; (4) Adanya regulasi yang mengatur rinci mekanisme e-voting, e-counting, dan e-rekap; (5) Transparansi proses perencanaan, pengadaan perangkat teknologi harus transparan. (6) Tersedianya anggaran keuangan; (7) Tersedianya lembaga yang kredibel dan mampu mengembangkan teknologi pemilu; (8) Teknologi pemilu tidak dimiliki vendor asing atau swasta. Jika mesti meminjam keahlian vendor, hubungan antara penyelenggara pemilu dengan vendor harus akuntabel; (9) Teknologi yang digunakan tersertifikasi, serta sudah melalui serangkaian uji sistem, dan teruji andal; (10) Keamanan sistem, keamanan siber, dan kerahasiaan pilihan pemilih terjamin; (11) Tersedianya mekanisme audit dan dapat dilakukan penghitungan suara ulang; (12) Teknologi dapat digunakan oleh semua orang dengan mudah dan tidak membingungkan; (13) Penerapan teknologi pemilu dimulai dari pemilihan dalam lingkup kecil, seperti Pilkada, sebelum diterapkan di pemilu nasional; (14) Pendidikan yang memadai bagi pemilih mengenai cara kerja teknologi pungut-hitung yang baru; dan (15) Penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga tempat pemungutan suara (TPS) memiliki pemahaman dan kemampuan mengoperasikan teknologi pungut-hitung yang digunakan (hal.60).

Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, hanya poin nomor 1 dan 8 yang telah terpenuhi. Untuk poin nomor 3 dan 4, yakni soal landasan hukum dan regulasi detil, masih menjadi perdebatan. Padahal, berdasarkan teori Piramida Kepercayaan yang dikembangkan oleh International IDEA (International IDEA 2011: 16-17), hukum yang menjadi dasar pelaksanaan teknologi pemilu merupakan hal yang paling fundamental.

Berkaitan dengan aspek hukum itulah, tulisan ini akan membahas pengaturan teknologi pungut-hitung yang diatur dalam Omnibus Election Law Filipina. Diharapkan, kasus Filipina dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia.

Yang diatur dalam Omnibus Election Law Filipina

Regulasi teknologi pungut hitung dapat ditemukan di bagian dua sampai lima belas, delapan belas sampai dua pulu dua, dua puluh lima sampai tiga puluh satu, tiga puluh tiga, tiga puluh empat, tiga puluh enam, dan tiga puluh tujuh Omnibus Election Law. Tulisan ini akan merinci apa saja yang diatur di dalam UU Pemilu Filipina.

Pada bagian kedua, UU mendefinisikan istilah-istilah terkait sistem peungut-hitung elektronik, seperti automated election system atau sistem pemilu teromotatisasi, transmisi elektronik, sistem pemilu dengan direct recording electronic (DRE), pusat penghitungan suara, dan kode sumber. Menariknya, meskipun Filipina tidak menerapkan e-voting melainkan e-counting, namun UU telah memberikan ruang penggunaan e-voting dan e-counting dengan mendefinisikan sistem pemilu teromotatisasi sebagai sistem yang menggunakan teknologi tepat guna yang telah ditunjukkan dalam pemungutan suara, penghitungan suara, konsolidasi hasil penghitungan suara, canvassing, dan transmisi hasil pemilu dan proses pemilu lainnya. Aturan seperti ini memberikan fleksibilitas kepada penyelenggara pemilu untuk menerapkan baik e-voting, e-counting, maupun e-rekap.

Di bagian tiga, sepuluh, dan tiga puluh tiga diatur badan-badan yang akan berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu dengan teknologi pungut-hitung. Terdapat Board of Election Inspectors (BEI), yang dimandatkan agar setidaknya satu anggota BEI menguasai teknologi informasi, dan telah dilatih serta disertifikasi oleh DOST terkait penggunaan sistem pemilu terotomatisasi; Dewan Penasihat; Information Technology (IT) support untuk setiap anggota Board of Canvassers; Komite Evaluasi Teknologi⸻terdiri atas anggota Comelec, Komisi Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan Departemen Sains dan Teknologi⸻yang bertugas mensertifikasi sistem pemilihan terotomatisasi, termasuk komponen perangkat keras dan lunaknya; serta Komite Pengawasan Kongres Bersama⸻berisi tujuh anggota, masing-masing dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Komite Pengawasan Kongres Bersama akan menilai dan membandingan masing-masing teknologi pungut-hitung yang digunakan, termasuk kekuatan dan kelemahannya, dan memberikan rekomendasi teknologi pungut-hitung yang seharusnya tidak lagi digunakan karena sudah usang, tidak dapat diterapkan, tidak akurat atau cacat, improvisasinya, atau dorongan untuk adopsi teknologi baru.

Selanjutnya, UU juga mengatur kapabilitas minimum sistem. Kita dapat melihat di bagian keenam UU, tujuh kapabilitas minimum tersebut, yakni keamanan yang memadai terhadap akses oleh pihang yang tidak berwenang; akurasi dalam pencatatn dan pembacaan surat suara serta dalam tabulasi, konsolidasi hasil ptabulasi suara atau canvassing, transmisi elektronik, dan penyimpanan hasil; pemulihan kesalahan jika terjadi kegagalan pada perangka; integritas sistem yang menjamin stabilitas perangkat dan fungsi proses pencatatan dan penghitungan suara; sistem audit yang menyediakan dokumentasi pendukung untuk memverifikasi kebenaran hasil pemilihan yang dilaporkan; adanya ketentuan penyimpanan datal; dan konfigurasikan kontrol akses untuk data dan fungsi sistem yang sensitif.

Kapabilitas minimum sistem akan dievaluasi oleh Comelec, dengan bantuan Dewan Penasihat yang dibentuk selambat-lambatnya delapan belas bulan sebelum hari pemilhan suara dan dinonaktifkan enam bulan setelah proses canvassing selesai (bagian delapan UU). Dewan Penasihat terdiri atas Ketua Komisi Teknologi Informasi dan Komunikasi yang akan bertindak sebagai ketua Dewan Penasihat, satu anggota dari Departemen Sains dan Teknologi, satu anggota dari Departemen Pendidikan, satu anggota dari perwakilan akademisi⸻dipilih oleh ketua Dewan Penasihat diantara daftar calon yang diajukan oleh lembaga akademik negara, tiga anggota dari perwakilan organisasi profesional TIK⸻dipilih oleh ketua Dewan Penasihat diantara daftar calon yang diajukan oleh organisasi profesional TIK berbasis di Filipina, dan satu diantara ketiganya merupakan seseorang yang berpengalaman dalam mengelola atau mengimplementasikan proyek-proyek IT skala besar, dan dua anggota dari perwakilan non goverment organization (NGO) yang bergerak pada isu reformasi pemilu⸻dipilih oleh ketua Dewan Penasehat diantara daftar calon yang diajukan oleh Koalisi NGO untuk reformasi pemilu.

Selain mengevaluasi kapabilitas minimum, Dewan Penasihat juga akan merekomendasikan jenis transmisi elektronik, yang dinilai aman dan dapat menggaransi otentikasi dan integritas transmisi (bagian tujuh UU). Setiap anggota Dewan Penasihat dilarang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung, mengadvokasi, memasarkan, mengimpor, memproduksi, atau dengan cara apa pun menangani perangkat lunak, perangkat keras, atau peralatan apa pun yang dapat digunakan untuk pemilihan umum demi keuntungan pribadi (bagian delapan UU). Operasional Dewan Penasihat didanai oleh Komisi Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Kemudian, pada bagian dua belas, UU mengatur pengadaan peralatan dan material. Dalam proses pengadaan sistem teknologi pemilu, Comelec tunduk pada peraturan perundang-undangan mengenai akuntansi dan audit. Adapun di bagian tiga belas, dimandatkan agar sistem pemilihan terotomatisasi dirancang agar dapat digunakan secara berkenlanjutan. Pun, Comelec diwajibkan menyusun langkah-langkah darurat jika sistem tersebut tak dapat berfungsi dengan baik selama proses pemilu.

Lanjut ke kode sumber, yang pada Pemilu Indonesia 2019 dipersoalkan⸻Tim pasangan calon presiden-wakil presiden meminta kode sumber untuk memeriksa integritas hasil penghitungan suara yang dikirimkan dan ditampilkan oleh Sistem Informasi Penghitungan (Situng). Pada bagian empat belas, UU mengizinkan partai politik, kandidat, dan warga negara untuk memeriksa dan menguji kode sumber untuk melakukan peninjauan sistem. Untuk mendapatkan kode sumber, Comelec menyediakan surat suara dan formulir uji.

Tak sampai di situ, UU juga memuat aturan mengenai penunjukan pusat penghitungan suara, prosedur penghitungan suara dengan e-counting, Random Manual Audit (RMA), edukasi dan pelatihan stakeholder, juga pelanggaran khusus terhadap teknologi pungut hitung. Sanksi yang diberikan kepada pihak yang menyalahgunakan sistem teknologi pungut hitung, mencoba merusak, merusak, menghancurkan, atau mencuri surat suara resmi, hasil pemilihan, sertifikat suara yang digunakan dalam sistem, perangkat elektronik atau komponennya, atau periferal seperti mesin hitung, memori atau disket, penerima paket memori dan set komputer, akan dihukum dengan hukuman penjara delapan tahun sampai dua belas tahun tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, diskualifikasi terus-menerus untuk memegang jabatan publik yang dipilih maupun tidak dipilih, dan pencabutan hak pilih (bagian 34 UU Pemilu).

UU juga telah memberikan solusi jika pada praktiknya sistem pemilihan terotomatisasi yang dipilih oleh Comelec tidak mendapatkan sertifikasi dari Komite Evaluasi Teknologi. Comelec wajib menyerahkan alasan melanjutkan penggunaan sistem tersebut secara tertulis kepada Board of Election Inspectors maksimal 30 hari sebelum hari pemilihan, dimana sistem pemilihan terotomatisasi akan digunakan (bagian 11 UU).

Pelajaran dari Filipina

Dari UU Pemilu Filipina, kita dapat melihat bahwa peraturan setingkat undang-undang mengatur banyak hal. Mulai dari definisi pemilu dengan sistem terotomatisasi, standar minimal teknologi yang digunakan, pihak-pihak yang berwenang beserta tugasnya, proses pengadaan teknologi pungut hitung, mekanisme audit sistem, edukasi stakeholder, hingga penyelesaian hukum.

Hal tersebut patut menjadi pelajaran bagi Indonesia, bahwa dengan mengaodopsi teknologi pungut hitung, akan ada lembaga berwenang yang sebelumnya, dalam pemilu tanpa teknologi pungut hitung, tidak menjadi stakeholder pemilu. Pun, terdapat pelanggaran-pelanggaran khas, yang mekanisme penyelesaian berserta sanksinya mesti diatur di dalam undang-undang.

Mengacu pada pengalaman Filipina, tentu rencana KPU untuk menerapankan e-rekap sebagai mekanisme resmi untuk menentukan hasil Pilkada 2020 mengkhawatirkan. Pasalnya, UU Pilkada tak mengatur sejumlah pengaturan yang akan dibutuhkan sebagai landasan hukum bagi praktik perencanaan, penerapan, dan evaluasi e-rekap.

Jika membaca pengalaman berbagai negara dalam menerapkan e-rekap (International IDEA 2019), India misalnya, penggunaan mesin e-voting DRE yang digunakan dalam Pemilu di sejumlah TPS dianulir oleh Mahkamah Agung (MA) karena pelaksanaan pemilu dengan e-voting hanya berdasarkan pada Surat Pemberitahuan Election Commission of India (ECI). Atas kejadian itu, Parlemen India memberikan ruang untuk pelaksanaan e-voting di dalam revisi Undang-Undang Perwakilan Rakyat tahun 1951 (hal.29).

Ditengah tiadanya ketentuan yang cukup di dalam undang-undang untuk mengatur e-rekap, adalah bijak menjadikan Pilkada 2020 di sejumlah wilayah sebagai tempat untuk menguji coba teknologi e-rekap yang telah dikembangkan oleh KPU dan ITB. Uji coba yang berhasil akan menjadi modal kepercayaan bagi KPU untuk menerapkan e-rekap sebagai mekanisme resmi penentuan hasil pemilu. Pun, belajar dari kasus Kenya yang menerapkan e-rekap pada Pemilu 2015 dan 2017, Pakistan pada Pemilu 2018, serta India pada Pemilu 2019, keberhasilan adopsi teknologi pungut hitung sangat ditentukan oleh uji coba dan pilot project yang memadai, baik secara teknologi maupun skala penerapannya. Uji coba bahkan merupakan metode sosialisasi dan edukasi bagi semua pihak yang tak bisa disepelekan, Sebagai catatan untuk penerapan pilot project, pengalaman Filipina, dilakukan setelah adanya kerangka hukum yang cukup di dalam undang-undang.

 

Referensi

Omnibus election  code Filipina dapat diakses melalui laman https://www.comelec.gov.ph/?r=References/RelatedLaws/OmnibusElectionCode.